Bagi penyuka novel tentu sedikitnya tahu tentang sosok Tere Liye. Tak hanya aktif menulis buku, ia juga aktif bermedia sosial sehingga memiliki penggemar yang kebanyakan anak muda.
Di balik sosoknya saat ini, ia dulu sering nyinyir atau berkomentar negatif setiap Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa. Hingga suatu hari seorang temannya menegur Tere Liye dengan baik.
“Bro, jangan-jangan, kitalah yang ilmunya dangkal. Bukan MUI-nya yang lebay. Tapi kitalah yang tidak pernah belajar agama sendiri.” ucap sang teman.
Karena gejolak darah muda, wajah Tere Liye langsung memerah dan tidak terima dengan pernyataan temannya tersebut. Tere Liye tidak terima jika ia dianggap memiliki ilmu yang dangkal. Namun sebelum semakin emosi, temannya tersebut kemudian meminta Tere Liye menuliskan jawaban apa yang hendak ia tanyakan.
“Jangan marah, bro. Mending pegang kertas dan pulpen gue, nih. Mari kita daftar hal-hal berikut ini. Kalau sudah didaftar, nanti boleh marah-marah.”
Lantaran sang teman merupakan sahabat yang baik, akhirnya Tere Liye menuruti apa yang diinginkannya.
Hal yang pertama ditanyakan adalah tentang kapan terakhir kali Tere Liye membaca Al Qur’an lengkap dengan terjemahan dan tafsirnya. Tere Liye pun berusaha mengingat-ingat kapan ia berinteraksi dengan Qur’an.
Hal yang kedua adalah mengenai kapan Tere Liye mempelajari berbagai hadist shahih secara seksama. Lagi-lagi Tere Liye dibuat terdiam dengan pertanyaan tersebut.
Hal yang ketiga adalah mengenai kapan Tere Liye ikut serta duduk di majelis ilmu dan diisi oleh guru-guru agama. Tere Liye benar-benar dibuat skak mat oleh pertanyaan temannya tersebut dan hanya bisa termangu menatap kertas yang masih kosong.
Sang teman kemudian mengingatkan bahwa boleh jadi kita merasa berpengetahuan, namun kenyataannya hanya pandai bicara saja dan bersilat lidah. Belum lagi ketika ditanya mengenai ibadah yang kita lakukan, maka sangat jauh dengan apa yang dilakukan oleh para ulama.
Sang teman menegaskan bahwa ternyata sentiment terhadap para ulama dan keputusannya tanpa sadar membawa kita pada sentiment terhadap Al Qur’an, nabi dan agama sendiri. Ini karena semua fatwa yang dikeluarkan MUI bersumber dari kitab suci dan hadist.
Di saat itulah pemikiran Tere Liye mengenai fatwa MUI tidak langsung dinegatifkan, melainkan dipahami dan direnungkan.
Baca Juga:
Di balik sosoknya saat ini, ia dulu sering nyinyir atau berkomentar negatif setiap Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa. Hingga suatu hari seorang temannya menegur Tere Liye dengan baik.
“Bro, jangan-jangan, kitalah yang ilmunya dangkal. Bukan MUI-nya yang lebay. Tapi kitalah yang tidak pernah belajar agama sendiri.” ucap sang teman.
Karena gejolak darah muda, wajah Tere Liye langsung memerah dan tidak terima dengan pernyataan temannya tersebut. Tere Liye tidak terima jika ia dianggap memiliki ilmu yang dangkal. Namun sebelum semakin emosi, temannya tersebut kemudian meminta Tere Liye menuliskan jawaban apa yang hendak ia tanyakan.
“Jangan marah, bro. Mending pegang kertas dan pulpen gue, nih. Mari kita daftar hal-hal berikut ini. Kalau sudah didaftar, nanti boleh marah-marah.”
Lantaran sang teman merupakan sahabat yang baik, akhirnya Tere Liye menuruti apa yang diinginkannya.
Hal yang pertama ditanyakan adalah tentang kapan terakhir kali Tere Liye membaca Al Qur’an lengkap dengan terjemahan dan tafsirnya. Tere Liye pun berusaha mengingat-ingat kapan ia berinteraksi dengan Qur’an.
Hal yang kedua adalah mengenai kapan Tere Liye mempelajari berbagai hadist shahih secara seksama. Lagi-lagi Tere Liye dibuat terdiam dengan pertanyaan tersebut.
Hal yang ketiga adalah mengenai kapan Tere Liye ikut serta duduk di majelis ilmu dan diisi oleh guru-guru agama. Tere Liye benar-benar dibuat skak mat oleh pertanyaan temannya tersebut dan hanya bisa termangu menatap kertas yang masih kosong.
Sang teman kemudian mengingatkan bahwa boleh jadi kita merasa berpengetahuan, namun kenyataannya hanya pandai bicara saja dan bersilat lidah. Belum lagi ketika ditanya mengenai ibadah yang kita lakukan, maka sangat jauh dengan apa yang dilakukan oleh para ulama.
Sang teman menegaskan bahwa ternyata sentiment terhadap para ulama dan keputusannya tanpa sadar membawa kita pada sentiment terhadap Al Qur’an, nabi dan agama sendiri. Ini karena semua fatwa yang dikeluarkan MUI bersumber dari kitab suci dan hadist.
Di saat itulah pemikiran Tere Liye mengenai fatwa MUI tidak langsung dinegatifkan, melainkan dipahami dan direnungkan.
Baca Juga:
- Dituding Menjadi Sumber Masalah, Ormas Islam Ini Minta MUI Direformasi
- Islam Dituduh Sebagai Anti Kebhinekaan, Begini Jawaban Ketua MUI
- MUI, Ayo Keluarkan Fatwa Pacaran Haram! Dukung #IndonesiaTanpaPacaran