Ilustrasi |
Terkait Dengan Insiden Adzan Di Tanjung Balai, Ini Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Soal Pengeras Suara
Permasalahan di Indonesia terkait dengan ketidaksukaan masyarakat non muslim terhadap aktivitas kaum muslim yang menggunakan speaker sepertinya masih belum mengalami titik temu.
Salah satunya yang kini masih penjadi pembicaraan adalah insiden pengrusakan sejumlah rumah dan vihara di Tanjung Balai yang dipicu oleh ketidaksenangan non muslim terhadap suara adzan yang dikumandangkan melalui speaker atau pengeras suara.
Ketidaksenangan yang tidak menggunakan sikap santun tersebut akhirnya memicu kemarahan umat islam sehingga kerukunan masyarakat di daerah Tanjung Balai menjadi tidak terlihat lagi.
DIlansir dari situs resmi Kemenag, sudah diketahui bahwa Dirjen Bimas Islam yang berada di bawah kementeriaan Agama telah membuat sebuah surat edaran terkait penggunaan pengeras suara dengan nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara Di Masjid, Langgar Dan Mushalla.
Berikut sejumlah beberapa aturan yang telah dibuat oleh Dirjen Bimas Islam.
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.
Baca Juga: