Senja itu, terlihat separuh matahari mulai terbenam. sejumlah jamaah haji melepas lelah sembari saling berbincang. Namun, di di depan pandangan, seorang lelaki tua tergeletak lemah. Ia dilengkapi alat bantu oksigen. Disiapkan pula kursi roda tepat di samping badan yang lemah terkulai itu.
Rio Ismail. nama jamaah haji tersebut, Ia memiliki tekad baja di tengah keterbatasan fisiknya. Rio berhaji dengan ditemani istri dan anaknya.
Sebelum berangkat ke Tanah Suci, kondisi Rio sempat memicu perdebatan di tengah keluarga. Sebagian dari mereka sebenarnya lebih menginginkan Rio untuk mengurungkan niatnya berhaji. Namun keinginan yang telah lama menggebu untuk bersimpuh di depan Ka'bah, membuat keluarga berpasrah, sekaligus mendukung keinginan yang menjadi impian orang Islam di seluruh dunia.
"Saya minta maaf karena serba terbatas dalam urusan keluarga. Baik sebagai suami, maupun ayah," tulis Rio dalam surat yang ia titipkan untuk keluarga di Tanah Air.
Kasih di Arafah
Dengan sekuat tenaga Rio berhasil melaksanakan satu persatu perintah haji. Hingga tiba saat wukuf di Arafah. Ahad, 9 Dzulhijah langit tampak cerah. Seluruh jamaah haji mendatangi padang seluas 25 kilometer persegi itu untuk selekasnya khusyuk berdoa.
Ketika musim haji tiba, di Padang Arafah didirikan banyak tenda tetrahedron kerucut berwarna putih bersih. Tenda ini cukup canggih. Energi panas matahari yang memancar dikonversinya menjadi suhu yang nyaman bagi para penghuninya.
Di dalam tetrahedron, Rio terlihat lelah tak berdaya. Selepas bimbingan wukuf oleh para kiai dan ustadz, para jamaah berpeluk tangis saling meminta dan memberikan maaf. Termasuk istri Rio, Surati dan anaknya. Mereka mendatangi Rio yang tengah tertidur di samping tabung dan alat bantu pernapasan.
"Maafkan dan ampuni kami," kata Surati sambil memeluk Rio.
Rio terbangun, lalu tersenyum. Air mukanya tampak bahagia. Ia berhasil melaksanakan ibadah wukuf. Saat di Arafah, yang dia ingat hanya pesan Rasulullah, "Al-Hajj Arafah."
Karena wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang tak bisa ditinggal dan digantikan. Kendati dalam keadaan sakit dan berbaring, Rio tak pernah berhenti berdzikir.
Hari Haru di Mina
Hari bergeser. 10 Dzulhijjah, jemaah menempati tenda sebelum siap melempar jumroh Aqabah lepas tengah malam. Di tengah penyampaian materi sembari menunggu waktu itu tiba, Hafidz, ustadz pembimbing haji, menyampaikan bahwa di hari itu ada salah satu jamaah yang berulang tahun ke-62. Surati, orangnya. Istri Rio.
"Apa yang engkau harapkan di hari Idul Adha dan ulang tahunmu ini, Ibu Surati? Kami akan mengamininya," tanya Hafidz.
Surati hanya bisa terdiam dalam balutan tatapan Rio yang tengah terkulai. Kemudian perempuan itu beranjak dan mengampiri Rio, lelaki yang sudah 40 tahun menemaninya mengarungi bahtera rumah tangga.
"Ya Allah, langgengkan jodoh kami hingga akhir hayat," Surati sembari memeluk Rio.
Arafah dan Mina menjadi tempat untuk menguatkan harapan, cita-cita, bahkan cinta. jamaah haji dipersilakan merenungi apa yang tengah ia jalani selama hidup, juga yang ia harapkan di masa berikutnya. Seperti Rio dan Surati, semua jamaah haji menginginkan kebahagiaan.
Surati dan anaknya memeluk Rio |
Rio Ismail. nama jamaah haji tersebut, Ia memiliki tekad baja di tengah keterbatasan fisiknya. Rio berhaji dengan ditemani istri dan anaknya.
Sebelum berangkat ke Tanah Suci, kondisi Rio sempat memicu perdebatan di tengah keluarga. Sebagian dari mereka sebenarnya lebih menginginkan Rio untuk mengurungkan niatnya berhaji. Namun keinginan yang telah lama menggebu untuk bersimpuh di depan Ka'bah, membuat keluarga berpasrah, sekaligus mendukung keinginan yang menjadi impian orang Islam di seluruh dunia.
"Saya minta maaf karena serba terbatas dalam urusan keluarga. Baik sebagai suami, maupun ayah," tulis Rio dalam surat yang ia titipkan untuk keluarga di Tanah Air.
Kasih di Arafah
Dengan sekuat tenaga Rio berhasil melaksanakan satu persatu perintah haji. Hingga tiba saat wukuf di Arafah. Ahad, 9 Dzulhijah langit tampak cerah. Seluruh jamaah haji mendatangi padang seluas 25 kilometer persegi itu untuk selekasnya khusyuk berdoa.
Ketika musim haji tiba, di Padang Arafah didirikan banyak tenda tetrahedron kerucut berwarna putih bersih. Tenda ini cukup canggih. Energi panas matahari yang memancar dikonversinya menjadi suhu yang nyaman bagi para penghuninya.
Di dalam tetrahedron, Rio terlihat lelah tak berdaya. Selepas bimbingan wukuf oleh para kiai dan ustadz, para jamaah berpeluk tangis saling meminta dan memberikan maaf. Termasuk istri Rio, Surati dan anaknya. Mereka mendatangi Rio yang tengah tertidur di samping tabung dan alat bantu pernapasan.
"Maafkan dan ampuni kami," kata Surati sambil memeluk Rio.
Rio terbangun, lalu tersenyum. Air mukanya tampak bahagia. Ia berhasil melaksanakan ibadah wukuf. Saat di Arafah, yang dia ingat hanya pesan Rasulullah, "Al-Hajj Arafah."
Karena wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang tak bisa ditinggal dan digantikan. Kendati dalam keadaan sakit dan berbaring, Rio tak pernah berhenti berdzikir.
Hari Haru di Mina
Hari bergeser. 10 Dzulhijjah, jemaah menempati tenda sebelum siap melempar jumroh Aqabah lepas tengah malam. Di tengah penyampaian materi sembari menunggu waktu itu tiba, Hafidz, ustadz pembimbing haji, menyampaikan bahwa di hari itu ada salah satu jamaah yang berulang tahun ke-62. Surati, orangnya. Istri Rio.
"Apa yang engkau harapkan di hari Idul Adha dan ulang tahunmu ini, Ibu Surati? Kami akan mengamininya," tanya Hafidz.
Surati hanya bisa terdiam dalam balutan tatapan Rio yang tengah terkulai. Kemudian perempuan itu beranjak dan mengampiri Rio, lelaki yang sudah 40 tahun menemaninya mengarungi bahtera rumah tangga.
"Ya Allah, langgengkan jodoh kami hingga akhir hayat," Surati sembari memeluk Rio.
Arafah dan Mina menjadi tempat untuk menguatkan harapan, cita-cita, bahkan cinta. jamaah haji dipersilakan merenungi apa yang tengah ia jalani selama hidup, juga yang ia harapkan di masa berikutnya. Seperti Rio dan Surati, semua jamaah haji menginginkan kebahagiaan.