Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta Taufik Damas mengatakan tidak ada ucapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang bermaksud menistakan Alquran.
"Dari rekaman yang berdurasi 1 jam 43 menit itu, saya tidak melihat ada kata-kata Ahok yang menistakan ayat Alquran sebagaimana ramai direspons oleh masyarakat belakangan ini," kata Taufik di Jakarta, Jumat (7/10).
Seharusnya, lanjut dia, masyarakat melihat video aslinya secara utuh. "Saya sudah melihat, dan suasananya sangat cair. Masyarakat tampak antusias dan gembira mendengarkan pidato Ahok ketika itu. Lagi pula, saya perhatikan ucapan Ahok itu tidak bermaksud melecehkah ayat dalam surat Al-Maidah itu. Ucapan Ahok itu bermakna memang ada orang yang menggunakan ayat tersebut dalam konteks pemilihan kepada daerah di Jakarta, khususnya menyangkut larangan memilih pemimpin non-muslim. Jadi titik tekannya adalah kalimat 'membohongi pakai ayat', bukan ayatnya yang membohongi," kata tokoh muda NU ini.
Menurit Taufik, kenapa rekaman itu mejadi ramai, karena potongan rekaman vidoe yang menyebar justru hanya sekitar 30 detik saat Ahok mengatakan "Bapak ibu gak bisa pilih saya, karena dibohongin pake surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan ga bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, ga papa. Karena ini kan hak pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja. Jadi bapak ibu ga usah merasa ga enak. Dalam nuraninya ga bisa pilih Ahok".
Menurut Taufik, cukup jelas kalimat Ahok di situ bahwa yang dituju adalah orang-orang yang menggunakan ayat untuk pentingan politik. Bukan menyebut bahwa yang berbohong adalah surat Al-Maidah 51.
Alumnus Universitas al-Azhar ini menyatakan bahwa tidak semua orang yang membawa-bawa ayat Alquran dalam konteks pilkada berarti membohongi masyarakat. Karena itu, tentu tidak boleh melakukan generalisasi karena ada orang yang memang tulus meyakini ada larangan memilih pemimpin non-muslim berdasarkan dalil-dalil ayat Alquran.
"Itu harus dihargai. Namun, dalam politik tak menutup kemungkinan ada orang yang menjadikan ayat-ayat hanya sebagai alat politik. Memperlakukan ayat-ayat sebagai alat politik. Justru inilah yang berbahaya, karena berpotensi mengaburkan fakta politik yang sebenarnya," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Taufik, sebaiknya unsur SARA benar-benar dihindari dalam politik karena akan selalu melahirkan kontroversi yang tak berujung. Lebih baik masyarakat diajak untuk berpikir kritis terhadap calon pemimpin yang ada, baik di Jakarta atau di daerah lain.
"Pilkada kan bukan hanya di Jakarta, tapi juga ada di daerah lain. Sikap kritis dan objektif harus dikedepankan dalam melihat proses pilkada ini," tuturnya.
Dengan demikian, maka masyarakat akan mampu memilih pemimpin yang benar-benar akan memberikan maslahat yang sebesar-besarnya. "Dalam kaidah fikih dikatakan, tasharuful imam 'ala ra'iyatihi manuthun bil mashlahah; kebijakan seorang pemimpin harus bermuara pada kemaslahatan rakyatnya," ucapnya
Sumber : Antara
"Dari rekaman yang berdurasi 1 jam 43 menit itu, saya tidak melihat ada kata-kata Ahok yang menistakan ayat Alquran sebagaimana ramai direspons oleh masyarakat belakangan ini," kata Taufik di Jakarta, Jumat (7/10).
Seharusnya, lanjut dia, masyarakat melihat video aslinya secara utuh. "Saya sudah melihat, dan suasananya sangat cair. Masyarakat tampak antusias dan gembira mendengarkan pidato Ahok ketika itu. Lagi pula, saya perhatikan ucapan Ahok itu tidak bermaksud melecehkah ayat dalam surat Al-Maidah itu. Ucapan Ahok itu bermakna memang ada orang yang menggunakan ayat tersebut dalam konteks pemilihan kepada daerah di Jakarta, khususnya menyangkut larangan memilih pemimpin non-muslim. Jadi titik tekannya adalah kalimat 'membohongi pakai ayat', bukan ayatnya yang membohongi," kata tokoh muda NU ini.
Menurit Taufik, kenapa rekaman itu mejadi ramai, karena potongan rekaman vidoe yang menyebar justru hanya sekitar 30 detik saat Ahok mengatakan "Bapak ibu gak bisa pilih saya, karena dibohongin pake surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan ga bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, ga papa. Karena ini kan hak pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja. Jadi bapak ibu ga usah merasa ga enak. Dalam nuraninya ga bisa pilih Ahok".
Menurut Taufik, cukup jelas kalimat Ahok di situ bahwa yang dituju adalah orang-orang yang menggunakan ayat untuk pentingan politik. Bukan menyebut bahwa yang berbohong adalah surat Al-Maidah 51.
Alumnus Universitas al-Azhar ini menyatakan bahwa tidak semua orang yang membawa-bawa ayat Alquran dalam konteks pilkada berarti membohongi masyarakat. Karena itu, tentu tidak boleh melakukan generalisasi karena ada orang yang memang tulus meyakini ada larangan memilih pemimpin non-muslim berdasarkan dalil-dalil ayat Alquran.
"Itu harus dihargai. Namun, dalam politik tak menutup kemungkinan ada orang yang menjadikan ayat-ayat hanya sebagai alat politik. Memperlakukan ayat-ayat sebagai alat politik. Justru inilah yang berbahaya, karena berpotensi mengaburkan fakta politik yang sebenarnya," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Taufik, sebaiknya unsur SARA benar-benar dihindari dalam politik karena akan selalu melahirkan kontroversi yang tak berujung. Lebih baik masyarakat diajak untuk berpikir kritis terhadap calon pemimpin yang ada, baik di Jakarta atau di daerah lain.
"Pilkada kan bukan hanya di Jakarta, tapi juga ada di daerah lain. Sikap kritis dan objektif harus dikedepankan dalam melihat proses pilkada ini," tuturnya.
Dengan demikian, maka masyarakat akan mampu memilih pemimpin yang benar-benar akan memberikan maslahat yang sebesar-besarnya. "Dalam kaidah fikih dikatakan, tasharuful imam 'ala ra'iyatihi manuthun bil mashlahah; kebijakan seorang pemimpin harus bermuara pada kemaslahatan rakyatnya," ucapnya
Sumber : Antara