Suhu udara pada Kamis (25/8) siang sungguh menyengat tubuh, mencapai 42 derajat Celcius. Walaupun panas, para jamaah haji tetap memadati pasar kambing Kakiyah yang baunya sungguh masya Allah.
"Harganya berapa?" kata seorang jamaah haji wanita dari Indonesia. "Dua ratus lima puluh riyal," jawab pria hitam bertubuh besar yang mengenakan kaus berwarna hijau.
Siang itu kami sengaja mendatangi Pasar kambing Kakiyah, Makkah, untuk mengetahui proses pembelian dan penyembelihan kambing untuk pembayaran dam atau denda. Jamaah haji yang memilih cara tamattu (jamaah yang melakukan umrah lalu baru berhaji), wajib membayar dam. Hewan yang diperuntukan dam harus ditumpahkan darahnya di tanah suci Makkah meski dagingnya boleh disalurkan ke mana saja.
Pasar Kakiyah yang luas ini kerap menjadi tujuan jamaah haji untuk memotong kambing dam. Tidak terkecuali jamaah wanita asal Indonesia, Sumiati, yang siang itu datang bersama delapan anggota rombongannya.
Sumiati bersama rombongan menyambangi Pasar Kakiyah dengan menggunakan taksi yang disopiri seorang mukimin. Lewat bantuan sang sopir, Sumiati memilih kambing yang dipajang di kandang-kandang depan lapangan dekat pintu masuk pasar Kakiyah.
"Awalnya kami dihampiri orang berbaju hijau, tapi sopirnya tawar-menawar. Kambingnya ditunjukkan, cocok nggak?" kata Sumiati. Kambing yang pertama ditunjukkan dinilainya kurang bagus. Badannya besar, tapi kurus. Kambing berikutnya dinilai Sumiati bagus. Badannya terlihat sehat dan gemuk.
Kami bertemu Sumiati ketika ia sedang bertransaksi soal harga kambing dengan lelaki hitam bertubuh jangkung tersebut. "Ini orangnya jujur. Kita beli sama orang ini aja," ujar pengemudi kami yang sudah tinggal di Makkah lebih dari 10 tahun, Samsul Arifin Abdulmanan.
Kami menuruti saran Pak Samsul untuk membeli delapan kambing ke lelaki hitam yang disebutnya orang jujur ini. Tanpa perlu ke kandang untuk melihat kambingnya, kami memercayakan pada pria hitam bertubuh tinggi ini untuk memilih kambing buat dam kami.
Selang beberapa menit kemudian, sebuah mobil bak terbuka datang dengan membawa kambing pesanan kami. Dan ternyata benar, lelaki hitam bertubuh tinggi ini bisa dipercaya. Dia membawakan kambing-kambing yang gemuk dan sehat.
Proses berlanjut ke rumah pemotongan hewan, tapi saya masih belum paham mengapa Pak Samsul berkesimpulan orang hitam bertubuh jangkung ini adalah orang jujur. Satu per satu kambing pesanan kami dibaringkan di lantai yang sudah becek oleh air bercampur darah hewan.
Kami pun bergiliran melafadzkan nama kami. Ketika saya melafadzkan nama saya, seketika itu pula pria hitam bertubuh jangkung itu menyembelih hewan dam saya sambil memekikkan kalimat, "Bismillahi Allahu Akbar."
Proses pembayaran dam sesingkat itu, secepat pisau tajam si pria hitam bertubuh jangkung itu memotong leher kambing dam saya. Namun, saya masih bertanya-tanya mengapa pria berkulit hitam bertubuh jangkung ini disebut jujur.
Jawaban akhirnya terkuak. Ternyata Sumiati sempat ingin memberi uang untuk ongkos penyembelihan di luar harga kambing yang 250 riyal (Rp 879 ribu) tersebut. Tetapi, lelaki hitam bertubuh tinggi itu menolaknya. "Ada tukang jagal yang meminta ongkos potong sebesar 20 riyal sampai 30 riyal (Rp 70 ribu-Rp 100 ribu)," ungkap Pak Samsul.
Lelaki hitam bertubuh jangkung ini sebetulnya bisa meraih keuntungan besar jika meminta ongkos potong tiap satu ekor kambing. Maklum, dalam satu hari, dia bisa memotong ratusan kambing ketika musim haji tiba. Jika seratus ekor kambing saja, dia bisa mendapatkan 2.000 riyal (Rp 7 juta) dalam sehari.
Namun, lelaki hitam bertubuh jangkung yang diketahui bernama Abul Kalam ini memilih keuntungan yang lebih besar lagi, yakni balasan pahala dari Allah SWT. "Saya mau beribadah di sini. Ini daging untuk orang miskin. Saya tak mau mengambil dari jamaah haji. Saya takut kepada Allah," kata Abul.
Bau kambing masih tercium ketika kami pulang ke pemondokan di sekitar Syisah. Hari itu kami tidak hanya belajar proses bayar dam di pasar kambing Kakiyah, tetapi juga mendapatkan pelajaran kejujuran dari seorang manusia berkulit hitam.
"Harganya berapa?" kata seorang jamaah haji wanita dari Indonesia. "Dua ratus lima puluh riyal," jawab pria hitam bertubuh besar yang mengenakan kaus berwarna hijau.
Siang itu kami sengaja mendatangi Pasar kambing Kakiyah, Makkah, untuk mengetahui proses pembelian dan penyembelihan kambing untuk pembayaran dam atau denda. Jamaah haji yang memilih cara tamattu (jamaah yang melakukan umrah lalu baru berhaji), wajib membayar dam. Hewan yang diperuntukan dam harus ditumpahkan darahnya di tanah suci Makkah meski dagingnya boleh disalurkan ke mana saja.
Pasar Kakiyah yang luas ini kerap menjadi tujuan jamaah haji untuk memotong kambing dam. Tidak terkecuali jamaah wanita asal Indonesia, Sumiati, yang siang itu datang bersama delapan anggota rombongannya.
Sumiati bersama rombongan menyambangi Pasar Kakiyah dengan menggunakan taksi yang disopiri seorang mukimin. Lewat bantuan sang sopir, Sumiati memilih kambing yang dipajang di kandang-kandang depan lapangan dekat pintu masuk pasar Kakiyah.
"Awalnya kami dihampiri orang berbaju hijau, tapi sopirnya tawar-menawar. Kambingnya ditunjukkan, cocok nggak?" kata Sumiati. Kambing yang pertama ditunjukkan dinilainya kurang bagus. Badannya besar, tapi kurus. Kambing berikutnya dinilai Sumiati bagus. Badannya terlihat sehat dan gemuk.
Kami bertemu Sumiati ketika ia sedang bertransaksi soal harga kambing dengan lelaki hitam bertubuh jangkung tersebut. "Ini orangnya jujur. Kita beli sama orang ini aja," ujar pengemudi kami yang sudah tinggal di Makkah lebih dari 10 tahun, Samsul Arifin Abdulmanan.
Kami menuruti saran Pak Samsul untuk membeli delapan kambing ke lelaki hitam yang disebutnya orang jujur ini. Tanpa perlu ke kandang untuk melihat kambingnya, kami memercayakan pada pria hitam bertubuh tinggi ini untuk memilih kambing buat dam kami.
Selang beberapa menit kemudian, sebuah mobil bak terbuka datang dengan membawa kambing pesanan kami. Dan ternyata benar, lelaki hitam bertubuh tinggi ini bisa dipercaya. Dia membawakan kambing-kambing yang gemuk dan sehat.
Proses berlanjut ke rumah pemotongan hewan, tapi saya masih belum paham mengapa Pak Samsul berkesimpulan orang hitam bertubuh jangkung ini adalah orang jujur. Satu per satu kambing pesanan kami dibaringkan di lantai yang sudah becek oleh air bercampur darah hewan.
Kami pun bergiliran melafadzkan nama kami. Ketika saya melafadzkan nama saya, seketika itu pula pria hitam bertubuh jangkung itu menyembelih hewan dam saya sambil memekikkan kalimat, "Bismillahi Allahu Akbar."
Proses pembayaran dam sesingkat itu, secepat pisau tajam si pria hitam bertubuh jangkung itu memotong leher kambing dam saya. Namun, saya masih bertanya-tanya mengapa pria berkulit hitam bertubuh jangkung ini disebut jujur.
Jawaban akhirnya terkuak. Ternyata Sumiati sempat ingin memberi uang untuk ongkos penyembelihan di luar harga kambing yang 250 riyal (Rp 879 ribu) tersebut. Tetapi, lelaki hitam bertubuh tinggi itu menolaknya. "Ada tukang jagal yang meminta ongkos potong sebesar 20 riyal sampai 30 riyal (Rp 70 ribu-Rp 100 ribu)," ungkap Pak Samsul.
Lelaki hitam bertubuh jangkung ini sebetulnya bisa meraih keuntungan besar jika meminta ongkos potong tiap satu ekor kambing. Maklum, dalam satu hari, dia bisa memotong ratusan kambing ketika musim haji tiba. Jika seratus ekor kambing saja, dia bisa mendapatkan 2.000 riyal (Rp 7 juta) dalam sehari.
Namun, lelaki hitam bertubuh jangkung yang diketahui bernama Abul Kalam ini memilih keuntungan yang lebih besar lagi, yakni balasan pahala dari Allah SWT. "Saya mau beribadah di sini. Ini daging untuk orang miskin. Saya tak mau mengambil dari jamaah haji. Saya takut kepada Allah," kata Abul.
Bau kambing masih tercium ketika kami pulang ke pemondokan di sekitar Syisah. Hari itu kami tidak hanya belajar proses bayar dam di pasar kambing Kakiyah, tetapi juga mendapatkan pelajaran kejujuran dari seorang manusia berkulit hitam.