Berabad silam lalu, pernah Nabi wasiatkan kepada kita tiga pesan yang patutnya kita hindari sebagai mukmin. Karena sesungguhnya Nabi tidak akan melarang kita suatu hal tanpa adanya alasan tertentu, apa yang telah ia sabdakan, apa yang ia serukan dan apa yang ia larang sebetulnya bukan lain karena demi kebaikan umatnya.
Lalu apa sajakah 3 Perbuatan Yang Sering Dilakukan, Padahal Dilarang Oleh Nabi? Mari kita simak hadits berikut,
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, “Barang siapa bangun di pagi hari kemudian mengadukan kesulitannya kepada sesama (mahkluk/manusia), maka seolah-olah ia mengadukan tuhannya (karena tidak rela dengan apa yang diterimanya). Dan barang siapa merasa sedih dengan kondisi duniawinya di waktu pagi, maka dia pagi-pagi telah membenci Allah. Dan barang siapa merendahkan dirinya di hadapan orang kaya karena kekayaannya sungguh telah lenyap dua pertiga agamanya.”
Pertama, yakni mengadukan kesulitan kepada sesama
Hal ini sepatutnya di hindari karena dengan mengadukan kondisi kita kepada sesama maka sesungguhnya kita telah meniadakan keberadaan Tuhan kita sendiri. Apa yang kita adukan, apa yang kita keluhkan kepada tetangga dan teman – teman itu, sesungguhnya karena ketetapan dan kuasa Allah, dengan mengadukan kepada sesama, itu artinya kita telah menggugat takdir dan kuasaNya, karena rasa tidak puas dengan segala pemberianNya.
Sesungguhnya rasa tidak puas itu manusiawi, namun alangkah baiknya bila kita ratapkan hal itu dalam doa kepada Allah sekaligus. Sebagaimana doa yang di panjatkan Nabi Musa tatkala beliau mengarungi lautan bersama para kaumnya, ” Ya Allah segala puji bagi-Mu. Kepada Engkaulah aku mengadu dan hanya Engkau yang bisa memberi pertolongan. Tiada daya dan upaya, serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.”
Kedua, sedih karena kondisi duniawi
Tak dapat di pungkiri lagi, kita semua pasti pernah merasakan sedih atau kurang puas karena harta kita lebih sedikit dari yang lain. Agaknya kita melihat si A bisa membeli barang ini, si B dapat membeli barang itu, ataupun lainnya, sementara kita melongok pada nasib kita sendiri, dimana kondisi kita yang masih jalan di tempat atau masih sama seperti sebelum – sebelumnya, kita sudah menghendaki untuk bisa seperti si A atau si B, namun hakikatnya kita tidak mempunyai daya, atau barangkali Allah telah menetapkan harta kita sekian dan cukup sekian. Dari situlah acapkali kita mulai mengeluh dan meratapi kondisi kita yang demikian.
Sedih karena kondisi harta sepatutnya di hindari, sebab hal itu hanya akan membuat kita terpacu untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kita inginkan, maka merugilah orang – orang yang demikian, sebab harta itu hanya sekejab. Ia tidak akan menemani penantian kita selama di kubur, ia juga tidak akan menyelamatkan kita dari neraka, lantas untuk apa kita kuras tenaga dan pikiran hanya untuk memikirkannya hari – hari.
Kedua hal itu pada hakikatnya menunjukkan betapa kita tak dapat lagi bersabar. Karena sejatinya sabar adalah Tajarru’ul murarati bighairi ta’bitsin (tahan menelan barang pahit tanpa cemberut). Oleh karena itu, ketika di pagi hari kita telah menggerutu akan keadaan nasib kita, berarti kita bukan lagi orang yang sabar.
Apalagi hingga mengadukan nasib kita kepada sesama manusia dengan mengeluhkan keberadaan dan keadaan yang kita alami. Naudzubillah.
Ketiga, barang siapa merendahkan dirinya di hadapan orang kaya karena kekayaannya sungguh telah lenyap dua pertiga agamanya.
Point terakhir di atas dapat di maknai sebagai larangan Rasulullah merendahkan di hadapan sesama hanya karena hartanya. Karena hal ini sama artinya dengan sifat thama’ atau rasa pengharapan yang tinggi kepada sesama, hal itu sesungguhnya di benci oleh Allah karena hakikatnya pengharapan itu hanya boleh di gantungkan kepada Allah saja.
Selain daripada hal itu, Rasulullah juga melarang kita mengagumi seseorang yang di sebabkan karena kekayaannya, karena hal demikian sama saja dengan wujud penghinaan terhadap ilmu dan kemaslahatan. Islam hanya menganjurkan kita untuk sekadar saling menghargai dan memuliakan sesama manusia karena dua hal, yakni ilmunya dan kebaikannya, selebihnya tidak di perbolehkan.
Demikian, tiga hal yang sering dilakukan namun dilarang oleh Nabi. Adakah di antara kita yang terbiasa dan sering mengalami ketiga hal di atas?
Jika iya, marilah kita mulai untuk berusaha menghilangkan kebiasaan itu. Semoga syafaatnya senantiasa tercurahkan kepada kita semua. Aamiin...
Lalu apa sajakah 3 Perbuatan Yang Sering Dilakukan, Padahal Dilarang Oleh Nabi? Mari kita simak hadits berikut,
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, “Barang siapa bangun di pagi hari kemudian mengadukan kesulitannya kepada sesama (mahkluk/manusia), maka seolah-olah ia mengadukan tuhannya (karena tidak rela dengan apa yang diterimanya). Dan barang siapa merasa sedih dengan kondisi duniawinya di waktu pagi, maka dia pagi-pagi telah membenci Allah. Dan barang siapa merendahkan dirinya di hadapan orang kaya karena kekayaannya sungguh telah lenyap dua pertiga agamanya.”
Pertama, yakni mengadukan kesulitan kepada sesama
Hal ini sepatutnya di hindari karena dengan mengadukan kondisi kita kepada sesama maka sesungguhnya kita telah meniadakan keberadaan Tuhan kita sendiri. Apa yang kita adukan, apa yang kita keluhkan kepada tetangga dan teman – teman itu, sesungguhnya karena ketetapan dan kuasa Allah, dengan mengadukan kepada sesama, itu artinya kita telah menggugat takdir dan kuasaNya, karena rasa tidak puas dengan segala pemberianNya.
Sesungguhnya rasa tidak puas itu manusiawi, namun alangkah baiknya bila kita ratapkan hal itu dalam doa kepada Allah sekaligus. Sebagaimana doa yang di panjatkan Nabi Musa tatkala beliau mengarungi lautan bersama para kaumnya, ” Ya Allah segala puji bagi-Mu. Kepada Engkaulah aku mengadu dan hanya Engkau yang bisa memberi pertolongan. Tiada daya dan upaya, serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.”
Kedua, sedih karena kondisi duniawi
Tak dapat di pungkiri lagi, kita semua pasti pernah merasakan sedih atau kurang puas karena harta kita lebih sedikit dari yang lain. Agaknya kita melihat si A bisa membeli barang ini, si B dapat membeli barang itu, ataupun lainnya, sementara kita melongok pada nasib kita sendiri, dimana kondisi kita yang masih jalan di tempat atau masih sama seperti sebelum – sebelumnya, kita sudah menghendaki untuk bisa seperti si A atau si B, namun hakikatnya kita tidak mempunyai daya, atau barangkali Allah telah menetapkan harta kita sekian dan cukup sekian. Dari situlah acapkali kita mulai mengeluh dan meratapi kondisi kita yang demikian.
Sedih karena kondisi harta sepatutnya di hindari, sebab hal itu hanya akan membuat kita terpacu untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kita inginkan, maka merugilah orang – orang yang demikian, sebab harta itu hanya sekejab. Ia tidak akan menemani penantian kita selama di kubur, ia juga tidak akan menyelamatkan kita dari neraka, lantas untuk apa kita kuras tenaga dan pikiran hanya untuk memikirkannya hari – hari.
Kedua hal itu pada hakikatnya menunjukkan betapa kita tak dapat lagi bersabar. Karena sejatinya sabar adalah Tajarru’ul murarati bighairi ta’bitsin (tahan menelan barang pahit tanpa cemberut). Oleh karena itu, ketika di pagi hari kita telah menggerutu akan keadaan nasib kita, berarti kita bukan lagi orang yang sabar.
Apalagi hingga mengadukan nasib kita kepada sesama manusia dengan mengeluhkan keberadaan dan keadaan yang kita alami. Naudzubillah.
Ketiga, barang siapa merendahkan dirinya di hadapan orang kaya karena kekayaannya sungguh telah lenyap dua pertiga agamanya.
Point terakhir di atas dapat di maknai sebagai larangan Rasulullah merendahkan di hadapan sesama hanya karena hartanya. Karena hal ini sama artinya dengan sifat thama’ atau rasa pengharapan yang tinggi kepada sesama, hal itu sesungguhnya di benci oleh Allah karena hakikatnya pengharapan itu hanya boleh di gantungkan kepada Allah saja.
Selain daripada hal itu, Rasulullah juga melarang kita mengagumi seseorang yang di sebabkan karena kekayaannya, karena hal demikian sama saja dengan wujud penghinaan terhadap ilmu dan kemaslahatan. Islam hanya menganjurkan kita untuk sekadar saling menghargai dan memuliakan sesama manusia karena dua hal, yakni ilmunya dan kebaikannya, selebihnya tidak di perbolehkan.
Demikian, tiga hal yang sering dilakukan namun dilarang oleh Nabi. Adakah di antara kita yang terbiasa dan sering mengalami ketiga hal di atas?
Jika iya, marilah kita mulai untuk berusaha menghilangkan kebiasaan itu. Semoga syafaatnya senantiasa tercurahkan kepada kita semua. Aamiin...