Tentu umum dan lumrah, kalau fasilitas toilet yang di sediakan tempat – tempat umum seperti terminal, mall, dan fasilitas publik lain berukuran sempit dan begitu terbatas. Hampir di katakan tidak ada jarak antara tempat buang air besar atau kecil dengan kran.
Bak penampungan air pun jarang di sediakan kecuali hanya gayung, kalaupun ada itupun hanya sebuah ember yang biasanya hanya dapat mampu memuat air tidak lebih dari 20 liter dan umumnya di letakkan persis di bawah kran.
Tak pelak bila dengan bilik yang terbilang begitu terbatas itu, air kran dalam ember yang ada berpotensi menimbulkan mustakmal atau mutannajis. Bila saja saat kita membersihkan hadast, cipratan air yang kita gunakan itu tanpa kita sadari menyipak ke dalam ember, atau gayung yang kita gunakan untuk membersihkan hadast (istinja’) itu terkena cipratan air bekas istinja’ kita yang kemudian kita pergunakan lagi untuk mengambil air dalam bak ember. Atau jika kita berwudhu, kemudian air bekas wudhu itu tersebutlah menetes ke dalam bak ember.
Sebenarnya bukan wudhunya yang di persoalkan, melainkan air bekas membersihkan hadast yang menyiprat ke dalam air bak ember itulah tentunya yang menjadi di sangsikan kesuciannya, sebab air dalam tampungan ember itu sudah terkontaminasi air bekas membersihkan hadas.
Agaknya kita anggap lumrah atau biasa – biasa saja persoalan itu. Barangkali bila cipratan air bekas yang kita pergunakan untuk istinja’ atau berwudhu itu menetes dalam tampungan air dalam ember tidak begitu kita persoalkan. Namun air kran dalam ember yang telah terkontaminasi dengan air bekas kita itulah yang patutnya kita waspadai. Mengapa? Karena air cipratan yang masuk ke dalam ember itu bisa menjadi mustakmal atau mutanajis.
Kesucian sejatinya tidak bisa di lihat dari sudut pandang kebersihan secara kasat mata saja, melainkan juga dari seberapa mampukah kita memanfaatkan air yang ada untuk membersihkan hadast dan najis ataupun bersuci. Bila kita lengah, maka tak pelak bila agaknya tubuh kita yang terlihat sudah bersih secara kasat mata namun hakikatnya masih mutanajjis. Karena kebersihan secara lahiriah tidak bisa menjadi tolak ukur suci atau tidaknya kita di mata Allah, melainkan juga harus bersih secara syar'i.
Sebagaimana yang kita semua ketahui, suci dari hadast dan najis selalu menjadi salah satu syarat utama dalam menunaikan sejumlah ibadah. Seperti shalat misalnya, untuk melaksanakannya, maka di syariatkan bagi kita harus dalam keadaan suci. Resikonya bila kita memaksa mengerjakannya tanpa memenuhi syarat tersebut terlebih dahulu, maka di khawatirkan semua amal ibadah yang kita laksanakan menjadi tidak sah.
Terkait air yang kita pergunakan untuk bersuci, sejatinya banyak atau sedikitnya air sangat berpengaruh bagi sah atau tidaknya aktivititas bersuci kita. Air yang banyak tentu sah – sah saja di pergunakan asal karakter air aslinya tidak berubah. Dalam konteks agama, ketentuan volume air yang kita pergunakan untuk bersuci di kenal dengan istilah qullah.
Istilah qullah ini berlaku pada zaman Rasulullah dan para sahabat. Dalam beberapa kitab fiqih, di sebutkan bahwa dua qullah itu setara dengan 500 rithl Baghdad atau kira – kira 270 liter. Demikian sebenarnya volume air yang agaknya aman dan cukup memenuhi syarat bila kia pergunakan untuk bersuci.
Dengan demikian air dalam ember yang tersedia dalam toilet – toilet umum sesungguhnya tidak bisa seenaknya kita pergunakan. Karena seperti yang telah di uraikan di atas, barangkali banyaknya air dalam ember itu belum mencukupi. Agaknya kondisi air itu masih suci bila tidak ada najis atau sebagaimanya yang tercampur ke dalamnya, namun bila sudah terkontaminasi dengan cipratan air bekas kita, maka statusnya menjadi mustakmal atau mutanajjis.
Di sebut mustakmal (sudah di gunakan) karena telah terkena cipratan air bekas bersuci, sedangkan di katakan mutanajjis apabila kemasukan kotoran atau air kencing kita, dalam hal ini air mutanajjis sudah tidak bisa di pergunakan untuk apa – apa lagi. Sebab syarat air yang di gunakan untuk bebersih atau bersuci harus bersifat suci mensucikan atau istilahnya Thahhir Muthahhir. Berbeda dengan air yang mengalir langsung dari kran, tentu menjadi aman untuk kita gunakan.
Sedangkan mengenai air Thahhir Muthahhir yang bisa kita pergunakan untuk berbagai keperluan seperti membersihkan najis, berwudhu atau mandi janabah syaratnya yakni, belum pernah di pakai sebelumnya, yang kedua, apabila airnya tidak mengalir atau tertampung dalam bak memang volumenya harus banyak, sebagaimana yang telah di sebutkan sebelumnya, paling tidak volumenya harus 270 liter, terakhir airnya mutlak, yaitu air yang menurut sifat asalnya seperti air yang turun dari langit atau keluar dari bumi, misalnya air hujan, air sungai, air laut, air telaga dan sebagainya.
Demikian perbedaan penting mengenai air. Maka seyogyanya berhati – hatilah kita dalam menggunakan air yang tersedia dalam toilet – toilet umum untuk bersuci. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”( QS. Al-Baqarah [2] : 222)
Wallahu A'lam.
Ilustrasi Bak Toilet |
Bak penampungan air pun jarang di sediakan kecuali hanya gayung, kalaupun ada itupun hanya sebuah ember yang biasanya hanya dapat mampu memuat air tidak lebih dari 20 liter dan umumnya di letakkan persis di bawah kran.
Tak pelak bila dengan bilik yang terbilang begitu terbatas itu, air kran dalam ember yang ada berpotensi menimbulkan mustakmal atau mutannajis. Bila saja saat kita membersihkan hadast, cipratan air yang kita gunakan itu tanpa kita sadari menyipak ke dalam ember, atau gayung yang kita gunakan untuk membersihkan hadast (istinja’) itu terkena cipratan air bekas istinja’ kita yang kemudian kita pergunakan lagi untuk mengambil air dalam bak ember. Atau jika kita berwudhu, kemudian air bekas wudhu itu tersebutlah menetes ke dalam bak ember.
Sebenarnya bukan wudhunya yang di persoalkan, melainkan air bekas membersihkan hadast yang menyiprat ke dalam air bak ember itulah tentunya yang menjadi di sangsikan kesuciannya, sebab air dalam tampungan ember itu sudah terkontaminasi air bekas membersihkan hadas.
Agaknya kita anggap lumrah atau biasa – biasa saja persoalan itu. Barangkali bila cipratan air bekas yang kita pergunakan untuk istinja’ atau berwudhu itu menetes dalam tampungan air dalam ember tidak begitu kita persoalkan. Namun air kran dalam ember yang telah terkontaminasi dengan air bekas kita itulah yang patutnya kita waspadai. Mengapa? Karena air cipratan yang masuk ke dalam ember itu bisa menjadi mustakmal atau mutanajis.
Kesucian sejatinya tidak bisa di lihat dari sudut pandang kebersihan secara kasat mata saja, melainkan juga dari seberapa mampukah kita memanfaatkan air yang ada untuk membersihkan hadast dan najis ataupun bersuci. Bila kita lengah, maka tak pelak bila agaknya tubuh kita yang terlihat sudah bersih secara kasat mata namun hakikatnya masih mutanajjis. Karena kebersihan secara lahiriah tidak bisa menjadi tolak ukur suci atau tidaknya kita di mata Allah, melainkan juga harus bersih secara syar'i.
Sebagaimana yang kita semua ketahui, suci dari hadast dan najis selalu menjadi salah satu syarat utama dalam menunaikan sejumlah ibadah. Seperti shalat misalnya, untuk melaksanakannya, maka di syariatkan bagi kita harus dalam keadaan suci. Resikonya bila kita memaksa mengerjakannya tanpa memenuhi syarat tersebut terlebih dahulu, maka di khawatirkan semua amal ibadah yang kita laksanakan menjadi tidak sah.
Terkait air yang kita pergunakan untuk bersuci, sejatinya banyak atau sedikitnya air sangat berpengaruh bagi sah atau tidaknya aktivititas bersuci kita. Air yang banyak tentu sah – sah saja di pergunakan asal karakter air aslinya tidak berubah. Dalam konteks agama, ketentuan volume air yang kita pergunakan untuk bersuci di kenal dengan istilah qullah.
Istilah qullah ini berlaku pada zaman Rasulullah dan para sahabat. Dalam beberapa kitab fiqih, di sebutkan bahwa dua qullah itu setara dengan 500 rithl Baghdad atau kira – kira 270 liter. Demikian sebenarnya volume air yang agaknya aman dan cukup memenuhi syarat bila kia pergunakan untuk bersuci.
Dengan demikian air dalam ember yang tersedia dalam toilet – toilet umum sesungguhnya tidak bisa seenaknya kita pergunakan. Karena seperti yang telah di uraikan di atas, barangkali banyaknya air dalam ember itu belum mencukupi. Agaknya kondisi air itu masih suci bila tidak ada najis atau sebagaimanya yang tercampur ke dalamnya, namun bila sudah terkontaminasi dengan cipratan air bekas kita, maka statusnya menjadi mustakmal atau mutanajjis.
Di sebut mustakmal (sudah di gunakan) karena telah terkena cipratan air bekas bersuci, sedangkan di katakan mutanajjis apabila kemasukan kotoran atau air kencing kita, dalam hal ini air mutanajjis sudah tidak bisa di pergunakan untuk apa – apa lagi. Sebab syarat air yang di gunakan untuk bebersih atau bersuci harus bersifat suci mensucikan atau istilahnya Thahhir Muthahhir. Berbeda dengan air yang mengalir langsung dari kran, tentu menjadi aman untuk kita gunakan.
Sedangkan mengenai air Thahhir Muthahhir yang bisa kita pergunakan untuk berbagai keperluan seperti membersihkan najis, berwudhu atau mandi janabah syaratnya yakni, belum pernah di pakai sebelumnya, yang kedua, apabila airnya tidak mengalir atau tertampung dalam bak memang volumenya harus banyak, sebagaimana yang telah di sebutkan sebelumnya, paling tidak volumenya harus 270 liter, terakhir airnya mutlak, yaitu air yang menurut sifat asalnya seperti air yang turun dari langit atau keluar dari bumi, misalnya air hujan, air sungai, air laut, air telaga dan sebagainya.
Demikian perbedaan penting mengenai air. Maka seyogyanya berhati – hatilah kita dalam menggunakan air yang tersedia dalam toilet – toilet umum untuk bersuci. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”( QS. Al-Baqarah [2] : 222)
Wallahu A'lam.