Guru Besar Tafsir-Hadis Fakultas Ushuludin UIN Jakarta Prof Dr Said Aqil Husin al-Munawar MA menegaskan bahwa tidak ada lagi yang perlu ditafsirkan dari al-Maidah ayat 51. Pasalnya, ayat itu sudah jelas untuk tidak menjadikan non muslim sebagai pemimpin.
Hal tersebut disampaikannya saat menjawab pertanyaan salah satu peserta Seminar Nasional bertema al-Qur’an untuk diselenggarakan HIQMA UIN Jakarta pada miladnya yang ke-28 di Auditorium Harun Nasution, Kamis 20 Oktober 2016.
“Apanya lagi yang mau ditafsirkan? Dua kali (dalam ayat tersebut) dikatakan dengan “laa”.
Laa tidak ada ta’wil yang lain. Itu laa nahyi yufiidut tahrim, yang berarti tidak boleh atau jangan sekali-kali,” ujar ulama multi talenta itu.
Bukan hanya muwaalah (urusan kepemimpinan) saja, lanjutnya, termasuk yanshuruunahum (mendukung), wa yastanshoruunahum (meminta dukungan), wa yushoffuuna bihim, wa mu’aasyarotuhum.
“Buka Kitab Bahrul Muhit karya Imam Zarkasyi Jilid 3 halaman 507 dan Kitab Shofwatut Tafasir Jilid 1 halaman 479,” imbuhnya memastikan.
Menurutnya, tidak perlu lagi memperdebatkan yang sudah pasti. Karena ini siyasah syar’iyyah, maka diangkatlah pendapat Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang memperbolehkan.
“Beliau bilang boleh. Itu belum titik, jangan berhenti sampai di situ, itu ada yang disembunyikan (oleh orang yang mengutip pendapat Imam Ibnu Taimiyah). Lanjutannya indad dhoruroh, jangan hanya (dikutip) bolehnya saja,” terangnya.
Pendapat yang sudah dipolitisir inilah, kata ulama yang hafal al-Qur’an ini, yang dijual kemana-mana dengan mengangkat isu pemimpin non muslim yang jujur lebih baik daripada muslim yang tidak jujur. Padahal Imam Ibnu Taimiyah memperbolehkan dengan syarat jika kondisinya sudah darurat.
“Pertanyaannya adalah apakah saat sekarang ini posisi kita sudah darurat atau belum? Darurat itu seperti kalau tidak makan atau tidak minum, maka akan mati atau nyaris mati,” tandasnya.
Ulama lulusan S3 Universitas Ummul Qura Makkah ini menjelaskan, untuk tafsir ayat tersebut sudah tidak ada lagi tawar menawar. Terkait menempatkan kondisi darurat, dia menyarankan untuk membaca Kitab Nazhoriyah Dhoruroh asy-Syar’iyyah (yang sudah diterjemahkannya dalam buku Konsep Darurat dalam Hukum Islam) karya Wahbah Zuhaili dan karya Abdul Wahab Ibrohim Abu Sulaiman.
“Untuk urusan tafsir al-Qur’an, fas aluu ahladzikri bukan ahlal jahli,” tutupnya.
Sumber: UIN Jakarta
Hal tersebut disampaikannya saat menjawab pertanyaan salah satu peserta Seminar Nasional bertema al-Qur’an untuk diselenggarakan HIQMA UIN Jakarta pada miladnya yang ke-28 di Auditorium Harun Nasution, Kamis 20 Oktober 2016.
“Apanya lagi yang mau ditafsirkan? Dua kali (dalam ayat tersebut) dikatakan dengan “laa”.
Laa tidak ada ta’wil yang lain. Itu laa nahyi yufiidut tahrim, yang berarti tidak boleh atau jangan sekali-kali,” ujar ulama multi talenta itu.
Bukan hanya muwaalah (urusan kepemimpinan) saja, lanjutnya, termasuk yanshuruunahum (mendukung), wa yastanshoruunahum (meminta dukungan), wa yushoffuuna bihim, wa mu’aasyarotuhum.
“Buka Kitab Bahrul Muhit karya Imam Zarkasyi Jilid 3 halaman 507 dan Kitab Shofwatut Tafasir Jilid 1 halaman 479,” imbuhnya memastikan.
Menurutnya, tidak perlu lagi memperdebatkan yang sudah pasti. Karena ini siyasah syar’iyyah, maka diangkatlah pendapat Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang memperbolehkan.
“Beliau bilang boleh. Itu belum titik, jangan berhenti sampai di situ, itu ada yang disembunyikan (oleh orang yang mengutip pendapat Imam Ibnu Taimiyah). Lanjutannya indad dhoruroh, jangan hanya (dikutip) bolehnya saja,” terangnya.
Pendapat yang sudah dipolitisir inilah, kata ulama yang hafal al-Qur’an ini, yang dijual kemana-mana dengan mengangkat isu pemimpin non muslim yang jujur lebih baik daripada muslim yang tidak jujur. Padahal Imam Ibnu Taimiyah memperbolehkan dengan syarat jika kondisinya sudah darurat.
“Pertanyaannya adalah apakah saat sekarang ini posisi kita sudah darurat atau belum? Darurat itu seperti kalau tidak makan atau tidak minum, maka akan mati atau nyaris mati,” tandasnya.
Ulama lulusan S3 Universitas Ummul Qura Makkah ini menjelaskan, untuk tafsir ayat tersebut sudah tidak ada lagi tawar menawar. Terkait menempatkan kondisi darurat, dia menyarankan untuk membaca Kitab Nazhoriyah Dhoruroh asy-Syar’iyyah (yang sudah diterjemahkannya dalam buku Konsep Darurat dalam Hukum Islam) karya Wahbah Zuhaili dan karya Abdul Wahab Ibrohim Abu Sulaiman.
“Untuk urusan tafsir al-Qur’an, fas aluu ahladzikri bukan ahlal jahli,” tutupnya.
Sumber: UIN Jakarta