Berdasar kisah nyata. Agak panjang, luangkan waktu untuk membaca sampai selesai. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah ini.
Seusai Sholat Shubuh aku dikejutkan oleh Bunda, “Ari, Nenek kamu masuk Rumah Sakit. Bunda harus datang melihatnya“
Kulihat wajah bunda nampak sedih.
Tentu aku harus mendampingi bunda, karena tempat tinggal nenek tidak di Jakarta tapi Sumatera.
Sementara aku hampir tidak mungkin meninggalkan kesibukanku di Jakarta. Apalagi mitra bisnisku dari luar negeri sedang ada di Jakarta untuk menjajaki kerjasama pembelian produksi pabrikku.
Kulihat Bunda sedang sibuk mengemas pakaiannya di kamar.
“Bunda, apa enggak bisa berangkatnya lusa aja” kataku dengan lembut.
“Bunda enggak mau ganggu kamu, bunda bisa pergi sendiri kok, antar saja Bunda ke Bandara ya" kata bunda sambil memasukan pakaiannya kedalam koper.
“Baru minggu lalu bunda ke Dokter dan sekarang masih harus istirahat“ kataku dengan tetap lembut sambil memegang tas kopernya untuk mencoba menahannya pergi.
“Lusa aja ya, aku temanin“
“Tidak !!!“ mata Bunda melotot.
Kalau sudah begini aku hanya bisa menghela napas panjang.
Seperti biasanya aku harus mengalah untuk mengikuti kata Bunda. Istriku juga punya sifat sama denganku untuk mengikuti kehendak Bunda“
“Baiklah, kita pergi sama-sama“
Seperti biasanya pula Bunda tersenyum cerah, dia memelukku.
Didalam pesawat menuju kota kelahiran ayahku, lamunanku terbang kemasa kanak kanak ku.
Dalam usia 5 tahun, aku sudah yatim. Karena ayah meninggal akibat sakit.
Menurut cerita Bunda, ketika Ayah meninggal status ayah masih mahasiswa di Yogya.
Bunda bukanlah dari keluarga kaya. Bunda juga seorang Yatim.
Beda dengan Ayah yang terlahir dari keluarga Pajabat tinggi di Sumatera. Sehingga walau Ayah berstatus mahasiswa namun kiriman uang dari orang tuanya masih cukup untuk menanggung hidupnya berkeluarga.
Ayah sengaja merahasiakan perkawinan itu kepada keluarga besarnya. Namun dua tahun setelah ayah meninggal, bunda datang ke keluarga ayah sambil membawaku. Aku masih ingat ketika itu usiaku 7 tahun.
Aku tidak begitu ingat persis bagaimana suasana ketika Bunda memperkenalkan dirinya sebagai menantu dan aku sebagai cucu kepada kakek dan nenekku.
Yang aku tahu setiap tahun bunda selalu membawaku kerumah kakek dan nenek.
Setiap tahun, setiap lebaran, Bunda mengajakku pergi kerumah kakek dan nenek. Dengan berlelah lelah naik bus melewati pulau Jawa dan Sumatera untuk sampai.
Tak pernah aku antusias datang ke rumah kekek dan nenek. Sebagai anak kecil aku tahu bahwa kakek nenek tidak pernah hangat dengan kehadiranku dan Bunda.
Beda sekali dengan perlakuannya kepada saudara sepupuku yang lain, seperti Adi, Rini, Bobi, Anto, Dedi.
Setiap lebaran, kulihat para sepupuku datang dari Jakarta, Bandung, Surabaya dengan pakaian bagus. Beda sekali denganku.
Bila semua Istri Om sibuk berdandan di kamar atau bermalasan di taman belakang rumah kakek yang luas itu, Bunda malah sibuk di dapur memasak seperti pembantu.
Ayahku adalah anak tertua diantara empat bersaudara. Semua saudara ayah laki laki. Tidak ada perempuan.
Istri Om semua memang cantik-cantik.
Menurut yang kutahu dari nenek, yang selalu diulang-ulang dihadapan Bunda, bahwa semua Istri Om dari kalangan keluarga terhormat. Seakan merendahkan keberadaan Bunda. Tapi kulihat Bunda tak pernah tersinggung.
Selama membesarkan ku, Bunda tak pernah mendapat bantuan satu senpun dari keluarga Ayah. Juga Bunda tidak pernah memohon bantuan dari mereka.
Bunda bekerja keras di perusahaan Swasta sebagai tenaga administrasi. Bundapun tak pernah terpikir untuk menikah kembali. Ketika aku sudah remaja, aku sudah bisa beralasan bila Bunda mengajakku lebaran di rumah kakek.
“Aku males ke rumah kakek dan nenek. Mereka enggak sayang sama aku. Kenapa kita harus ke rumah mereka?“
Demikian alasanku. Tapi Bunda dengan segala sifatnya yang keras memaksaku untuk ikut. Akupun tak berdaya.
Ketika aku tamat SMU, aku tidak kuliah. Aku memilih bekerja di bengkel.
“Saya tak ada uang untuk mengirim Ari ke universitas, Yah“
Demikian kata ibu kepada kakek ketika menanyakan mengapa aku tidak kuliah.
Kakek dan nenek nampak tersenyum sinis ketika mengetahui keadaanku.
Tahun-tahun berikutnya ketika lebaran, Kakek dengan kebanggaannya bercerita tetang sepupuku yang berangkat ke luar negeri untuk kuliah. Ada juga yang masuk perguruan tinggi swasta bergengsi di Jakarta. Aku maklum karena Om ku semua mempunyai posisi sebagai Pejabat dan ada juga yang jadi pengusaha.
Aku dan Bunda hanya diam mendengar cerita itu. Tapi, tak pernah mengurangi niat Bunda untuk datang ke rumah kakek dan nenek.
Dan aku semakin bosan dengan sikap keluarga ayahku.
Yang pasti bi idznillaah, izin Allaah subhanahu wa ta'alaa ditambah kerja kerasku, aku bisa menanggung Bunda dan Bunda tak perlu lagi berkerja keras.
Berjalannya waktu, yang tadinya aku sebagai pekerja bengkel, akupun sudah bisa mandiri dengan membuka usaha bengkel sendiri.
Lambat laun, aku mendapat mitra untuk membuat komponen bodi kendaraan sebagai pemasok pabrikan otomotif. Usaha ini ku geluti dengan kerja keras siang malam dan akhirnya berkembang. Ini semua tidak bisa dilepaskan peran Bunda yang tak henti mendoa’ kan ku.
Akupun dapat hidup mapan. Namun, kewajiban setiap lebaran datang berkunjung ke rumah kakek nenek tetap saja dilakukan oleh Bunda dan aku harus ikut.
Tapi belakangan keluarga yang berkumpul di rumah kakek dan nenek tidak lagi utuh. Yang lain hanya menelphone mengucapkan selamat lebaran kepada kakek dan nenek. Sepupuku pun tak semua datang. Mereka bersikap sama dengan orang tuanya, mengucapkan selamat lebaran via SMS, telpon atau WA. Tapi kakek dan nenek tetap bangga dengan mereka.
Aku tak pernah cerita tentang keadaanku karena kakek dan nenek tak pernah bertanya tentangku. Walaupun mereka tahu aku dan Bunda tidak lagi datang dengan bus tapi menggunakan pesawat terbang.
Tak terasa roda pesawat sudah menyentuh landasan. Kulihat Bunda tersentak dari tidur lelapnya. Dia melirik kearahku dan entah kenapa dia menciumku keningku.
”Ada apa Bunda?“ tanyaku dengan tersenyum.
“Bunda ingat akan ayahmu"
Bunda nampak berlinang air mata. Aku hanya diam.
“Ayahmu pria yang sangat baik. Sangat baik. Dia pria yang Sholeh. Ayahmu berencana bila dia selesai kuliah dan dapat pekerjaan maka dia akan membawa Bunda dan kamu ke keluarga besarnya“
“Bunda tahu kok, Ayahmu dalam posisi lemah ketika melamar Bunda. Di samping itu dia sadar karena pilihannya kepada bunda membuat dia berbeda dengan Ayahnya“
“Ayahmu mencintai bunda karena dia lebih mencintai Allaah dari apapun” sambung Bunda.
“Maksud Bunda apa?“
“Ayahmu memilih Bunda karena Agama“
“Dia tidak melihat Bunda karena kecantikan, karena keturunan orang kaya, karena apa-apa. Dihadapan Ayahmu, Bunda adalah muslimah yang baik, yang miskin. Dan itu pasti akan ditentang habis oleh keluarganya”
Air mata Bunda berlinang dan akhirnya air mata itu jatuh membasahi pipinya
“Kamu adalah putra ayahmu. Anak yang berbakti, Sholeh dan pekerja keras“
“Benarlah kalau niat baik karena Allaah maka yang akan datang juga kebaikan“
Aku terdiam. Ada yang mengganjal dalam pikiranku. Ini momen yang tepat untuk bertanya.
“Kenapa Bunda selalu menaruh hormat kepada kakek dan nenek. Padahal mereka sangat acuh dan tidak peduli dengan kita“
Bunda menatapku dengan tersenyum.
“Ketika Ayahmu pulang ke Sumatera dalam keadaan sakit, dia berpesan kepada Bunda, bila dia meninggal agar Bunda menjalin silahturahim dengan keluarganya dan mendidik mu untuk dekat kepada kedua orang tuanya”
Bunda terdiam sebentar sambil mengusap airmatanya.
“Kamu tahu, setelah Ayahmu meninggal, butuh dua tahun Bunda untuk mengambil keputusan untuk bertemu dengan kakek dan nenekmu“
“Walau karena itu tidak ada rasa hormat kepada Bunda, dan Bunda juga menyaksikan betapa kamu tidak diperlakukan sama seperti cucu yang lain, tapi Bunda ingat kata kata Ayahmu“
“CINTAILAH SESUATU KARENA ALLAH. TAK PENTING RASA HORMAT DAN IMBALAN DARI MANUSIA, ya kan, anakku”
“Ya, Bunda“ Terlontar begitu saja dari mulutku.
Entah kenapa kedatangan ku bersama Bunda kali ini disambut dengan air mata berlinang oleh kakek.
Dia peluk aku ketika sampai di kamar nenek dirawat.
Yang datang menjenguk hanya “aku dan Ibu”. Sementara Om dan sepupuku tidak ada yang datang. Kulihat nenek dalam keadaan tertidur.
Dari kakek kutahu bahwa nenek terkena stroke tapi keadaanya cepat tertolong. Mungkin setelah itu nenek akan lumpuh. Kakek mengajakku keluar dari ruangan. Kami bicara di taman Rumah sakit.
“Dua tahun lalu Om mu yang pejabat di Jakarta, terkena kasus Korupsi. Dia dalam pemeriksaan oleh aparat yang berwajib“
“Sebelumnya Om mu yang di Surabaya perusahaannya disita oleh Bank karena bangkrut“
“Om kamu yang di Bandung bercerai dengan istrinya karena soal perselingkuhan dan akhirnya terkena PHK sebagai PNS“
“Semua anak-anak mereka tumbuh menjadi anak yang liar. Kuliah tidak selesai, dan terjebak dalam pergaulan bebas“
Aku terkejut, karena baru kali ini aku tahu. Mungkin karena hubunganku dengan keluarga ayahku tidak begitu dekat maka tak banyak kutahu soal mereka.
“Kakek tahu bahwa nenekmu punya penyakit darah tinggi dan jantung. Makanya kakek berusaha menyimpan rapat rahasia tentang Om kamu yang tersangkut kasus karupsi“
“Tapi kemarin, ada yang memberi tahu bahwa Om kamu sudah di vonis penjara enam tahun atas tindakan korupsinya. Seketika itu pula nenekmu jatuh pingsan”
Aku hanya diam untuk menjadi pendengar yang baik.
“Ari, kami tahu bahwa selama ini perlakuan kami kepada kamu dan ibu mu kurang baik“
“Bahkan kami biarkan ibu mu menderita membesarkan kamu, membesarkan anak dari putra sulung kami, cucu kami“
“Kami menyesal karena sikap kami selama ini. Belakangan ini, nenekmu selalu menyebut nama kamu. Setiap dia menyebut namamu, seketika itu juga dia menangis“
“Kini dimasa tua kami, kami resah karena tak tahu siapa yang akan mengurus kami“
“Nenekmu mungkin setelah ini akan lumpuh. Kakek sudah uzur dan lemah…”
Ku genggam tangan kakek.
“Aku yang akan merawat kakek dan nenek. Izinkan aku untuk membawa kakek dan nenek ke Jakarta, tinggal bersamaku. Beri kesempatan aku untuk berbakti kepada kakek dan nenek, ya kek“
Seketika itu juga kakek memelukku erat.
Terasa pundakku basah, aku tahu kakek menangis.
“Harta yang ada jual saja lah kek. Untuk bantu Om dan Adik-adiknya. Dalam situasi ini tentu mereka sangat membutuhkannya“
“Dan sisanya kakek sedekahkan untuk Panti asuhan agar kakek punya bekal ke akhirat, setuju kan kek“ kataku.
Kakek semakin erat pelukannya.
“Maha suci Allaah, sifatmu tak jauh beda dengan Ayahmu, yang begitu bijak menyikapi kami“
Bertahun-tahun aku di didik oleh Bunda untuk memahami makna cinta.
BAHWA CINTA ADALAH TINDAKAN MEMBERI KARENA ALLAH BUKAN MENGHARAP BALASAN DARI MANUSIA.
Akupun harus memahami hakikat cinta dalam kehidupan ini, termasuk menggantikan posisi ayahku untuk berbakti kepada kakek dan nenek, orangtua ayahku.
Bunda nampak bahagia sekali ketika melihatku mendorong kursi roda Nenek menuju tangga pesawat dengan di samping kakek yang berjalan sambil memegang lenganku.
Kami semua ke Jakarta.
—–
#copas dari grup WA Baitul Mal dengan sedikit editan. Bagi penulis atau yang mengetahui penulis aslinya, mohon ijin share.
Seusai Sholat Shubuh aku dikejutkan oleh Bunda, “Ari, Nenek kamu masuk Rumah Sakit. Bunda harus datang melihatnya“
Kulihat wajah bunda nampak sedih.
Tentu aku harus mendampingi bunda, karena tempat tinggal nenek tidak di Jakarta tapi Sumatera.
Sementara aku hampir tidak mungkin meninggalkan kesibukanku di Jakarta. Apalagi mitra bisnisku dari luar negeri sedang ada di Jakarta untuk menjajaki kerjasama pembelian produksi pabrikku.
Kulihat Bunda sedang sibuk mengemas pakaiannya di kamar.
“Bunda, apa enggak bisa berangkatnya lusa aja” kataku dengan lembut.
“Bunda enggak mau ganggu kamu, bunda bisa pergi sendiri kok, antar saja Bunda ke Bandara ya" kata bunda sambil memasukan pakaiannya kedalam koper.
“Baru minggu lalu bunda ke Dokter dan sekarang masih harus istirahat“ kataku dengan tetap lembut sambil memegang tas kopernya untuk mencoba menahannya pergi.
“Lusa aja ya, aku temanin“
“Tidak !!!“ mata Bunda melotot.
Kalau sudah begini aku hanya bisa menghela napas panjang.
Seperti biasanya aku harus mengalah untuk mengikuti kata Bunda. Istriku juga punya sifat sama denganku untuk mengikuti kehendak Bunda“
“Baiklah, kita pergi sama-sama“
Seperti biasanya pula Bunda tersenyum cerah, dia memelukku.
Didalam pesawat menuju kota kelahiran ayahku, lamunanku terbang kemasa kanak kanak ku.
Dalam usia 5 tahun, aku sudah yatim. Karena ayah meninggal akibat sakit.
Menurut cerita Bunda, ketika Ayah meninggal status ayah masih mahasiswa di Yogya.
Bunda bukanlah dari keluarga kaya. Bunda juga seorang Yatim.
Beda dengan Ayah yang terlahir dari keluarga Pajabat tinggi di Sumatera. Sehingga walau Ayah berstatus mahasiswa namun kiriman uang dari orang tuanya masih cukup untuk menanggung hidupnya berkeluarga.
Ayah sengaja merahasiakan perkawinan itu kepada keluarga besarnya. Namun dua tahun setelah ayah meninggal, bunda datang ke keluarga ayah sambil membawaku. Aku masih ingat ketika itu usiaku 7 tahun.
Aku tidak begitu ingat persis bagaimana suasana ketika Bunda memperkenalkan dirinya sebagai menantu dan aku sebagai cucu kepada kakek dan nenekku.
Yang aku tahu setiap tahun bunda selalu membawaku kerumah kakek dan nenek.
Setiap tahun, setiap lebaran, Bunda mengajakku pergi kerumah kakek dan nenek. Dengan berlelah lelah naik bus melewati pulau Jawa dan Sumatera untuk sampai.
Tak pernah aku antusias datang ke rumah kekek dan nenek. Sebagai anak kecil aku tahu bahwa kakek nenek tidak pernah hangat dengan kehadiranku dan Bunda.
Beda sekali dengan perlakuannya kepada saudara sepupuku yang lain, seperti Adi, Rini, Bobi, Anto, Dedi.
Setiap lebaran, kulihat para sepupuku datang dari Jakarta, Bandung, Surabaya dengan pakaian bagus. Beda sekali denganku.
Bila semua Istri Om sibuk berdandan di kamar atau bermalasan di taman belakang rumah kakek yang luas itu, Bunda malah sibuk di dapur memasak seperti pembantu.
Ayahku adalah anak tertua diantara empat bersaudara. Semua saudara ayah laki laki. Tidak ada perempuan.
Istri Om semua memang cantik-cantik.
Menurut yang kutahu dari nenek, yang selalu diulang-ulang dihadapan Bunda, bahwa semua Istri Om dari kalangan keluarga terhormat. Seakan merendahkan keberadaan Bunda. Tapi kulihat Bunda tak pernah tersinggung.
Selama membesarkan ku, Bunda tak pernah mendapat bantuan satu senpun dari keluarga Ayah. Juga Bunda tidak pernah memohon bantuan dari mereka.
Bunda bekerja keras di perusahaan Swasta sebagai tenaga administrasi. Bundapun tak pernah terpikir untuk menikah kembali. Ketika aku sudah remaja, aku sudah bisa beralasan bila Bunda mengajakku lebaran di rumah kakek.
“Aku males ke rumah kakek dan nenek. Mereka enggak sayang sama aku. Kenapa kita harus ke rumah mereka?“
Demikian alasanku. Tapi Bunda dengan segala sifatnya yang keras memaksaku untuk ikut. Akupun tak berdaya.
Ketika aku tamat SMU, aku tidak kuliah. Aku memilih bekerja di bengkel.
“Saya tak ada uang untuk mengirim Ari ke universitas, Yah“
Demikian kata ibu kepada kakek ketika menanyakan mengapa aku tidak kuliah.
Kakek dan nenek nampak tersenyum sinis ketika mengetahui keadaanku.
Tahun-tahun berikutnya ketika lebaran, Kakek dengan kebanggaannya bercerita tetang sepupuku yang berangkat ke luar negeri untuk kuliah. Ada juga yang masuk perguruan tinggi swasta bergengsi di Jakarta. Aku maklum karena Om ku semua mempunyai posisi sebagai Pejabat dan ada juga yang jadi pengusaha.
Aku dan Bunda hanya diam mendengar cerita itu. Tapi, tak pernah mengurangi niat Bunda untuk datang ke rumah kakek dan nenek.
Dan aku semakin bosan dengan sikap keluarga ayahku.
Yang pasti bi idznillaah, izin Allaah subhanahu wa ta'alaa ditambah kerja kerasku, aku bisa menanggung Bunda dan Bunda tak perlu lagi berkerja keras.
Berjalannya waktu, yang tadinya aku sebagai pekerja bengkel, akupun sudah bisa mandiri dengan membuka usaha bengkel sendiri.
Lambat laun, aku mendapat mitra untuk membuat komponen bodi kendaraan sebagai pemasok pabrikan otomotif. Usaha ini ku geluti dengan kerja keras siang malam dan akhirnya berkembang. Ini semua tidak bisa dilepaskan peran Bunda yang tak henti mendoa’ kan ku.
Akupun dapat hidup mapan. Namun, kewajiban setiap lebaran datang berkunjung ke rumah kakek nenek tetap saja dilakukan oleh Bunda dan aku harus ikut.
Tapi belakangan keluarga yang berkumpul di rumah kakek dan nenek tidak lagi utuh. Yang lain hanya menelphone mengucapkan selamat lebaran kepada kakek dan nenek. Sepupuku pun tak semua datang. Mereka bersikap sama dengan orang tuanya, mengucapkan selamat lebaran via SMS, telpon atau WA. Tapi kakek dan nenek tetap bangga dengan mereka.
Aku tak pernah cerita tentang keadaanku karena kakek dan nenek tak pernah bertanya tentangku. Walaupun mereka tahu aku dan Bunda tidak lagi datang dengan bus tapi menggunakan pesawat terbang.
Tak terasa roda pesawat sudah menyentuh landasan. Kulihat Bunda tersentak dari tidur lelapnya. Dia melirik kearahku dan entah kenapa dia menciumku keningku.
”Ada apa Bunda?“ tanyaku dengan tersenyum.
“Bunda ingat akan ayahmu"
Bunda nampak berlinang air mata. Aku hanya diam.
“Ayahmu pria yang sangat baik. Sangat baik. Dia pria yang Sholeh. Ayahmu berencana bila dia selesai kuliah dan dapat pekerjaan maka dia akan membawa Bunda dan kamu ke keluarga besarnya“
“Bunda tahu kok, Ayahmu dalam posisi lemah ketika melamar Bunda. Di samping itu dia sadar karena pilihannya kepada bunda membuat dia berbeda dengan Ayahnya“
“Ayahmu mencintai bunda karena dia lebih mencintai Allaah dari apapun” sambung Bunda.
“Maksud Bunda apa?“
“Ayahmu memilih Bunda karena Agama“
“Dia tidak melihat Bunda karena kecantikan, karena keturunan orang kaya, karena apa-apa. Dihadapan Ayahmu, Bunda adalah muslimah yang baik, yang miskin. Dan itu pasti akan ditentang habis oleh keluarganya”
Air mata Bunda berlinang dan akhirnya air mata itu jatuh membasahi pipinya
“Kamu adalah putra ayahmu. Anak yang berbakti, Sholeh dan pekerja keras“
“Benarlah kalau niat baik karena Allaah maka yang akan datang juga kebaikan“
Aku terdiam. Ada yang mengganjal dalam pikiranku. Ini momen yang tepat untuk bertanya.
“Kenapa Bunda selalu menaruh hormat kepada kakek dan nenek. Padahal mereka sangat acuh dan tidak peduli dengan kita“
Bunda menatapku dengan tersenyum.
“Ketika Ayahmu pulang ke Sumatera dalam keadaan sakit, dia berpesan kepada Bunda, bila dia meninggal agar Bunda menjalin silahturahim dengan keluarganya dan mendidik mu untuk dekat kepada kedua orang tuanya”
Bunda terdiam sebentar sambil mengusap airmatanya.
“Kamu tahu, setelah Ayahmu meninggal, butuh dua tahun Bunda untuk mengambil keputusan untuk bertemu dengan kakek dan nenekmu“
“Walau karena itu tidak ada rasa hormat kepada Bunda, dan Bunda juga menyaksikan betapa kamu tidak diperlakukan sama seperti cucu yang lain, tapi Bunda ingat kata kata Ayahmu“
“CINTAILAH SESUATU KARENA ALLAH. TAK PENTING RASA HORMAT DAN IMBALAN DARI MANUSIA, ya kan, anakku”
“Ya, Bunda“ Terlontar begitu saja dari mulutku.
Entah kenapa kedatangan ku bersama Bunda kali ini disambut dengan air mata berlinang oleh kakek.
Dia peluk aku ketika sampai di kamar nenek dirawat.
Yang datang menjenguk hanya “aku dan Ibu”. Sementara Om dan sepupuku tidak ada yang datang. Kulihat nenek dalam keadaan tertidur.
Dari kakek kutahu bahwa nenek terkena stroke tapi keadaanya cepat tertolong. Mungkin setelah itu nenek akan lumpuh. Kakek mengajakku keluar dari ruangan. Kami bicara di taman Rumah sakit.
“Dua tahun lalu Om mu yang pejabat di Jakarta, terkena kasus Korupsi. Dia dalam pemeriksaan oleh aparat yang berwajib“
“Sebelumnya Om mu yang di Surabaya perusahaannya disita oleh Bank karena bangkrut“
“Om kamu yang di Bandung bercerai dengan istrinya karena soal perselingkuhan dan akhirnya terkena PHK sebagai PNS“
“Semua anak-anak mereka tumbuh menjadi anak yang liar. Kuliah tidak selesai, dan terjebak dalam pergaulan bebas“
Aku terkejut, karena baru kali ini aku tahu. Mungkin karena hubunganku dengan keluarga ayahku tidak begitu dekat maka tak banyak kutahu soal mereka.
“Kakek tahu bahwa nenekmu punya penyakit darah tinggi dan jantung. Makanya kakek berusaha menyimpan rapat rahasia tentang Om kamu yang tersangkut kasus karupsi“
“Tapi kemarin, ada yang memberi tahu bahwa Om kamu sudah di vonis penjara enam tahun atas tindakan korupsinya. Seketika itu pula nenekmu jatuh pingsan”
Aku hanya diam untuk menjadi pendengar yang baik.
“Ari, kami tahu bahwa selama ini perlakuan kami kepada kamu dan ibu mu kurang baik“
“Bahkan kami biarkan ibu mu menderita membesarkan kamu, membesarkan anak dari putra sulung kami, cucu kami“
“Kami menyesal karena sikap kami selama ini. Belakangan ini, nenekmu selalu menyebut nama kamu. Setiap dia menyebut namamu, seketika itu juga dia menangis“
“Kini dimasa tua kami, kami resah karena tak tahu siapa yang akan mengurus kami“
“Nenekmu mungkin setelah ini akan lumpuh. Kakek sudah uzur dan lemah…”
Ku genggam tangan kakek.
“Aku yang akan merawat kakek dan nenek. Izinkan aku untuk membawa kakek dan nenek ke Jakarta, tinggal bersamaku. Beri kesempatan aku untuk berbakti kepada kakek dan nenek, ya kek“
Seketika itu juga kakek memelukku erat.
Terasa pundakku basah, aku tahu kakek menangis.
“Harta yang ada jual saja lah kek. Untuk bantu Om dan Adik-adiknya. Dalam situasi ini tentu mereka sangat membutuhkannya“
“Dan sisanya kakek sedekahkan untuk Panti asuhan agar kakek punya bekal ke akhirat, setuju kan kek“ kataku.
Kakek semakin erat pelukannya.
“Maha suci Allaah, sifatmu tak jauh beda dengan Ayahmu, yang begitu bijak menyikapi kami“
Bertahun-tahun aku di didik oleh Bunda untuk memahami makna cinta.
BAHWA CINTA ADALAH TINDAKAN MEMBERI KARENA ALLAH BUKAN MENGHARAP BALASAN DARI MANUSIA.
Akupun harus memahami hakikat cinta dalam kehidupan ini, termasuk menggantikan posisi ayahku untuk berbakti kepada kakek dan nenek, orangtua ayahku.
Bunda nampak bahagia sekali ketika melihatku mendorong kursi roda Nenek menuju tangga pesawat dengan di samping kakek yang berjalan sambil memegang lenganku.
Kami semua ke Jakarta.
—–
#copas dari grup WA Baitul Mal dengan sedikit editan. Bagi penulis atau yang mengetahui penulis aslinya, mohon ijin share.