"Akan kuadukan kalian kepada Tuhanku!" jerit seorang gadis kecil Aleppo.
Ia sungguh tak tahu mengapa tiba-tiba ayahnya diserang hingga bersimbah darah kemudian meninggal dengan tragis. Ia sungguh tak paham mengapa ibunya tiba-tiba diperkosa lalu dibunuh. Ia juga tak mengerti mengapa tiba-tiba rumahnya dihancurkan hingga tak bersisa sama sekali.
Ia tak mengerti mengapa sepanjang jalan yang dilalui penuh dengan gelimpangan mayat yang bersimbah darah. Ia juga tak mengerti mengapa taman bermain tiba-tiba berubah menjadi gosong. Ia tak paham kenapa sekolahannya tinggal puing-puing berdebu. Rumah temannya tinggal seonggok batu bata hitam. Jalan-jalan yang dilaluinya penuh dengan lubang besar.
Tak ada air, tak ada listrik. Suasana kotanya mendadak mencekam dan gelap gulita. Hanya akan terlihat terang ketika pesawat-pesawat tempur itu memuntahkan bom. Kobaran api dimana-mana, seakan pesta kembang api berdarah.
Ia tak tahu kapan semua ini akan berakhir.
Padahal ia sangat merindukan untuk bisa berkumpul kembali bersama keluarganya tercinta. Agar ia bisa bermain kembali dengan adiknya yang entah dimana keberadaannya, apakah masih hidup ataukah sdh mati. Sebuah impian manis yang tak mungkin terwujud.
Kini ia hanya bisa mendekap boneka beruangnya yang sudah kusam itu. Satu-satunya mainan yang masih ia miliki dan menjadi teman setianya sepanjang hidup.
Ia marah, sedih, dan bingung mengapa tak ada orang-orang yang mau menolong keluarganya tercinta. Ia tak tahu harus mengadu kepada siapa, kecuali kepada Tuhan.
Semoga kita bukan termasuk golongan orang-orang yang diadukan kepada Tuhan oleh gadis kecil itu. Karena ada ribuan gadis kecil sepertinya di Suriah. [Widi Astuti]
Ia sungguh tak tahu mengapa tiba-tiba ayahnya diserang hingga bersimbah darah kemudian meninggal dengan tragis. Ia sungguh tak paham mengapa ibunya tiba-tiba diperkosa lalu dibunuh. Ia juga tak mengerti mengapa tiba-tiba rumahnya dihancurkan hingga tak bersisa sama sekali.
Ia tak mengerti mengapa sepanjang jalan yang dilalui penuh dengan gelimpangan mayat yang bersimbah darah. Ia juga tak mengerti mengapa taman bermain tiba-tiba berubah menjadi gosong. Ia tak paham kenapa sekolahannya tinggal puing-puing berdebu. Rumah temannya tinggal seonggok batu bata hitam. Jalan-jalan yang dilaluinya penuh dengan lubang besar.
Tak ada air, tak ada listrik. Suasana kotanya mendadak mencekam dan gelap gulita. Hanya akan terlihat terang ketika pesawat-pesawat tempur itu memuntahkan bom. Kobaran api dimana-mana, seakan pesta kembang api berdarah.
Ia tak tahu kapan semua ini akan berakhir.
Padahal ia sangat merindukan untuk bisa berkumpul kembali bersama keluarganya tercinta. Agar ia bisa bermain kembali dengan adiknya yang entah dimana keberadaannya, apakah masih hidup ataukah sdh mati. Sebuah impian manis yang tak mungkin terwujud.
Kini ia hanya bisa mendekap boneka beruangnya yang sudah kusam itu. Satu-satunya mainan yang masih ia miliki dan menjadi teman setianya sepanjang hidup.
Ia marah, sedih, dan bingung mengapa tak ada orang-orang yang mau menolong keluarganya tercinta. Ia tak tahu harus mengadu kepada siapa, kecuali kepada Tuhan.
Semoga kita bukan termasuk golongan orang-orang yang diadukan kepada Tuhan oleh gadis kecil itu. Karena ada ribuan gadis kecil sepertinya di Suriah. [Widi Astuti]