Assalamualaikum ustadz, maaf mau bertanya, benarkah anggapan bahwa Bulan Suro adalah bulan sial? Terus terang sejak kecil saya sering mendengar tentang mitos ini, Bahkan orang tua saya pernah menasehati untuk berhati-hati di Bulan Suro, karena di bulan tersebut banyak sekali terjadi musibah dan bencana.
Mohon pencerahannya, Jazakumullah khair.
AK Surakarta
Jawaban
Waalaikumussalaam Warahmatullah Wabarakaatuh
Alhamdulillah wassholaatu wassalaamu 'ala Rasulillah, Wa Ba'du,
Saudara yang dirahmati Allah,
Bulan Suro sejatinya adalah bulan yang baik, bukan bulan yang membawa sial. Karena bulan Suro masuk dalam bulan Haram, bulan mulia atau bulan yang disucikan. Buktinya pada bulan ini dikatakan bahwa sebaik-baik puasa adalah di bulan Suro, di bulan Muharram,
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram.” (HR. Muslim)
Berdasarkan hadits Nabi diatas, maka tidaklah benar anggapan bahwa Bulan Suro adalah bulan sial, bulan penuh musibah dan bencana atau anggapan semacamnya.
Perlu kita ketahui bahwa dalam ajaran Islam, perbuatan menyandarkan sial kepada sesuatu yang bukan jadi sebab, seperti menyandarkan sial pada bulan Suro adalah ajaran yang dilarang yang bisa membuat pelakunya terjerumus dalam dosa syirik.
Dalam hadits qudsi disebutkan,
Allah ’Azza wa Jalla berfirman, 'Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.' (HR. Muslim)
Coba perhatikan dalam surat Yasin, Allah Ta’ala berfirman,
“Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Yasin: 18-19)
Dalam ayat diatas disebutkan mengenai thiyarah, Thiyarah sendiri artinya adalah beranggapan sial. Kata para ulama, beranggapan sial di sini bisa jadi dengan orang. Seperti ada yang berkata, “Wah gara-gara kamu datang nih, kami jadi sial.” Bisa jadi beranggapan sial dengan apa yang didengar, bisa pula dengan waktu (seperti dengan bulan Suro)
Hukum Thiyarah sendiri adalah haram, bahkan pelaku thiyarah ini dikategorikan sudah melakukan dosa syirik, Sebagaimana telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” (HR. Ahmad)
Ada juga yang beranggapan sial ketika lewat suatu tempat. Sehingga untuk membuang kesialan ketika lewat tempat angker -misalnya-, maka ada yang menyalakan lampu kendaraan dengan sengaja atau membunyikan klakson ‘tiiit, tiiit’.
Dahulu orang Arab ketika ingin mengetahui nasib mereka baik ataukah tidak ketika akan melakukan perjalanan, maka mereka melepaskan burung. Jika burung tersebut terbang ke arah kanan, berarti bernasib baik. Jika ke arah kiri, berarti bernasib sial. Kalau kita saat ini, bertemu dengan bulan sial, pasti yang dilakukan adalah ruwatan untuk menolak bala’.
Sedangkan dalam surat Yasin yang disebutkan tadi, penduduk negeri yang disebut dalam kisah menganggap nasib sial menimpa mereka karena kedatangan dua utusan (lalu menjadi yang ketiga) yang diutus di tengah-tengah mereka. Namun hal itu dibantah oleh Allah Ta’ala. Dinyatakan bahwa kesialan itu karena sebab pembangkangan penduduk itu sendiri.
Lihatlah yang terjadi di tengah mereka,
“Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka. (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang di utus kepadamu.” (QS. Yasin: 13-14)
Lihatlah karena sebab enggan mengikuti Rasul, kita bisa kena sial, tertimpa musibah. Jadi sial bukanlah disebabkan karena bulan Suro, waktu sakral, tempat angker atau sebab semisalnya, bukan sama sekali.
Maka benarlah firman Allah,
“ Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Yasin: 19)
Yang terjadi pada masa Nabi Musa pun sama, kaumnya menuduh Nabi Musa dan pengikutnyalah yang bawa sial.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131).
Yang benar adalah karena mengikuti Rasul itulah yang membawa berkah. Karena sebab mendustakan Rasul itulah yang membawa sial atau musibah.
Dalam ayat lain disebutkan,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96).
Kita seharusnya yang harus rajin introspeksi diri. Karena bisa jadi karena dosa besar yang kita lakukan, itulah yang menyebabkan berbagai kesialan itu datang. Lihatlah di tengah-tengah kita masih merajalela minuman keras, perjudian, perselingkuhan, bahkan karena kejahilan kita masih percaya klenik yang menyimpang dari aqidah dan akhlaq Islamiyah.
Ingatlah ayat,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)
Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al-Jawab Al-Kaafi karya Ibnul Qayyim, hal. 87)
Kesimpulannya, Tidaklah benar bahwa bulan suro merupakan bulan sial, Karena sesuai nash diatas Rasulullah menjelaskan bahwa Bulan Suro adalah bulan paling mulia setelah Ramadhan, Bahkan dinamai dengan Bulan Allah.
Yang menjadikan sial itu adalah karena perbuatan maksiat kita kepada Allah, karena dosa-dosa yang pernah kita lakukan, Bukan karena sebab Bulan Suro.
Wallahu A'lam.
Mohon pencerahannya, Jazakumullah khair.
AK Surakarta
Jawaban
Waalaikumussalaam Warahmatullah Wabarakaatuh
Alhamdulillah wassholaatu wassalaamu 'ala Rasulillah, Wa Ba'du,
Saudara yang dirahmati Allah,
Bulan Suro sejatinya adalah bulan yang baik, bukan bulan yang membawa sial. Karena bulan Suro masuk dalam bulan Haram, bulan mulia atau bulan yang disucikan. Buktinya pada bulan ini dikatakan bahwa sebaik-baik puasa adalah di bulan Suro, di bulan Muharram,
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram.” (HR. Muslim)
Berdasarkan hadits Nabi diatas, maka tidaklah benar anggapan bahwa Bulan Suro adalah bulan sial, bulan penuh musibah dan bencana atau anggapan semacamnya.
Perlu kita ketahui bahwa dalam ajaran Islam, perbuatan menyandarkan sial kepada sesuatu yang bukan jadi sebab, seperti menyandarkan sial pada bulan Suro adalah ajaran yang dilarang yang bisa membuat pelakunya terjerumus dalam dosa syirik.
Dalam hadits qudsi disebutkan,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Allah ’Azza wa Jalla berfirman, 'Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.' (HR. Muslim)
Coba perhatikan dalam surat Yasin, Allah Ta’ala berfirman,
قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ (18) قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
“Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Yasin: 18-19)
Dalam ayat diatas disebutkan mengenai thiyarah, Thiyarah sendiri artinya adalah beranggapan sial. Kata para ulama, beranggapan sial di sini bisa jadi dengan orang. Seperti ada yang berkata, “Wah gara-gara kamu datang nih, kami jadi sial.” Bisa jadi beranggapan sial dengan apa yang didengar, bisa pula dengan waktu (seperti dengan bulan Suro)
Hukum Thiyarah sendiri adalah haram, bahkan pelaku thiyarah ini dikategorikan sudah melakukan dosa syirik, Sebagaimana telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
‘Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” (HR. Ahmad)
Ada juga yang beranggapan sial ketika lewat suatu tempat. Sehingga untuk membuang kesialan ketika lewat tempat angker -misalnya-, maka ada yang menyalakan lampu kendaraan dengan sengaja atau membunyikan klakson ‘tiiit, tiiit’.
Dahulu orang Arab ketika ingin mengetahui nasib mereka baik ataukah tidak ketika akan melakukan perjalanan, maka mereka melepaskan burung. Jika burung tersebut terbang ke arah kanan, berarti bernasib baik. Jika ke arah kiri, berarti bernasib sial. Kalau kita saat ini, bertemu dengan bulan sial, pasti yang dilakukan adalah ruwatan untuk menolak bala’.
Sedangkan dalam surat Yasin yang disebutkan tadi, penduduk negeri yang disebut dalam kisah menganggap nasib sial menimpa mereka karena kedatangan dua utusan (lalu menjadi yang ketiga) yang diutus di tengah-tengah mereka. Namun hal itu dibantah oleh Allah Ta’ala. Dinyatakan bahwa kesialan itu karena sebab pembangkangan penduduk itu sendiri.
Lihatlah yang terjadi di tengah mereka,
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ (13) إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ
“Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka. (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang di utus kepadamu.” (QS. Yasin: 13-14)
Lihatlah karena sebab enggan mengikuti Rasul, kita bisa kena sial, tertimpa musibah. Jadi sial bukanlah disebabkan karena bulan Suro, waktu sakral, tempat angker atau sebab semisalnya, bukan sama sekali.
Maka benarlah firman Allah,
قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
“ Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Yasin: 19)
Yang terjadi pada masa Nabi Musa pun sama, kaumnya menuduh Nabi Musa dan pengikutnyalah yang bawa sial.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131).
Yang benar adalah karena mengikuti Rasul itulah yang membawa berkah. Karena sebab mendustakan Rasul itulah yang membawa sial atau musibah.
Dalam ayat lain disebutkan,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96).
Kita seharusnya yang harus rajin introspeksi diri. Karena bisa jadi karena dosa besar yang kita lakukan, itulah yang menyebabkan berbagai kesialan itu datang. Lihatlah di tengah-tengah kita masih merajalela minuman keras, perjudian, perselingkuhan, bahkan karena kejahilan kita masih percaya klenik yang menyimpang dari aqidah dan akhlaq Islamiyah.
Ingatlah ayat,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)
Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ
“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al-Jawab Al-Kaafi karya Ibnul Qayyim, hal. 87)
Kesimpulannya, Tidaklah benar bahwa bulan suro merupakan bulan sial, Karena sesuai nash diatas Rasulullah menjelaskan bahwa Bulan Suro adalah bulan paling mulia setelah Ramadhan, Bahkan dinamai dengan Bulan Allah.
Baca Juga: Malam 1 Suro Menurut Pandangan Islam
Yang menjadikan sial itu adalah karena perbuatan maksiat kita kepada Allah, karena dosa-dosa yang pernah kita lakukan, Bukan karena sebab Bulan Suro.
Wallahu A'lam.
Artikel ini merupakan jawaban atas pertanyaan pembaca, Jika ada yang mau bertanya tentang suatu permasalahan silahkan kirim email ke admin@kabarmakkah.com