Impian untuk menginjakkan kaki di tanah suci, membuat Hidayat Azis rela mengeluarkan Rp. 150 juta untuk program haji plus yang ditawarkan sebuah agen travel haji di Palembang.
Namun, dia tidak mengira langkah yang diambilnya di tahun 2014 silam itu akan membuatnya dipemjara di negeri orang, Filipina.
Pensiunan sebuah perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bergerak di bidang perkapalan tersebut mengaku tahu travel haji itu dari kakaknya.
“Setiap tahun, kakak saya bawa orang Umroh pakai travel ini. Tiap tahun. Dan itu tidak pernah ada masalah. Tapi itu Umroh,” ungkap Hidayat.
Setelah mengetahui agen travel haji dan umroh itu berkantor di salah satu jalan protokol kota Palembang, Hidayat dan istrinya pun, pada 2014, langsung menyambanginya untuk mendaftar haji plus (ONH Plus).
Namun, pria asal Yogyakarta yang saat itu tengah bertugas di Sumatera Selatan tersebut perlu menunggu dua tahun hingga ia dihubungi kembali oleh agen travel haji dan umroh yang ia tidak mau sebutkan namanya ini, alasannya “karena masih dalam proses pengembalian dana”.
“Bulan Mei (2016), last minute, saya diberitahu kalau rombongan Palembang mengambil visa lewat Filipina. Di situ saya mulai curiga, mengapa lewat Filipina?”
Laki-laki yang pensiun sejak januari tahun ini pun mendapat jawaban dari agen travelnya bahwa visa haji diambil di Filipina karena 'kuota haji Indonesia sudah ludes'.
Kecurigaan Hidayat bertambah karena saat akan berangkat dari Jakarta untuk membuat visa di Filipina pada akhir Mei 2016, ternyata hanya dia dan istrinya yang berasal dari Palembang.
"Padahal katanya rombongan,” kata Hidayat.
Di Jakarta, ia kemudian digabungkan dengan 10 calon jamaah haji lain dari berbagai daerah dengan mayoritas dari Jakarta dan sebagian ada yang dari Sukabumi.
“Saya kan tidak mau. Saya kan yang (ONH) plus. Rp. 150 juta per orang, tetapi saya dan istri dititip ke travel abal-abal (di Jakarta).”
Tak bisa Tagalog
Mengurungkan niatnya untuk berhaji, Hidayat pun pulang ke Palembang dan mendatangi pemilik travel. Ketidaknyamanan yang dia rasakan di Jakarta membuat ia dan istrinya berniat untuk tidak jadi berangkat haji dengan agen travel haji itu.
“Saya bilang, kembalikan uang saya. Lalu dia jawab, “Berangkat aja Pak, umur kan tidak tahu”.
Mendengar jawaban tersebut, Hidayat langsung marah, "urusan umur saya kan urusan Tuhan, Yang penting saya daftar ke kamu, kalau nggak jadi, kembalikan uang saya. Urusan saya mati besok atau kapan, bukan urusan kamu”,” tutur Hidayat dengan nada emosi, mengulang apa yang disampaikannya waktu itu.
Pada akhirnya, ia dan istri memutuskan untuk tetap naik haji dengan agen travel haji itu karena 'desakan keluarga' dan 'travel tak mau mengembalikan uangnya'.
Pada tanggal 17 Agustus, Hidayat dan istri akhirnya terbang ke Manila, Filipina.
Dia memaparkan, di hotel, menjelang keberangkatan, pihak agen di Manila meminta paspor Indonesia milik mereka semua.
"Saya pikir paspor diminta untuk kemudian ditempel visa haji Filipina,” kata Hidayat.
Dan mereka pun kemudian diangkut ke bandara.
Setibanya di bandara, Hidayat dan calon jamaah haji asal Indonesia lain dibagikan paspor Filipina, dengan visa Filipina dan nama yang berbeda-beda.
“Nama saya Hidayat Azis, dibalik jadi Azis Hidayat. Sementara istri saya namanya dirubah jadi nama Filipina. Namanya aneh, udah seperti saudara Manny Pacquiao,” kata Hidayat sambil tergelak.
Setelah itu calon jamaah masuk ke bandara Manila untuk check-in dan mengantri di imigrasi. Ketika di imigrasi inilah mereka ketahuan.
“Di depan kita ada orang dari Nunukan. Tapi ternyata berkasnya tidak lengkap. Kartu kuningnya tidak ada. Diajak bahasa Inggris sama petugas imigrasinya, dia nggak bisa. Diajak bahasa Tagalog, juga tidak bisa. Nah, nggak ketahuan dari situ,” ungkapnya.
Mereka pun ditahan, bahkan sempat dipenjara, sebelum dipulangkan ke Indonesia 4 September lalu. Tanah suci pun batal diinjak.
Tidak bisa berbuat banyak
Peristiwa yang menimpa Hidayat, istrinya, dan 175 calon haji lain asal Indonesia, telah membuat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menetapkan delapan orang tersangka yang berasal dari lima agen travel haji di berbagai daerah di Indonesia.
“Dan ini masih terus dikembangkan,” ujar Komjen Syafruddin kepada wartawan, usai salat Idul Adha di Lapangan Bhayangkara, Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Senin (12/09).
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999, Pasal 64 dan 63 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji No 13 tahun 2008, dan Pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.
Sementara itu di Filipina, Kepolisian Filipina telah menetapkan lima tersangka di negara itu, terkait kasus pemalsuan data paspor terhadap 177 calon jamaah haji asal Indonesia. Polisi menduga salah seorang warga negara Malaysia dengan inisial HR sebagai otak penipuan karena menjadi penghubung dan memiliki dua paspor.
Kendati demikian, saat ini diduga terdapat 700 orang jemaah haji, termasuk dari Indonesia, yang menggunakan kuota dari Filipina dan sekarang sedang berada di Arab Saudi.
Koordinator Fungsi Politik dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Manila, Filipina, Eddy Mulya, mengungkapkan tidak banyak yang bisa dilakukan pihaknya untuk mencegah penyalahgunaan kuota ini.
“Kita nggak ada otoritas, nggak ada mandat, kalau ada kejadian baru kita bisa tangani,” ungkap Eddy seperti dilansir dari BBC, Senin (12/09).
Agar masalah kuota ini tidak terjadi lagi, Eddy menyarankan agar Indonesia mendorong negara-negara ASEAN agar mau kuota haji di kawasan tersebut 'disatukan'.
“Lalu kita sampaikan ke Arab Saudi. Sekarang yang paling besar itu Indonesia. Sementara Myanmar, Filipina, Vietnam juga dapat kuota, padahal orang Islamnya kan sedikit, kenapa nggak kita ambil saja kuotanya,” pungkasnya.
Namun, dia tidak mengira langkah yang diambilnya di tahun 2014 silam itu akan membuatnya dipemjara di negeri orang, Filipina.
Pensiunan sebuah perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bergerak di bidang perkapalan tersebut mengaku tahu travel haji itu dari kakaknya.
“Setiap tahun, kakak saya bawa orang Umroh pakai travel ini. Tiap tahun. Dan itu tidak pernah ada masalah. Tapi itu Umroh,” ungkap Hidayat.
Setelah mengetahui agen travel haji dan umroh itu berkantor di salah satu jalan protokol kota Palembang, Hidayat dan istrinya pun, pada 2014, langsung menyambanginya untuk mendaftar haji plus (ONH Plus).
Hidayat Azis dan istri, Tititk Sayekti |
Namun, pria asal Yogyakarta yang saat itu tengah bertugas di Sumatera Selatan tersebut perlu menunggu dua tahun hingga ia dihubungi kembali oleh agen travel haji dan umroh yang ia tidak mau sebutkan namanya ini, alasannya “karena masih dalam proses pengembalian dana”.
“Bulan Mei (2016), last minute, saya diberitahu kalau rombongan Palembang mengambil visa lewat Filipina. Di situ saya mulai curiga, mengapa lewat Filipina?”
Laki-laki yang pensiun sejak januari tahun ini pun mendapat jawaban dari agen travelnya bahwa visa haji diambil di Filipina karena 'kuota haji Indonesia sudah ludes'.
Kecurigaan Hidayat bertambah karena saat akan berangkat dari Jakarta untuk membuat visa di Filipina pada akhir Mei 2016, ternyata hanya dia dan istrinya yang berasal dari Palembang.
"Padahal katanya rombongan,” kata Hidayat.
Di Jakarta, ia kemudian digabungkan dengan 10 calon jamaah haji lain dari berbagai daerah dengan mayoritas dari Jakarta dan sebagian ada yang dari Sukabumi.
“Saya kan tidak mau. Saya kan yang (ONH) plus. Rp. 150 juta per orang, tetapi saya dan istri dititip ke travel abal-abal (di Jakarta).”
Tak bisa Tagalog
Mengurungkan niatnya untuk berhaji, Hidayat pun pulang ke Palembang dan mendatangi pemilik travel. Ketidaknyamanan yang dia rasakan di Jakarta membuat ia dan istrinya berniat untuk tidak jadi berangkat haji dengan agen travel haji itu.
“Saya bilang, kembalikan uang saya. Lalu dia jawab, “Berangkat aja Pak, umur kan tidak tahu”.
Mendengar jawaban tersebut, Hidayat langsung marah, "urusan umur saya kan urusan Tuhan, Yang penting saya daftar ke kamu, kalau nggak jadi, kembalikan uang saya. Urusan saya mati besok atau kapan, bukan urusan kamu”,” tutur Hidayat dengan nada emosi, mengulang apa yang disampaikannya waktu itu.
Pada akhirnya, ia dan istri memutuskan untuk tetap naik haji dengan agen travel haji itu karena 'desakan keluarga' dan 'travel tak mau mengembalikan uangnya'.
Pada tanggal 17 Agustus, Hidayat dan istri akhirnya terbang ke Manila, Filipina.
Dia memaparkan, di hotel, menjelang keberangkatan, pihak agen di Manila meminta paspor Indonesia milik mereka semua.
"Saya pikir paspor diminta untuk kemudian ditempel visa haji Filipina,” kata Hidayat.
Dan mereka pun kemudian diangkut ke bandara.
Setibanya di bandara, Hidayat dan calon jamaah haji asal Indonesia lain dibagikan paspor Filipina, dengan visa Filipina dan nama yang berbeda-beda.
“Nama saya Hidayat Azis, dibalik jadi Azis Hidayat. Sementara istri saya namanya dirubah jadi nama Filipina. Namanya aneh, udah seperti saudara Manny Pacquiao,” kata Hidayat sambil tergelak.
Setelah itu calon jamaah masuk ke bandara Manila untuk check-in dan mengantri di imigrasi. Ketika di imigrasi inilah mereka ketahuan.
Ratusan calon jamaah haji Indonesia yang diberangkatkan melalui Filipina merupakan 'korban penipuan' dari berbagai daerah |
“Di depan kita ada orang dari Nunukan. Tapi ternyata berkasnya tidak lengkap. Kartu kuningnya tidak ada. Diajak bahasa Inggris sama petugas imigrasinya, dia nggak bisa. Diajak bahasa Tagalog, juga tidak bisa. Nah, nggak ketahuan dari situ,” ungkapnya.
Mereka pun ditahan, bahkan sempat dipenjara, sebelum dipulangkan ke Indonesia 4 September lalu. Tanah suci pun batal diinjak.
Tidak bisa berbuat banyak
Peristiwa yang menimpa Hidayat, istrinya, dan 175 calon haji lain asal Indonesia, telah membuat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menetapkan delapan orang tersangka yang berasal dari lima agen travel haji di berbagai daerah di Indonesia.
“Dan ini masih terus dikembangkan,” ujar Komjen Syafruddin kepada wartawan, usai salat Idul Adha di Lapangan Bhayangkara, Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Senin (12/09).
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999, Pasal 64 dan 63 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji No 13 tahun 2008, dan Pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.
Sementara itu di Filipina, Kepolisian Filipina telah menetapkan lima tersangka di negara itu, terkait kasus pemalsuan data paspor terhadap 177 calon jamaah haji asal Indonesia. Polisi menduga salah seorang warga negara Malaysia dengan inisial HR sebagai otak penipuan karena menjadi penghubung dan memiliki dua paspor.
Kendati demikian, saat ini diduga terdapat 700 orang jemaah haji, termasuk dari Indonesia, yang menggunakan kuota dari Filipina dan sekarang sedang berada di Arab Saudi.
Koordinator Fungsi Politik dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Manila, Filipina, Eddy Mulya, mengungkapkan tidak banyak yang bisa dilakukan pihaknya untuk mencegah penyalahgunaan kuota ini.
“Kita nggak ada otoritas, nggak ada mandat, kalau ada kejadian baru kita bisa tangani,” ungkap Eddy seperti dilansir dari BBC, Senin (12/09).
Agar masalah kuota ini tidak terjadi lagi, Eddy menyarankan agar Indonesia mendorong negara-negara ASEAN agar mau kuota haji di kawasan tersebut 'disatukan'.
“Lalu kita sampaikan ke Arab Saudi. Sekarang yang paling besar itu Indonesia. Sementara Myanmar, Filipina, Vietnam juga dapat kuota, padahal orang Islamnya kan sedikit, kenapa nggak kita ambil saja kuotanya,” pungkasnya.