Masuk islamnya Hamzah menjadi satu tamparan keras bagi kaum kafir Quraisy, agama tauhid kian berkesibak, usaha demi usaha menyiksa kaum mukmin oleh kaum kafir Quraisy nampaknya tidak menemui hasil, sementara benteng keimanan kaum mukmin rupanya kian tegak kokoh.
Kaum Kafir Quraisy semakin sadar akan kekalahannya, terlintaslah di benak mereka untuk mencari cara lain yang agaknya supaya kekisruhan datangnya agama baru yang di bawa oleh Rasulullah itu bisa mereda.
Tak pelak bila kemudian seorang bangsawan Arab Utbah bin Rabiah dari Bani Syams mengusulkan kepada kaum kafir Quraisy untuk menggunakan cara dan strategi yang lebih halus lagi. Karena barangkali senarai kekejaman, kekerasan dan intimidasi yang mereka lancarkan untuk menekan orang – orang mukmin tidak begitu membuahkan hasil. Kalau perlu, serahkan saja semua harta benda suku Quraisy untuk memberikan apa saja yang di hendaki Muhammad saw, cucu Abdul Muthalib itu.
“Aku akan mencoba untuk bicara padanya, akan kutawarkan suatu hal yang bernilai padanya,” demikian ujar Utbah.
Utbah bin Rabi’ah merupakan salah satu cucu Abu Syams saudara Hasyim yang masih terikat dengan rantai keluarga Nabi. Abu al – Walid, demikian ia lebih akrab di sapa, terpandang sebagai lelaki yang ramah, cendas dan arif kata – katanya. Ia begitu pandai menciptakan kesepakatan melalui kemampuan interaksinya yang ramah dan santun di banding dengan orang Quraisy lain.
Syahdan, tersiar kabar mengenai keberadaan Muhammad saw di Makkah, ia segera meminta izin ke forum untuk melancarkan segenap rencananya dan segera beranjak ke kota suci Makkah untuk menemui sang Kinasih Allah itu. Tatkala telah menapakkan kakinya disana, di lihatnya Nabi termenung sendirian di suatu tempat, segera ia mendekatinya dan menyampaikan tawarannya itu.
“Anakku, seperti yang kau ketahui, dari segi keturunan engkau memiliki tempat di kalangan kami. Engkau telah menimbulkan persoalan besar di tengah – tengah lingkunganmu, hingga mereka tercerai berai karenanya. Kau menyanggah ajaran yang telah kamu panut beratus tahun silam, kau telah mengingkari cara hidup kami dan mencap buruk nenek moyang kami. Sekarang dengarlah, kami akan menawarkan beberapa hal yang dapat kau terima,” jelas Utbah.
“Silahkan Abu al – Walid, aku akan mendengar saksama segala ucapanmu” jawab Nabi.
“Anakku, yang kau inginkan adalah harta maka tak akan ragu bagi kami untuk mengumpulkan semua harta kami hingga hartamu akan menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki pangkat, kami beri engkau pangkat hingga menjadi yang tertinggi di antara kami, kami tidak akan memutuskan suatu perkara tanpa melalui persetujuanmu. Jikalau kau hendaki tuk jadi raja, maka tak ragu kami lantik engkau jadi raja dan apabila kau terbelenggu pernyakit saraf, maka biarkan kami kumpulkan semua harta benda kami untuk pengobatannya sampai kau sembuh,” ujar Utbah kepada Nabi.
Setelah antusias mendengar tawaran Utbah, lantas dengan kelembutan hati dan keagungan akhlak yang di milikinya, Nabi menjawab, “Wahai Utbah, bila engkau sudah selesai berbicara maka akan ku sampaikan semua jawabanku,. Tatkala itu rupanya Nabi baru saja menerima wahyu, agaknya mungkin barangkali peristiwa ini menjadi bagian dari skenario sang Khalik, wahyu yang baru saja Rasul terima sekaligus menjadi jawaban dari segala tawaran Utbah kapada Nabi. Lantas beliau dentingkan ayat itu kepada Utbah dengan begitu indah dan merdunya,
"Haa Miim... di turunkan dari Tuhan yang Maha pemurah lagi maha Penyayang. Kitab yang di jelaskan ayat – ayatnya, yakni dalam bacaan bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Pemberi berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan."
"Mereka berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan terhadap apa yang kamu seru dan telinga kami ada sumbatan dan ada dinding’, maka jika demikian berbuatlah sesukaku dan bekerjalah, sesungguhnya kami bekerja pula dan berbuat sesuai perintah Tuhan kami."
"Katakanlah: ‘bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, di wahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang – orang yang mempersekutukanNya yaitu orang – orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya kehidupan akhirat. Sesungguhnya orang – orang yang beriman dan beramal shaleh, mereka mendapat pahala yang tiada putus – putusnya."
(QS. Fushilat 1 - 12)
"Katakanlah: Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam sua masa dan kamu adakah sekutu – kutu bagiNya? Dia Rabb semesta alam, Dia menciptakan bumi, gunung- gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan – makanan penghuninya dalam empat masa..."
Nampak terang dan begitu memijar Nabi melantunkan ayat – ayatnya yang di penuhi senarai nilai ruhani itu, begitu puitis dan agaknya langsung meresap hingga terasa berdenyar – denyar ke lubuk hati Utbah. Adalah surat Fushilat ayat 1-12 yang lantas membuat posisi duduk Utbah yang semula bersandar menopang ke belakang menjadi tegak seraya berdecak. Duhai, gerangan mana yang sanggup mengabaikan kehanifan kalam – kalam Ilahi yang di bacakan langsung oleh Kinasihnya?
Namun menurut riwayat, nabi melantunkan ayat tersebut hingga ayat ke 38 lantas tersungkurlah jiwanya untuk bersujud,
“Kau sudah mendengar semua jawabanku bukan, duhai Abu al – Walid, sekarang semuanya terserah padamu,”
Agaknya ada sesuatu yang memijar – mijar di palung hati Utbah tatkala di bacakan kalam – kalam Raja Semesta Alam itu melalui Nabinya. Air mukanya adalah air muka iman dan sanubarinya telah menyaksikan Tuhan melalui Rasulnya. Ia segera pamit pulang dan mengurungkan niatnya merayu nabi. Lantas ia temui para pemuka kaum Quraisy dan mereka tercengang mendengar pernyataan Utbah.
“Kau telah tersihir Utbah, kau telah terpedaya”
“Itu bukan sihir, itu bukan ramalan. Biarkan dia. Demi Tuhan jika ia berhasil menaklukkan bangsa Arab, dia akan mendapat kemuliaan yang akan menjadi kemuliaan kalian juga. Aku telah sampaikan apa yang aku alami dan sekarang terserah kepada kalian” Ujar Utbah sembari berlalu dari hadapan para pemuka kaum Quraisy.
Aduhai dahsyatnya salah satu Mukjizat terbesar yang di anugerahkan Allah kepada Nabinya, ialah Al Quran. Dan sesungguhnya tak perlu ia belah gunung – gunung untuk membuat orang percaya, tak perlu ia keringkan laut supaya orang meyakininya, dan tak perlu menyandang balatentara jin atau hewan hingga orang mengimaninya, cukuplah ia membacakan segala berita dan senarai ajaran haqiqi yang terkandung di dalamnya.
Saban malam, Nabi melantunkan firman – firmanNya yang begitu agung dengan begitu indah dan mengenanya. Orang – orang kafir seperti al-Akhnas bin Syuraiq, Abu Jahal dan Abu sufyan, acapkali mengendap – ngendap ke sekitar rumah Nabi untuk mencuri dengar bacaan Nabi itu, begitu terenyuh kalbu mereka hingga mereka mafhum benar bahwa ayat – ayat itu benar – benar wejangan yang di wahyukan dari Tuhan.
Namun arogansi dan kesombongan yang menyerati hati mereka lah membuatnya senantiasa ingkar terhadap kebenaran yang di syiarkan oleh Nabi.
Subhanallah.
Ilustrasi |
Kaum Kafir Quraisy semakin sadar akan kekalahannya, terlintaslah di benak mereka untuk mencari cara lain yang agaknya supaya kekisruhan datangnya agama baru yang di bawa oleh Rasulullah itu bisa mereda.
Tak pelak bila kemudian seorang bangsawan Arab Utbah bin Rabiah dari Bani Syams mengusulkan kepada kaum kafir Quraisy untuk menggunakan cara dan strategi yang lebih halus lagi. Karena barangkali senarai kekejaman, kekerasan dan intimidasi yang mereka lancarkan untuk menekan orang – orang mukmin tidak begitu membuahkan hasil. Kalau perlu, serahkan saja semua harta benda suku Quraisy untuk memberikan apa saja yang di hendaki Muhammad saw, cucu Abdul Muthalib itu.
“Aku akan mencoba untuk bicara padanya, akan kutawarkan suatu hal yang bernilai padanya,” demikian ujar Utbah.
Utbah bin Rabi’ah merupakan salah satu cucu Abu Syams saudara Hasyim yang masih terikat dengan rantai keluarga Nabi. Abu al – Walid, demikian ia lebih akrab di sapa, terpandang sebagai lelaki yang ramah, cendas dan arif kata – katanya. Ia begitu pandai menciptakan kesepakatan melalui kemampuan interaksinya yang ramah dan santun di banding dengan orang Quraisy lain.
Syahdan, tersiar kabar mengenai keberadaan Muhammad saw di Makkah, ia segera meminta izin ke forum untuk melancarkan segenap rencananya dan segera beranjak ke kota suci Makkah untuk menemui sang Kinasih Allah itu. Tatkala telah menapakkan kakinya disana, di lihatnya Nabi termenung sendirian di suatu tempat, segera ia mendekatinya dan menyampaikan tawarannya itu.
“Anakku, seperti yang kau ketahui, dari segi keturunan engkau memiliki tempat di kalangan kami. Engkau telah menimbulkan persoalan besar di tengah – tengah lingkunganmu, hingga mereka tercerai berai karenanya. Kau menyanggah ajaran yang telah kamu panut beratus tahun silam, kau telah mengingkari cara hidup kami dan mencap buruk nenek moyang kami. Sekarang dengarlah, kami akan menawarkan beberapa hal yang dapat kau terima,” jelas Utbah.
“Silahkan Abu al – Walid, aku akan mendengar saksama segala ucapanmu” jawab Nabi.
“Anakku, yang kau inginkan adalah harta maka tak akan ragu bagi kami untuk mengumpulkan semua harta kami hingga hartamu akan menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki pangkat, kami beri engkau pangkat hingga menjadi yang tertinggi di antara kami, kami tidak akan memutuskan suatu perkara tanpa melalui persetujuanmu. Jikalau kau hendaki tuk jadi raja, maka tak ragu kami lantik engkau jadi raja dan apabila kau terbelenggu pernyakit saraf, maka biarkan kami kumpulkan semua harta benda kami untuk pengobatannya sampai kau sembuh,” ujar Utbah kepada Nabi.
Setelah antusias mendengar tawaran Utbah, lantas dengan kelembutan hati dan keagungan akhlak yang di milikinya, Nabi menjawab, “Wahai Utbah, bila engkau sudah selesai berbicara maka akan ku sampaikan semua jawabanku,. Tatkala itu rupanya Nabi baru saja menerima wahyu, agaknya mungkin barangkali peristiwa ini menjadi bagian dari skenario sang Khalik, wahyu yang baru saja Rasul terima sekaligus menjadi jawaban dari segala tawaran Utbah kapada Nabi. Lantas beliau dentingkan ayat itu kepada Utbah dengan begitu indah dan merdunya,
"Haa Miim... di turunkan dari Tuhan yang Maha pemurah lagi maha Penyayang. Kitab yang di jelaskan ayat – ayatnya, yakni dalam bacaan bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Pemberi berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan."
"Mereka berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan terhadap apa yang kamu seru dan telinga kami ada sumbatan dan ada dinding’, maka jika demikian berbuatlah sesukaku dan bekerjalah, sesungguhnya kami bekerja pula dan berbuat sesuai perintah Tuhan kami."
"Katakanlah: ‘bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, di wahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang – orang yang mempersekutukanNya yaitu orang – orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya kehidupan akhirat. Sesungguhnya orang – orang yang beriman dan beramal shaleh, mereka mendapat pahala yang tiada putus – putusnya."
(QS. Fushilat 1 - 12)
"Katakanlah: Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam sua masa dan kamu adakah sekutu – kutu bagiNya? Dia Rabb semesta alam, Dia menciptakan bumi, gunung- gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan – makanan penghuninya dalam empat masa..."
Nampak terang dan begitu memijar Nabi melantunkan ayat – ayatnya yang di penuhi senarai nilai ruhani itu, begitu puitis dan agaknya langsung meresap hingga terasa berdenyar – denyar ke lubuk hati Utbah. Adalah surat Fushilat ayat 1-12 yang lantas membuat posisi duduk Utbah yang semula bersandar menopang ke belakang menjadi tegak seraya berdecak. Duhai, gerangan mana yang sanggup mengabaikan kehanifan kalam – kalam Ilahi yang di bacakan langsung oleh Kinasihnya?
Namun menurut riwayat, nabi melantunkan ayat tersebut hingga ayat ke 38 lantas tersungkurlah jiwanya untuk bersujud,
“Kau sudah mendengar semua jawabanku bukan, duhai Abu al – Walid, sekarang semuanya terserah padamu,”
Agaknya ada sesuatu yang memijar – mijar di palung hati Utbah tatkala di bacakan kalam – kalam Raja Semesta Alam itu melalui Nabinya. Air mukanya adalah air muka iman dan sanubarinya telah menyaksikan Tuhan melalui Rasulnya. Ia segera pamit pulang dan mengurungkan niatnya merayu nabi. Lantas ia temui para pemuka kaum Quraisy dan mereka tercengang mendengar pernyataan Utbah.
“Kau telah tersihir Utbah, kau telah terpedaya”
“Itu bukan sihir, itu bukan ramalan. Biarkan dia. Demi Tuhan jika ia berhasil menaklukkan bangsa Arab, dia akan mendapat kemuliaan yang akan menjadi kemuliaan kalian juga. Aku telah sampaikan apa yang aku alami dan sekarang terserah kepada kalian” Ujar Utbah sembari berlalu dari hadapan para pemuka kaum Quraisy.
Aduhai dahsyatnya salah satu Mukjizat terbesar yang di anugerahkan Allah kepada Nabinya, ialah Al Quran. Dan sesungguhnya tak perlu ia belah gunung – gunung untuk membuat orang percaya, tak perlu ia keringkan laut supaya orang meyakininya, dan tak perlu menyandang balatentara jin atau hewan hingga orang mengimaninya, cukuplah ia membacakan segala berita dan senarai ajaran haqiqi yang terkandung di dalamnya.
Saban malam, Nabi melantunkan firman – firmanNya yang begitu agung dengan begitu indah dan mengenanya. Orang – orang kafir seperti al-Akhnas bin Syuraiq, Abu Jahal dan Abu sufyan, acapkali mengendap – ngendap ke sekitar rumah Nabi untuk mencuri dengar bacaan Nabi itu, begitu terenyuh kalbu mereka hingga mereka mafhum benar bahwa ayat – ayat itu benar – benar wejangan yang di wahyukan dari Tuhan.
Namun arogansi dan kesombongan yang menyerati hati mereka lah membuatnya senantiasa ingkar terhadap kebenaran yang di syiarkan oleh Nabi.
Subhanallah.