Bagi jamaah haji yang berduit, tatkala menjalankan ibadah haji, mereka bisa menyewa dan membawa fasilitas – fasilitas terbaik guna kelancaran dan kenyamanan mereka sepanjang menunaikan ibadah haji. Dengan demikian, orang – orang elite akan aman – aman saja dalam menjalankan proses ibadah hajinya. Namun, pada kenyataannya tidaklah demikian. Bukan fasilitas – fasilitas terbaik ataupun bekal materi yang banyak yang dapat menjamin keamanan bagi para jamaah haji, melainkan amal dan perbuatan mereka sendiri hari – hari sebelum keberangkatan haji.
Demikian, kisah ini menimpa seorang lelaki pejabat bank swasta nasional bernama Bapak Romli (nama samaran), usianya sekitar 50 tahun. Sebagai pejabat bank, agaknya barangkali dapat kita tebak sendiri berapa penghasilannya. Tidak perlu diragukan lagi, jangankan untuk makan enak di restoran – restoran mahal bertaraf internasional yang tak akan mampu dijangkau orang – orang kalangan bawah, travelling ke luar negeri saja sudah menjadi hal yang biasa – biasa saja bagi keluarga pak Romli, minimal tiga bulan sekali pak Romli bersama keluarganya berkunjung ke luar negeri baik untuk sekadar kunjungan kerja maupun untuk berlibur.
Namun sayang, pak Romli bukanlah termasuk orang – orang yang taat beribadah. Jangankan taat beribadah, kewajiban menegakkan lima waktu saja sering ia tinggalkan. Kalau ingat ia kerjakan kalau tidak ya ia tinggalkan. Begitulah agaknya hari – hari pak Ramli, melimpahnya harta membuatnya sombong dan lupa akan hak Allah yang telah mengaruniakan nikmat itu kepadanya.
Kendati demikian, di hati kecil pak Romli masih ada niat mulia untuk pergi haji, meskipun barangkali itu untuk kepentingan prestisie belaka, sebab mungkin ia fikir dengan berhaji gengsi dan kedudukannya dalam lingkungan sosial akan bertambah, selain itu niat hajinya juga muncul karena adanya desakan dari rekan – rekan kerjanya yang umumnya sudah berhaji.
Pak Romli pun akhirnya berangkat haji, sebelumnya ia telah menyiapkan segala keperluan selama berhaji termasuk materi, ia telah menyiapkan banyak uang untuk membeli barang – barang yang murah dan berkualitas sebagai oleh – oleh.
“Karena menurut informasi, Makkah dan Madinah barangnya bagus dan orisinal.” Ujar saksi cerita yang tak mau disebutkan namanya.
Maka pak Romli pun dengan rasa percaya diri berangkat ke Makkah dengan iring – iringan rekan kerja dan tetangganya. Apalagi orang – orang yang mengantarkannya asrama haji begitu banyak, mereka itu termasuk golongan elite dan terpandang. Maka tak heran bila pak Romli merasa sangat percaya diri dan gagah berani. Namun ia pergi berhaji sendirian tanpa ditemani sang istri.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sembilan jam. Rombongan jamaah haji pak Romli pun akhirnya tiba di Arab Saudi. Sebagaimana umumnya jamaah haji lain, pak Romli pun terkesima menyaksikan pemandangan megahnya kota Makkah. Bangunan Ka’bah yang megah nan kokoh, Masjidil Haram yang aduhai mewah dan aneka bangunan spektakuler lain tak henti – hentinya membuat hati pak Romli berdecak kagum.
“Ternyata inilah yang membuat jamaah haji selalu ingin kembali kesini lagi.” Ujarnya dalam hati seraya menikmati suasana syahdunya kota Makkah.
Waktu kian berjalan, pak Romli tiba – tiba teringat akan rencananya dari rumah, ia ingin membeli barang – barang ke pasar Ukaz, salah satu pasar yang tersohor disana. Uangnya pun telah dipersiapkan dan ia masukkan ke dalam kantong yang menggantung di lehernya. Ia berjalan menyisir jalan setapak di Makkah, sementara kebetulan suasana pasar tatkala itu sedang padat. Para jamaah haji yang berasal dari seluruh penjuru dunia berkumpul dan berdesak – desakan disana untuk membeli oleh – oleh.
Pak Romli larut dalam kerumunan itu, ia berdesakan sampai ia lengah akan keamanan uang yang di getengnya sendiri. Ia tak menyadari bahwa uang ribuan Riyal yang berada dalam kantongnya telah lenyap seketika saat berada dalam desakan itu. Ia pun baru menyadari tatkala ia sudah sampai di tempat yang ia tuju dan hendak membayar barang yang dibelinya.
Spontan pak Romli panik menyadari uangnya telah raib, ia tak tahu persis bagaimana kiranya dompet yang di kalungkan di lehernya itu bisa hilang seketika. Apakah sengaja dicopet, atau lepas talinya saat berdesak – desakan tadi. Jelasnya ia cemas, bagaimana ia bisa bertahan di Makkah dan Madinah sementara semua uang yang sejatinya untuk makan dan biaya keperluan sehari – hari telah raib.
Pak Romli kemudian memutuskan untuk mengikuti arah lokasi sebelumnya dimana ia berdesak – desakan, ia mencari tasnya yang hilang namun tak jua ia temukan. Akhirnya dengan kaki lunglai tak berdaya, ia berjalan kembali ke maktab (pemondokan) disana dengan hati yang putus asa.
Sesampainya di pemondokan, ia mengadu kepada rombongannya terkait hilangnya uang riyal yang dibawanya tadi, seraya menanyakan adakah yang melihat atau menemukan tas kecilnya atau tidak. Namun mereka mengatakan tak pernah melihatnya ataupun menemukannya, mereka benar – benar tak tahu menahu soal itu.
Dengan perasaan sedih dan pasrah, pak Romli akhirnya melupakan segenap keinginannya untuk membeli barang – barang mewah dan berkualitas di Makkah dan terpaksa mengandalkan belas kasih jamaah lain dalam hal makanan sehari – hari. Kalau ada yang membantu, ia pun bisa makan akan tetapi bila tidak terpaksa ia menahan lapar. Singkatnya pak Romli seperti menjadi pengemis dadakan di Makkah.
Pak Romli benar – benar tidak beruntung di keberangkatan hajinya yang pertama kali. Niatnya yang pongah untuk membeli barang – barang mewah dengan harga terjangkau akhirnya terbalaskan oleh Allah dengan kehilangan uangnya. Entah karena niat berhajinya yang salah atau karena amal perbuatannya yang kurang baik selama dirinya menjadi pejabat bank. Jelasnya selama disana, ia malah benar – benar menjadi pengemis yang mengandalkan belas kasih dari jamaah lain. Jadi jangankan bisa beribadah haji dengan khuyuk, yang ada hanyalah ia harus disibukkan dengan urusan perutnya sendiri agar bisa makan dan bertahan.
Semoga pengalaman yang menimpa pak Romli dapat kita semua jadikan pejaran berharga, akan betapa sakralnya ibadah haji. Oleh karena itu, perbaiki akhlak dan lelaku sebelum keberangkatan haji dan luruskan niat untuk keridhoan Allah semata. Wallahu A’lam
Demikian, kisah ini menimpa seorang lelaki pejabat bank swasta nasional bernama Bapak Romli (nama samaran), usianya sekitar 50 tahun. Sebagai pejabat bank, agaknya barangkali dapat kita tebak sendiri berapa penghasilannya. Tidak perlu diragukan lagi, jangankan untuk makan enak di restoran – restoran mahal bertaraf internasional yang tak akan mampu dijangkau orang – orang kalangan bawah, travelling ke luar negeri saja sudah menjadi hal yang biasa – biasa saja bagi keluarga pak Romli, minimal tiga bulan sekali pak Romli bersama keluarganya berkunjung ke luar negeri baik untuk sekadar kunjungan kerja maupun untuk berlibur.
Namun sayang, pak Romli bukanlah termasuk orang – orang yang taat beribadah. Jangankan taat beribadah, kewajiban menegakkan lima waktu saja sering ia tinggalkan. Kalau ingat ia kerjakan kalau tidak ya ia tinggalkan. Begitulah agaknya hari – hari pak Ramli, melimpahnya harta membuatnya sombong dan lupa akan hak Allah yang telah mengaruniakan nikmat itu kepadanya.
Kendati demikian, di hati kecil pak Romli masih ada niat mulia untuk pergi haji, meskipun barangkali itu untuk kepentingan prestisie belaka, sebab mungkin ia fikir dengan berhaji gengsi dan kedudukannya dalam lingkungan sosial akan bertambah, selain itu niat hajinya juga muncul karena adanya desakan dari rekan – rekan kerjanya yang umumnya sudah berhaji.
Pak Romli pun akhirnya berangkat haji, sebelumnya ia telah menyiapkan segala keperluan selama berhaji termasuk materi, ia telah menyiapkan banyak uang untuk membeli barang – barang yang murah dan berkualitas sebagai oleh – oleh.
“Karena menurut informasi, Makkah dan Madinah barangnya bagus dan orisinal.” Ujar saksi cerita yang tak mau disebutkan namanya.
Maka pak Romli pun dengan rasa percaya diri berangkat ke Makkah dengan iring – iringan rekan kerja dan tetangganya. Apalagi orang – orang yang mengantarkannya asrama haji begitu banyak, mereka itu termasuk golongan elite dan terpandang. Maka tak heran bila pak Romli merasa sangat percaya diri dan gagah berani. Namun ia pergi berhaji sendirian tanpa ditemani sang istri.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sembilan jam. Rombongan jamaah haji pak Romli pun akhirnya tiba di Arab Saudi. Sebagaimana umumnya jamaah haji lain, pak Romli pun terkesima menyaksikan pemandangan megahnya kota Makkah. Bangunan Ka’bah yang megah nan kokoh, Masjidil Haram yang aduhai mewah dan aneka bangunan spektakuler lain tak henti – hentinya membuat hati pak Romli berdecak kagum.
“Ternyata inilah yang membuat jamaah haji selalu ingin kembali kesini lagi.” Ujarnya dalam hati seraya menikmati suasana syahdunya kota Makkah.
Waktu kian berjalan, pak Romli tiba – tiba teringat akan rencananya dari rumah, ia ingin membeli barang – barang ke pasar Ukaz, salah satu pasar yang tersohor disana. Uangnya pun telah dipersiapkan dan ia masukkan ke dalam kantong yang menggantung di lehernya. Ia berjalan menyisir jalan setapak di Makkah, sementara kebetulan suasana pasar tatkala itu sedang padat. Para jamaah haji yang berasal dari seluruh penjuru dunia berkumpul dan berdesak – desakan disana untuk membeli oleh – oleh.
Pak Romli larut dalam kerumunan itu, ia berdesakan sampai ia lengah akan keamanan uang yang di getengnya sendiri. Ia tak menyadari bahwa uang ribuan Riyal yang berada dalam kantongnya telah lenyap seketika saat berada dalam desakan itu. Ia pun baru menyadari tatkala ia sudah sampai di tempat yang ia tuju dan hendak membayar barang yang dibelinya.
Spontan pak Romli panik menyadari uangnya telah raib, ia tak tahu persis bagaimana kiranya dompet yang di kalungkan di lehernya itu bisa hilang seketika. Apakah sengaja dicopet, atau lepas talinya saat berdesak – desakan tadi. Jelasnya ia cemas, bagaimana ia bisa bertahan di Makkah dan Madinah sementara semua uang yang sejatinya untuk makan dan biaya keperluan sehari – hari telah raib.
Pak Romli kemudian memutuskan untuk mengikuti arah lokasi sebelumnya dimana ia berdesak – desakan, ia mencari tasnya yang hilang namun tak jua ia temukan. Akhirnya dengan kaki lunglai tak berdaya, ia berjalan kembali ke maktab (pemondokan) disana dengan hati yang putus asa.
Sesampainya di pemondokan, ia mengadu kepada rombongannya terkait hilangnya uang riyal yang dibawanya tadi, seraya menanyakan adakah yang melihat atau menemukan tas kecilnya atau tidak. Namun mereka mengatakan tak pernah melihatnya ataupun menemukannya, mereka benar – benar tak tahu menahu soal itu.
Dengan perasaan sedih dan pasrah, pak Romli akhirnya melupakan segenap keinginannya untuk membeli barang – barang mewah dan berkualitas di Makkah dan terpaksa mengandalkan belas kasih jamaah lain dalam hal makanan sehari – hari. Kalau ada yang membantu, ia pun bisa makan akan tetapi bila tidak terpaksa ia menahan lapar. Singkatnya pak Romli seperti menjadi pengemis dadakan di Makkah.
Pak Romli benar – benar tidak beruntung di keberangkatan hajinya yang pertama kali. Niatnya yang pongah untuk membeli barang – barang mewah dengan harga terjangkau akhirnya terbalaskan oleh Allah dengan kehilangan uangnya. Entah karena niat berhajinya yang salah atau karena amal perbuatannya yang kurang baik selama dirinya menjadi pejabat bank. Jelasnya selama disana, ia malah benar – benar menjadi pengemis yang mengandalkan belas kasih dari jamaah lain. Jadi jangankan bisa beribadah haji dengan khuyuk, yang ada hanyalah ia harus disibukkan dengan urusan perutnya sendiri agar bisa makan dan bertahan.
Semoga pengalaman yang menimpa pak Romli dapat kita semua jadikan pejaran berharga, akan betapa sakralnya ibadah haji. Oleh karena itu, perbaiki akhlak dan lelaku sebelum keberangkatan haji dan luruskan niat untuk keridhoan Allah semata. Wallahu A’lam