Lili membelai rambut Khalid perlahan. “Kasihan sekali adikmu ini Icah,” kata Lily, panggilan akrab Halimah kepada putri Sulungnya Aisyah. “Waktu dia baru lahir, Ibu dan Ayah tak punya uang sama sekali untuk member gurita (popok) untuk membungkus badannya yang mungil, sehingga Ibu harus menyobek kain kasur dan menjadikannya sebagai gurita,” ujar Lily yang kali ini tak bisa menahan keluarnya air mata.
“Ayah tak punya uang padahal Ayah menteri?!” tanya Icah bingung. “Kenapa bisa? Kata orang, menteri itu orang kaya Bu.”
“Ayahmu menteri keuangan, Icah,” Lily menyeka matanya yang basah. “Ayah mengurusi banyak sekali uang Negara, tetapi dia tak punya uang untuk membeli kain gurita bagi anaknya, adikmu Khalid yang baru lahir. Kalau Ibu tidak mengalami sendiri, Ibu sendiri pasti tak percaya. Tapi itu nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang Negara untuk membeli sepotong kain gurita.”
Secuplik dialog antara Teuku Halimah dan Aisyah, mengenang suami dan ayah tercinta Syafruddin Prawiranegara dalam Novel ‘Presiden Prawiranegara’ karya Akmal Nasery Basral. Kisahnya ini benar-benar terjadi seperti penuturan Ajip Rosidi dalam ‘Syafruddin Prawiranegara Lebih Takut Pada Allah SWT’ : “Waktu anak yang ketiga lahir, Chalid, keadaan keluarga itu begitu buruk sehingga untuk membuat gurita bayi pun mereka terpaksa menyobek kain kasur, karena kain biasa tidak ada lagi” (Ajip Rosidi: 2011).
Menteri Keuangan itu…tak memiliki kain lain selain kasur mungilnya. Barang-barangnya hanya ada koper-koper pakaian dan pakaian sekadarnya. Kini setelah pindah dari kontrakkanya di Bandung, ia tinggal ke Jakarta dengan pola hidup berpindah seperti mentornya, Haji Agus Salim (Baca: Ketika Seorang Menteri Mengontrak Rumah).
Namun, lihatlah ketika dijualnya barang-barang seadanya, direlakannya koper-koper pakaian yang baru saja tiba untuk menyambung hidup dirinya dan keluarganya. Sisa barang yang tak dibawa di Bandung digelapkan oleh orang yang dipercaya dititipi, habis sudah harta sang menteri, seperti dikisahkan Ajip Rosidi.
Ketika Pemerintah RI pindah Ke Yogyakarta, dengan kereta segera mereka pindah. Di Yogjakarta, dicarinya kontrakkan, tempat bernaung untuk sang istri dan buah hati, namun keadaan di sana penuh sesak pengungsi. Sang menteri mencari tempat lain, berpindah ke Magelang, hingga Dr. Soekiman (Ketua Masyumi saat itu) memberikan tumpangan tempat di paviliunnya di Pakualaman. Tinggallah ia dan keluarganya, berbagi dengan Mr. Syamsuddin dan juga Dr. Soekiman.
“Meskipun kehiduannya adalah Menteri Keuangan, tetapi dibandingkan dengan kehidupannya taktkala menjadi Kepala Inspeksi Pajak di Kediri, keadaanya jauh lebih sederhana, malah dekat kepada melarat,” masih kata Ajip Rosidi.
Sukun Goreng Dagangan Ibu Menteri
Saat Syafruddin menjadi ‘Presiden’ RI (Ketua PDRI) menggantikan Soekarno (Baca Sekitar PDRI –Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Mr. SM Rasjid) dan memerintah di Sumatera, sang Istri yang ditinggalkan sendiri di Yogyakarta sampai harus berjualan sukun goreng untuk menghidupi anaknya, padahal bisa saja mereka mendapat akses ke Pejabat, atau meminta bawahan suaminya untuk ‘korupsi’.
Tapi lihatlah ketika Akmal Nasery Basral mengisahkan dialog Siti Halimah bersama Icah. Saat berjualan sukun itu, ada protes kecil dari Icah, anaknya, “Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno, dan Wakil Presiden Om Hatta, serta Om Henkie (Hamengku Buwana IX)?” tanya Icah.
“Ayahmu sering mengatakan kepada ibu, agar kita jangan bergantung pada orang lain, Nak..” kata ibunya. “Tapi apa ibu tidak malu? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat,” sergah Icah lagi.
“Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu, adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah, seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu,” kata Lily, memberi penjelasan pada anak sulungnya itu.
Kelak, sejarah akan berdecak kagum ketika Syafruddin Prawiranegara mengembalikan 29 kilogram emas kepada Negara yang terpendam sebagai cadangan untuk perjuangan PRRI di Sumatera. “..dilakukan penggalian dan emasnya pun diambil. Jumlah semuanya ada 29 kilogram. Emas itu kemudian secara resmi diserahkan oleh Syafruddin kepada Pejabat Presiden Djuanda pada bulan Maret 1962, yang kemudian meneruskannya kepada Menteri/Gubernur Bank Indonesia Sumarno, SH sebagai kekayaan Negara.” (Ajip Rosidi: 2011)
Secercah Keteladanan
Djohan Efendi dalam Mencari Pemimpin yang Berintegritas pernah menuturkan kisah Ketika Pak Syaf (sapaan akrab Syafruddin Prawiranegara) akan menerima tamu. “Pak AR Baswedan pernah bercerita kepada saya tentang Almarhum Pak Syafruddin yang saat itu menjabat Gubernur Bank Indonesia pertama setelah dinasionalisasi. Suatu saat Pak Baswedan menghubungi Pak Syafruddin memintakan waktu untuk seorang temannya, pengusaha dan tokoh Masyumi dari Surabaya yang ingin bertemu dengan Pak Syafruddin.
Pak Syafruddin bertanya, dalam kapasitas apa dia ingin menemuinya. Dan Pak Baswedan menjawab bahwa beliau kurang pasti. Lalu Pak Syafruddin mengatakan kepada Pak Baswedan bahwa kalau dia ingin bertemu untuk urusan pribadi silahkan menemuinya di kediaman beliau diluar jam kantor, kalau untuk urusan partai silahkan datang ke Kantor Masyumi, dan Pak Syafruddin akan datang ke sana setelah jam kantor.
Tapi kalau urusannya berkaitan dengan Bank Indonesia, Pak Syafruddin mewanti-wanti bahwa Bank In¬donesia bukan kepunyaan Partai Masyumi. Bank Indonesia kepunyaan Negara. Kalau berurusan dengan Bank Indonesia iku-ti saja prosedur resmi yang berlaku bagi semua orang.(Harian Pelita, 14/11/2013)
Sejak awal, Pak Syaf menjadi Menteri menyadari bahwa jabatan adalah amanah, kekuasaan bukanlah segalanya. Saat Natsir mundur sebagai Perdana Menteri, Pak Syaf pun meletakkan jabatanya. Saat menjadi Menteri Keuangan, kesungguhannya terlihat saat dalam periodenya membuat mata uang sendiri, sebagai ciri Negara merdeka, yang dikenal dengan Oeang Republik Indonesia (ORI) yang kini menjadi rupiah.
Saat dilincurkan ORI, Pak Syaf berpesan “..Berhematlah sehemat-hematnya, jangan membeli apabila tak perlu sama sekali, Tanyalah pada tetangga, apakah dia tidak kekurangan sesuatu apapun dan apabila kita mempunyai persediaan makanan buat lebih dari lima hari, berikanlaj kelebihan itu kepada tetangga yang kekurangan itu, hendakanya hjangan kita mau mencaru untung saja, tetapi kita harus berani juga menderita kerugian..”
“Keluarnya uang republik Indonesia bukan berarti bahwa kita nanti boleh goyang kaki dan hidup senang-senang saja, bahkan sekarang sebaliknya sekaranglah baru tiba saatnya untuk bekerja segiat-giatnya membangun secar teratur dan sistematis” (Ajip Rosidi: 2011)
Mungkin, para pejabat penikmat uang rupiaj kini lupa, kalau ‘hasil’ yang mereka nikmati terselip kemelaratan Menteri Keuangannya silam yang menerbitkan uang yang kini hilir mudik. Mungkin, dibalik jejak van toefel di atas karpet merah di sana, ada langkah-langkah Pak Syaf yang menjejak, masuk ke kampung-kampung dan hutan-hutan becek, menemui rakyatnya yang sedang kesulitan.
Mungkin, di antara kenikmatan aroma teh dan ceplok telor sarapan pagi kita, terselip saling berbagi antar tetangga di masa silam,” Tanyalah pada tetangga, apakah dia tidak kekurangan sesuatu apapun dan apabila kita mempunyai persediaan makanan buat lebih dari lima hari, berikanlaj kelebihan itu kepada tetangga yang kekurangan itu,” tegas Pak Syaf.
Pak Syaf mengajarkan bahwa bukanlah materi berlimpah sumber kemuliaan, tetapi nilai-nilai seperti kesederhanaan, perjuangan, juga pertolongan Allah merupakan tuntunan hidupnya. “Mungkin sekali orang disebut kaya, jika ditinjau dari sudut kebendaan, adalah miskin kalau ditinjau dari sudut ketenangan jiwa..”
Sambil tersenyum di hadapan para Mahasiswa tahun 1957 ia melanjutkan,”Sebaliknya orang yang miskin kalau diukur dengan ukuran materi, dapat disebut cukup karena orang yang bersangkutan memang tidak merasa dan memandang dirinya miskin!”
“Perasaan harga diri, inilah yang harus dididik pada rakyat kita dan tidak ada satu hal yang lebih menghalang-halangi tumbuhnya dan merusak harga diri itu dari pada paham materialism, yang memandang kemakmuran kebendaan itu sebagai suatu ideal, suatu tujuan suci!”
“..Demikianlah, maka, jikalau kita hendak membanguyn suatu masyarakat yang bukan saja makmur, tetapi juga adil, kecuali minta pertolongan rasio dari ilmu ekonomi, kita harus terlebih dahulu mohon pertolongan Ilahi. “
“..Krisis ekonomi dan politik Indonesia ini pada hakikatnya merupakan krisis kepercayaan dan moral yang tidak dapat diobati dengan alat-alat dan cara-cara lain melainkan hanya kembali kepada Tuhan melalui norma agama dan moral, yang menyuruh kita, bukan mengejar kekayaan, melainkan untuk mengabdi dan berkorban guna kepentingan sesame manusia!” pidatonya menggelegar.
Ketika Wakil Presiden Mohammad Hata tak mampu membeli sepatu impiannya hingga akhir hayatnya. Ketika Perdana Menteri Mohammad Natsir dengan jas tambalnya mengayuk sepeda ontel ke kontrakkanya. Ketika Diplomat Ulung, Menlu itu berpindah-pindah kontrakkan dari satu gang ke gang lainnya. Kelak, ‘dongeng’ ini akan dibacakan kepada putra-putri kita sebelum tidurnya…
(Oleh: Lesus, penggiat Jejak Islam untuk Bangsa)
“Ayah tak punya uang padahal Ayah menteri?!” tanya Icah bingung. “Kenapa bisa? Kata orang, menteri itu orang kaya Bu.”
“Ayahmu menteri keuangan, Icah,” Lily menyeka matanya yang basah. “Ayah mengurusi banyak sekali uang Negara, tetapi dia tak punya uang untuk membeli kain gurita bagi anaknya, adikmu Khalid yang baru lahir. Kalau Ibu tidak mengalami sendiri, Ibu sendiri pasti tak percaya. Tapi itu nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang Negara untuk membeli sepotong kain gurita.”
Secuplik dialog antara Teuku Halimah dan Aisyah, mengenang suami dan ayah tercinta Syafruddin Prawiranegara dalam Novel ‘Presiden Prawiranegara’ karya Akmal Nasery Basral. Kisahnya ini benar-benar terjadi seperti penuturan Ajip Rosidi dalam ‘Syafruddin Prawiranegara Lebih Takut Pada Allah SWT’ : “Waktu anak yang ketiga lahir, Chalid, keadaan keluarga itu begitu buruk sehingga untuk membuat gurita bayi pun mereka terpaksa menyobek kain kasur, karena kain biasa tidak ada lagi” (Ajip Rosidi: 2011).
Menteri Keuangan itu…tak memiliki kain lain selain kasur mungilnya. Barang-barangnya hanya ada koper-koper pakaian dan pakaian sekadarnya. Kini setelah pindah dari kontrakkanya di Bandung, ia tinggal ke Jakarta dengan pola hidup berpindah seperti mentornya, Haji Agus Salim (Baca: Ketika Seorang Menteri Mengontrak Rumah).
Namun, lihatlah ketika dijualnya barang-barang seadanya, direlakannya koper-koper pakaian yang baru saja tiba untuk menyambung hidup dirinya dan keluarganya. Sisa barang yang tak dibawa di Bandung digelapkan oleh orang yang dipercaya dititipi, habis sudah harta sang menteri, seperti dikisahkan Ajip Rosidi.
Ketika Pemerintah RI pindah Ke Yogyakarta, dengan kereta segera mereka pindah. Di Yogjakarta, dicarinya kontrakkan, tempat bernaung untuk sang istri dan buah hati, namun keadaan di sana penuh sesak pengungsi. Sang menteri mencari tempat lain, berpindah ke Magelang, hingga Dr. Soekiman (Ketua Masyumi saat itu) memberikan tumpangan tempat di paviliunnya di Pakualaman. Tinggallah ia dan keluarganya, berbagi dengan Mr. Syamsuddin dan juga Dr. Soekiman.
“Meskipun kehiduannya adalah Menteri Keuangan, tetapi dibandingkan dengan kehidupannya taktkala menjadi Kepala Inspeksi Pajak di Kediri, keadaanya jauh lebih sederhana, malah dekat kepada melarat,” masih kata Ajip Rosidi.
Sukun Goreng Dagangan Ibu Menteri
Saat Syafruddin menjadi ‘Presiden’ RI (Ketua PDRI) menggantikan Soekarno (Baca Sekitar PDRI –Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Mr. SM Rasjid) dan memerintah di Sumatera, sang Istri yang ditinggalkan sendiri di Yogyakarta sampai harus berjualan sukun goreng untuk menghidupi anaknya, padahal bisa saja mereka mendapat akses ke Pejabat, atau meminta bawahan suaminya untuk ‘korupsi’.
Tapi lihatlah ketika Akmal Nasery Basral mengisahkan dialog Siti Halimah bersama Icah. Saat berjualan sukun itu, ada protes kecil dari Icah, anaknya, “Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno, dan Wakil Presiden Om Hatta, serta Om Henkie (Hamengku Buwana IX)?” tanya Icah.
“Ayahmu sering mengatakan kepada ibu, agar kita jangan bergantung pada orang lain, Nak..” kata ibunya. “Tapi apa ibu tidak malu? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat,” sergah Icah lagi.
“Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu, adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah, seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu,” kata Lily, memberi penjelasan pada anak sulungnya itu.
Kelak, sejarah akan berdecak kagum ketika Syafruddin Prawiranegara mengembalikan 29 kilogram emas kepada Negara yang terpendam sebagai cadangan untuk perjuangan PRRI di Sumatera. “..dilakukan penggalian dan emasnya pun diambil. Jumlah semuanya ada 29 kilogram. Emas itu kemudian secara resmi diserahkan oleh Syafruddin kepada Pejabat Presiden Djuanda pada bulan Maret 1962, yang kemudian meneruskannya kepada Menteri/Gubernur Bank Indonesia Sumarno, SH sebagai kekayaan Negara.” (Ajip Rosidi: 2011)
Secercah Keteladanan
Djohan Efendi dalam Mencari Pemimpin yang Berintegritas pernah menuturkan kisah Ketika Pak Syaf (sapaan akrab Syafruddin Prawiranegara) akan menerima tamu. “Pak AR Baswedan pernah bercerita kepada saya tentang Almarhum Pak Syafruddin yang saat itu menjabat Gubernur Bank Indonesia pertama setelah dinasionalisasi. Suatu saat Pak Baswedan menghubungi Pak Syafruddin memintakan waktu untuk seorang temannya, pengusaha dan tokoh Masyumi dari Surabaya yang ingin bertemu dengan Pak Syafruddin.
Pak Syafruddin bertanya, dalam kapasitas apa dia ingin menemuinya. Dan Pak Baswedan menjawab bahwa beliau kurang pasti. Lalu Pak Syafruddin mengatakan kepada Pak Baswedan bahwa kalau dia ingin bertemu untuk urusan pribadi silahkan menemuinya di kediaman beliau diluar jam kantor, kalau untuk urusan partai silahkan datang ke Kantor Masyumi, dan Pak Syafruddin akan datang ke sana setelah jam kantor.
Tapi kalau urusannya berkaitan dengan Bank Indonesia, Pak Syafruddin mewanti-wanti bahwa Bank In¬donesia bukan kepunyaan Partai Masyumi. Bank Indonesia kepunyaan Negara. Kalau berurusan dengan Bank Indonesia iku-ti saja prosedur resmi yang berlaku bagi semua orang.(Harian Pelita, 14/11/2013)
Sejak awal, Pak Syaf menjadi Menteri menyadari bahwa jabatan adalah amanah, kekuasaan bukanlah segalanya. Saat Natsir mundur sebagai Perdana Menteri, Pak Syaf pun meletakkan jabatanya. Saat menjadi Menteri Keuangan, kesungguhannya terlihat saat dalam periodenya membuat mata uang sendiri, sebagai ciri Negara merdeka, yang dikenal dengan Oeang Republik Indonesia (ORI) yang kini menjadi rupiah.
Saat dilincurkan ORI, Pak Syaf berpesan “..Berhematlah sehemat-hematnya, jangan membeli apabila tak perlu sama sekali, Tanyalah pada tetangga, apakah dia tidak kekurangan sesuatu apapun dan apabila kita mempunyai persediaan makanan buat lebih dari lima hari, berikanlaj kelebihan itu kepada tetangga yang kekurangan itu, hendakanya hjangan kita mau mencaru untung saja, tetapi kita harus berani juga menderita kerugian..”
“Keluarnya uang republik Indonesia bukan berarti bahwa kita nanti boleh goyang kaki dan hidup senang-senang saja, bahkan sekarang sebaliknya sekaranglah baru tiba saatnya untuk bekerja segiat-giatnya membangun secar teratur dan sistematis” (Ajip Rosidi: 2011)
Mungkin, para pejabat penikmat uang rupiaj kini lupa, kalau ‘hasil’ yang mereka nikmati terselip kemelaratan Menteri Keuangannya silam yang menerbitkan uang yang kini hilir mudik. Mungkin, dibalik jejak van toefel di atas karpet merah di sana, ada langkah-langkah Pak Syaf yang menjejak, masuk ke kampung-kampung dan hutan-hutan becek, menemui rakyatnya yang sedang kesulitan.
Mungkin, di antara kenikmatan aroma teh dan ceplok telor sarapan pagi kita, terselip saling berbagi antar tetangga di masa silam,” Tanyalah pada tetangga, apakah dia tidak kekurangan sesuatu apapun dan apabila kita mempunyai persediaan makanan buat lebih dari lima hari, berikanlaj kelebihan itu kepada tetangga yang kekurangan itu,” tegas Pak Syaf.
Pak Syaf mengajarkan bahwa bukanlah materi berlimpah sumber kemuliaan, tetapi nilai-nilai seperti kesederhanaan, perjuangan, juga pertolongan Allah merupakan tuntunan hidupnya. “Mungkin sekali orang disebut kaya, jika ditinjau dari sudut kebendaan, adalah miskin kalau ditinjau dari sudut ketenangan jiwa..”
Sambil tersenyum di hadapan para Mahasiswa tahun 1957 ia melanjutkan,”Sebaliknya orang yang miskin kalau diukur dengan ukuran materi, dapat disebut cukup karena orang yang bersangkutan memang tidak merasa dan memandang dirinya miskin!”
“Perasaan harga diri, inilah yang harus dididik pada rakyat kita dan tidak ada satu hal yang lebih menghalang-halangi tumbuhnya dan merusak harga diri itu dari pada paham materialism, yang memandang kemakmuran kebendaan itu sebagai suatu ideal, suatu tujuan suci!”
“..Demikianlah, maka, jikalau kita hendak membanguyn suatu masyarakat yang bukan saja makmur, tetapi juga adil, kecuali minta pertolongan rasio dari ilmu ekonomi, kita harus terlebih dahulu mohon pertolongan Ilahi. “
“..Krisis ekonomi dan politik Indonesia ini pada hakikatnya merupakan krisis kepercayaan dan moral yang tidak dapat diobati dengan alat-alat dan cara-cara lain melainkan hanya kembali kepada Tuhan melalui norma agama dan moral, yang menyuruh kita, bukan mengejar kekayaan, melainkan untuk mengabdi dan berkorban guna kepentingan sesame manusia!” pidatonya menggelegar.
Ketika Wakil Presiden Mohammad Hata tak mampu membeli sepatu impiannya hingga akhir hayatnya. Ketika Perdana Menteri Mohammad Natsir dengan jas tambalnya mengayuk sepeda ontel ke kontrakkanya. Ketika Diplomat Ulung, Menlu itu berpindah-pindah kontrakkan dari satu gang ke gang lainnya. Kelak, ‘dongeng’ ini akan dibacakan kepada putra-putri kita sebelum tidurnya…
(Oleh: Lesus, penggiat Jejak Islam untuk Bangsa)