Dalam kalender Islam, Tahun baru Hijriyah jatuh setiap tanggal 1 Muharram. Dalam sejarahnya, tahun pertama Hijriyah ditetapkan oleh Umar bin Al-Khattab untuk menandai sejarah hijrahnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dari Makkah ke Madinah di tahun 622 sesudah masehi. Dan di tahun 2016 ini, Tahun baru Hijriyah 1438 atau 1 Muharram 1438 jatuh pada hari Ahad tanggal 2 Oktober 2016.
Tepat pada tanggal 2 Oktober 2016 Perjuangan Islam telah menapaki usia yang ke- 1438. Hal itu berarti, peristiwa hijrah Rasulullah SAW (terjadi pada 24 September 622 M) sebagai pijakan dimulainya tahun baru hijriyah telah terjadi 14 abad silam. Peristiwa tentang hijrah Rasulullah dan para sahabat beliau memang terkesan klasik lantaran telah lama terjadi. Namun kandungan nilainya akan terus mengalami pembaharuan dan kontektualitasnya tak pernah lapuk dimakan oleh zaman.
14 Abad silam, Rasulullah sebagai panutan kita mengakui kebebasan beragama bagi setiap manusia, menyatakan pendapat, larangan bertindak kejahatan, jaminan keselamatan harta benda, dan sebagainya. Itu semua terbukti dengan diterbitkannya Piagam Madinah (Mitsaq Madinah) yang berisi kesepakatan hidup bersama antar berbagai ragam komunitas.
Ini baru satu sisi dari mutiara hijrah Nabi. Masih banyak sisi lain yang tak kalah menarik untuk diulas. Samudra inspirasi itu tak akan pernah kering. Bahkan senantiasa menyemburkan mutiara-mutiara baru. Peristiwa hijrah akan memancarkan cahaya berbeda-beda tergantung dari sudut mana dan siapa yang memandang .
Hijrah dalam pengertiannya yang leterlek maupun metaforis tak pernah mati. Dalam karyanya, Makna Hijrah Dulu dan Sekarang, M. Abdullah al-Khatib mengisahkan seorang sahabat yang sowan pada Rasulullah dan berkata:
“Ya Rasulullah, saya baru mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah berakhir.”
“Sesungguhnya hijrah tidak akan berakhir, hingga terhentinya taubat. Taubat pun tidak ada hentinya, hingga matahari terbit dari barat,” jawab beliau shallallahu alaihi wasallam.
Kemanusiaan Berbasis Tauhid
Diantara salah satu hikmah hijrah Nabi, adalah pembelajaran prinsip 'kemanusiaan berbasis tauhid'. Yakni, prinsip yang mengedepankan kepedulian pada sisi kemanusiaan (kemiskinan, pendidikan kaum lemah, kesejahteraan fakir miskin, dll), namun tetap berpijak pada nilai tauhid yang kokoh. Bukan kemanusiaan yang kering akan nilai ketauhidan.
Misalnya, sebelum Rasulullah dan para sahabat berhijrah ke Yatsrib (yang lantas menjadi Madinah), nilai tauhid lebih dulu ditancapkan oleh Rasulullah di Makkah selama 13 tahun. Di tanah suci Makkah – karena sebagai kiblat shalat dan poros haji – ayat-ayat tauhidlah yang banyak diturunkan. Ayat-ayat ini diturunkan di awal-awal perjuangan beliau di Makkah sebagai landasan bagi beliau dan para sahabatuntuk mengarungi kehidupan ini.
Setelah nilai tauhid ini sudah mengakar, barulah Rasulullah dan para sahabat dititahkan untuk mengelola Madinah sebagai bumi kemanusiaan. Disana, mereka harus berbaur dengan komunitas yang heterogen, baik agama maupun etnis. Ada Nasrani, Yahudi, Majusi dan sebagainya. Lantas beliau mencanangkan tata kehidupan sosial masyarakat melalui Piagam Madinah. Disinilah peran khalifatullah fi al-ardh begitu nyata, ketimbang di Makkah.
Rasulullah hanya 10 tahun menempati Madinah, Namun disinilah ayat-ayat tentang hubungan sosial, hubungan antar agama, kepedulian pada fakir miskin, termasuk ayat wajib zakat diturunkan. Ini karena orientasi dakwah di Madinah lebih ditujukan kepada nilai-nilai humanisme ketimbang spiritualisme.
Dan nilai kemanusiaan ini akan bisa terlaksana setelah nilai ketauhidan tertanam kokoh dalam jiwa.
Karenanya, menjadi tanpa bermakna bahkan kering, jika nilai kemanusiaan tak dipondasi dengan nilai ketauhidan. Hambar rasanya orang berzakat tanpa percaya wujud Allah SWT.
Begitu juga, orang yang percaya wujud Allah SWT namun acuh pada nilai kemanusiaan, ia akan menjadi 'tak ada nilai'
Dengan demikian, keduanya – baik ketauhidan maupun kemanusiaan – harus berjalan secara beriringan, kendati ketauhidan tetap diletakkan sebagai pondasi.
Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Itulah orang-orang yang beroleh kemenangan”. (QS. at-Taubah: 20).
Beriman dulu, berhijrah, dan baru berpikir tentang nilai kemanusiaan baik dengan harta maupun diri. Inilah orang-orang yang akan memperoleh kemenangan. Dan inilah altruisme, sifat mementingkan orang lain berbasis ketauhidan.
Peristiwa hijrah juga menunjukkan, kendati Makkah sebagai bumi spiritual sangat dicintai Nabi, bahkan berat untuk ditinggalkan olehnya, Namun tetap saja realitas sosial Madinah tak lantas diabaikannya.
Kendati Makkah adalah tempat yang benar-benar bisa menenteramkan batin, realitas kehidupan Madinah tetap harus diurus. Tak boleh berlama-lama di puncak bukit Makkah dengan acuh pada kondisi kemanusiaan di Madinah. Atas dasar itu, sudah seharusnya kita mengaca pada sejarah hijrah Nabi; dalam konteks menuju kemanusiaan Madinah berbasis ketauhidan Makkah.
Pun demikian, tentu saja “fitrah”nya, spiritualisme akan lebih diimajinasikan oleh umat manusia ketimbang humanisme. Rasulullah sendiri selalu ingin kembali ke bumi spiritual Makkah. Hingga akhirnya terjadilah Fathu Makkah pada tanggal 12 Ramadhan tahun 8 Hijriyah. Tapi sebagai khalifah di bumi yang ditugasi mengurus hal-ihwal kemanusiaan, Rasulullah tidak lantas menetap di Makkah melainkan kembali ke Madinah hingga akhirnya meninggal di sana, di tengah tugas-tugas kemanusiaannya.
“Siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa berhijrah karena dunia atau wanita, maka hijrahnya menuju yang ia inginkan.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Baca Juga:
Tahun berganti tahun, marilah kita berhijrah menuju kemanusiaan dengan pondasi ketauhidan yang kokoh. Letakkanlah Allah SWT sebagai dasar dan orientasi kehidupan ini. (Jalandamai.org)
Tepat pada tanggal 2 Oktober 2016 Perjuangan Islam telah menapaki usia yang ke- 1438. Hal itu berarti, peristiwa hijrah Rasulullah SAW (terjadi pada 24 September 622 M) sebagai pijakan dimulainya tahun baru hijriyah telah terjadi 14 abad silam. Peristiwa tentang hijrah Rasulullah dan para sahabat beliau memang terkesan klasik lantaran telah lama terjadi. Namun kandungan nilainya akan terus mengalami pembaharuan dan kontektualitasnya tak pernah lapuk dimakan oleh zaman.
14 Abad silam, Rasulullah sebagai panutan kita mengakui kebebasan beragama bagi setiap manusia, menyatakan pendapat, larangan bertindak kejahatan, jaminan keselamatan harta benda, dan sebagainya. Itu semua terbukti dengan diterbitkannya Piagam Madinah (Mitsaq Madinah) yang berisi kesepakatan hidup bersama antar berbagai ragam komunitas.
Ini baru satu sisi dari mutiara hijrah Nabi. Masih banyak sisi lain yang tak kalah menarik untuk diulas. Samudra inspirasi itu tak akan pernah kering. Bahkan senantiasa menyemburkan mutiara-mutiara baru. Peristiwa hijrah akan memancarkan cahaya berbeda-beda tergantung dari sudut mana dan siapa yang memandang .
Hijrah dalam pengertiannya yang leterlek maupun metaforis tak pernah mati. Dalam karyanya, Makna Hijrah Dulu dan Sekarang, M. Abdullah al-Khatib mengisahkan seorang sahabat yang sowan pada Rasulullah dan berkata:
“Ya Rasulullah, saya baru mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah berakhir.”
“Sesungguhnya hijrah tidak akan berakhir, hingga terhentinya taubat. Taubat pun tidak ada hentinya, hingga matahari terbit dari barat,” jawab beliau shallallahu alaihi wasallam.
Kemanusiaan Berbasis Tauhid
Diantara salah satu hikmah hijrah Nabi, adalah pembelajaran prinsip 'kemanusiaan berbasis tauhid'. Yakni, prinsip yang mengedepankan kepedulian pada sisi kemanusiaan (kemiskinan, pendidikan kaum lemah, kesejahteraan fakir miskin, dll), namun tetap berpijak pada nilai tauhid yang kokoh. Bukan kemanusiaan yang kering akan nilai ketauhidan.
Misalnya, sebelum Rasulullah dan para sahabat berhijrah ke Yatsrib (yang lantas menjadi Madinah), nilai tauhid lebih dulu ditancapkan oleh Rasulullah di Makkah selama 13 tahun. Di tanah suci Makkah – karena sebagai kiblat shalat dan poros haji – ayat-ayat tauhidlah yang banyak diturunkan. Ayat-ayat ini diturunkan di awal-awal perjuangan beliau di Makkah sebagai landasan bagi beliau dan para sahabatuntuk mengarungi kehidupan ini.
Setelah nilai tauhid ini sudah mengakar, barulah Rasulullah dan para sahabat dititahkan untuk mengelola Madinah sebagai bumi kemanusiaan. Disana, mereka harus berbaur dengan komunitas yang heterogen, baik agama maupun etnis. Ada Nasrani, Yahudi, Majusi dan sebagainya. Lantas beliau mencanangkan tata kehidupan sosial masyarakat melalui Piagam Madinah. Disinilah peran khalifatullah fi al-ardh begitu nyata, ketimbang di Makkah.
Rasulullah hanya 10 tahun menempati Madinah, Namun disinilah ayat-ayat tentang hubungan sosial, hubungan antar agama, kepedulian pada fakir miskin, termasuk ayat wajib zakat diturunkan. Ini karena orientasi dakwah di Madinah lebih ditujukan kepada nilai-nilai humanisme ketimbang spiritualisme.
Dan nilai kemanusiaan ini akan bisa terlaksana setelah nilai ketauhidan tertanam kokoh dalam jiwa.
Karenanya, menjadi tanpa bermakna bahkan kering, jika nilai kemanusiaan tak dipondasi dengan nilai ketauhidan. Hambar rasanya orang berzakat tanpa percaya wujud Allah SWT.
Begitu juga, orang yang percaya wujud Allah SWT namun acuh pada nilai kemanusiaan, ia akan menjadi 'tak ada nilai'
Dengan demikian, keduanya – baik ketauhidan maupun kemanusiaan – harus berjalan secara beriringan, kendati ketauhidan tetap diletakkan sebagai pondasi.
Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Itulah orang-orang yang beroleh kemenangan”. (QS. at-Taubah: 20).
Beriman dulu, berhijrah, dan baru berpikir tentang nilai kemanusiaan baik dengan harta maupun diri. Inilah orang-orang yang akan memperoleh kemenangan. Dan inilah altruisme, sifat mementingkan orang lain berbasis ketauhidan.
Peristiwa hijrah juga menunjukkan, kendati Makkah sebagai bumi spiritual sangat dicintai Nabi, bahkan berat untuk ditinggalkan olehnya, Namun tetap saja realitas sosial Madinah tak lantas diabaikannya.
Kendati Makkah adalah tempat yang benar-benar bisa menenteramkan batin, realitas kehidupan Madinah tetap harus diurus. Tak boleh berlama-lama di puncak bukit Makkah dengan acuh pada kondisi kemanusiaan di Madinah. Atas dasar itu, sudah seharusnya kita mengaca pada sejarah hijrah Nabi; dalam konteks menuju kemanusiaan Madinah berbasis ketauhidan Makkah.
Pun demikian, tentu saja “fitrah”nya, spiritualisme akan lebih diimajinasikan oleh umat manusia ketimbang humanisme. Rasulullah sendiri selalu ingin kembali ke bumi spiritual Makkah. Hingga akhirnya terjadilah Fathu Makkah pada tanggal 12 Ramadhan tahun 8 Hijriyah. Tapi sebagai khalifah di bumi yang ditugasi mengurus hal-ihwal kemanusiaan, Rasulullah tidak lantas menetap di Makkah melainkan kembali ke Madinah hingga akhirnya meninggal di sana, di tengah tugas-tugas kemanusiaannya.
“Siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa berhijrah karena dunia atau wanita, maka hijrahnya menuju yang ia inginkan.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Baca Juga:
- Fadhilah Dan Sejarah Puasa Asyura
- Keutamaan Dan Keistimewaan Bulan Muharram
- Beberapa Peristiwa Bersejarah Di Bulan Muharram
- Ini Dia Amalan Bulan Muharram Yang Tak Boleh Dilewatkan
Tahun berganti tahun, marilah kita berhijrah menuju kemanusiaan dengan pondasi ketauhidan yang kokoh. Letakkanlah Allah SWT sebagai dasar dan orientasi kehidupan ini. (Jalandamai.org)