Dalam Al Quran surah an-Nahl [16]: 90, Allah SWT mengajarkan kepada manusia dua hal. Pertama, Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat baik terhadap kerabat pada khususnya, terhadap sesama manusia pada umumnya. Kedua, Allah melarang kekejian, kemungkaran dan permusuhan dalam segala bentuknya.
Allah mengajarkan dua hal tersebut tidak lain agar manusia mengambil pelajaran untuk kepentingan dunia dan akhirat. Dalam ayat berikutnya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah (kalian) itu sesudah meneguhkannya, sedang kalian telah menjadikan Allah sebagai saksi-saksi kalian. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian perbuat” (QS An-Nahl [16]: 91).
Sesungguhnya manusia telah bersumpah di hadapan Allah bahwa mereka akan meng-Esa-kan-Nya. Dalam konteks ini bersumpah akan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Allah mengingatkan: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak (keturunan) Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka”.
Allah bertanya kepada mereka: “Bukankah Aku ini Tuhan kalian? Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”‘ (QS al-A’raf [7]: 172). Mengapa Allah bertanya begitu? Supaya manusia kelak di hari kiamat tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (keturunan Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap (perkara) ini (ke-Esa-an Tuhan)”.
Dalam ayat lain Allah menyatakan adil itu lebih dekat kepada takwa. Dengan begitu, supaya kita tergolong orang-orang bertakwa: berlaku adillah dalam segala perkara terhadap kedua orang tua (ibu dan ayah) dan kerabat, bahkan terhadap diri sendiri.
Ada yang mempertanyakan, bagaimana bisa adil terhadap orang lain kalau terhadap diri sendiri saja belum bisa?
Allah menyatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian sebenar-benarnya penegak-penegak keadilan, menjadi saksi-saksi karena Allah, walau pun terhadap diri kalian sendiri atau kedua orang tua kalian dan kerabat kalian” (QS an-Nisa [4]: 135).
Terhadap ketiga-tiganya, kita diperintahkan menegakkan keadilan dengan sebenar-benarnya: terhadap ibu dan ayah, terhadap kerabat, dan terhadap diri sendiri. Tidak adil, bila kita hanya adil terhadap ayah-ibu dan kerabat, namun tidak adil terhadap diri sendiri. Maka, lakukanlah terhadap ketiga-tiganya secara proporsional.
Adil terhadap diri sendiri antara lain adil dalam membagi waktu untuk tubuh kita. Tubuh kita sejatinya memiliki batas toleransi. Tubuh kita tidak boleh diforsir/dipaksa untuk beraktivitas. Tubuh kita memerlukan waktu untuk beristirahat. Maka, bagikanlah kedua-duanya secara proporsional.
Allah menjelaskan dalam beberapa ayat-Nya bahwa diciptakannya siang dan malam adalah untuk kebaikan/kemaslahatan manusia. Siang untuk mencari karunia Allah (mencari nafkah) sedang malam untuk beristirahat. Antara lain termaktub dalam QS ar-Rum [30]: 23, QS al-Qashash [28]: 73, QS an-Naml [27]: 86, QS al-Mu’min [40]: 61, dan QS al-An’am [6]: 60. Wallahu a’lam. (Mahmud Yunus/Republika Online)
Allah mengajarkan dua hal tersebut tidak lain agar manusia mengambil pelajaran untuk kepentingan dunia dan akhirat. Dalam ayat berikutnya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah (kalian) itu sesudah meneguhkannya, sedang kalian telah menjadikan Allah sebagai saksi-saksi kalian. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian perbuat” (QS An-Nahl [16]: 91).
Sesungguhnya manusia telah bersumpah di hadapan Allah bahwa mereka akan meng-Esa-kan-Nya. Dalam konteks ini bersumpah akan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Allah mengingatkan: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak (keturunan) Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka”.
Allah bertanya kepada mereka: “Bukankah Aku ini Tuhan kalian? Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”‘ (QS al-A’raf [7]: 172). Mengapa Allah bertanya begitu? Supaya manusia kelak di hari kiamat tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (keturunan Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap (perkara) ini (ke-Esa-an Tuhan)”.
Dalam ayat lain Allah menyatakan adil itu lebih dekat kepada takwa. Dengan begitu, supaya kita tergolong orang-orang bertakwa: berlaku adillah dalam segala perkara terhadap kedua orang tua (ibu dan ayah) dan kerabat, bahkan terhadap diri sendiri.
Ada yang mempertanyakan, bagaimana bisa adil terhadap orang lain kalau terhadap diri sendiri saja belum bisa?
Allah menyatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian sebenar-benarnya penegak-penegak keadilan, menjadi saksi-saksi karena Allah, walau pun terhadap diri kalian sendiri atau kedua orang tua kalian dan kerabat kalian” (QS an-Nisa [4]: 135).
Terhadap ketiga-tiganya, kita diperintahkan menegakkan keadilan dengan sebenar-benarnya: terhadap ibu dan ayah, terhadap kerabat, dan terhadap diri sendiri. Tidak adil, bila kita hanya adil terhadap ayah-ibu dan kerabat, namun tidak adil terhadap diri sendiri. Maka, lakukanlah terhadap ketiga-tiganya secara proporsional.
Adil terhadap diri sendiri antara lain adil dalam membagi waktu untuk tubuh kita. Tubuh kita sejatinya memiliki batas toleransi. Tubuh kita tidak boleh diforsir/dipaksa untuk beraktivitas. Tubuh kita memerlukan waktu untuk beristirahat. Maka, bagikanlah kedua-duanya secara proporsional.
Allah menjelaskan dalam beberapa ayat-Nya bahwa diciptakannya siang dan malam adalah untuk kebaikan/kemaslahatan manusia. Siang untuk mencari karunia Allah (mencari nafkah) sedang malam untuk beristirahat. Antara lain termaktub dalam QS ar-Rum [30]: 23, QS al-Qashash [28]: 73, QS an-Naml [27]: 86, QS al-Mu’min [40]: 61, dan QS al-An’am [6]: 60. Wallahu a’lam. (Mahmud Yunus/Republika Online)