Suatu ketika, seorang sahabat bertanya pada Rasulullah,
'Mungkinkah seorang Mukmin itu pengecut?'
'Mungkin,' jawab Rasulullah.
'Mungkinkah seorang Mukmin itu bakhil (kikir)?'
'Mungkin,' lanjut Rasulullah.
'Mungkinkah seorang Mukmin itu pembohong?'
Rasulullah SAW menjawab, 'Tidak!' (HR. Imam Malik dalam Al Muwattha' No. 1913)
Ulama besar dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Sayid Sabiq (almarhum) ketika menukilkan hadis ini dalam kitabnya 'Islamuna' menjelaskan bahwa iman dan kebiasaan bohong tidak akan pernah bisa berkumpul dalam hati seorang Mukmin. Rasulullah SAW berwasiat agar umat Islam memiliki sifat jujur dan menjauhi sifat pembohong. Sebab, Islam tidak akan tumbuh dan berdiri kokoh dalam pribadi yang tidak jujur.
Kita baca sejarah pribadi besar Nabi Muhammad SAW, selama 40 tahun beliau menjadi pribadi yang jujur lebih dulu, hingga digelari Al-Amin, baru kemudian diangkat menjadi utusan Allah untuk mengajarkan Islam kepada umat manusia.
Sabda Rasulullah, 'Berpegang-teguhlah dengan kebiasaan berkata benar. Sesungguhnya berkata benar mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkan ke surga. Seseorang yang selalu berkata benar, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang benar. Dan, jauhilah kebohongan. Sesungguhnya kebohongan mengantarkan kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan ke neraka. Seseorang yang biasa berbohong, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.' (HR Bukhari-Muslim).
Bohong dengan kata atau perbuatan merupakan salah satu tanda-tanda nifaq (kemunafikan). Islam memandang kebohongan adalah induk dari berbagai dosa dan kerusakan dalam masyarakat. Krisis multidimensi yang melanda negara kita bermuara pada krisis akhlak.
Nabi shallallahu alaihi wasallam, Ketika masih kecil dan sebelum mendapatkan wahyu, beliau sudah mendapat gelar al-Amiin (jujur), al-Sâdiq al-Mashdûq (jujur dan terpercaya). Beliau bahkan berani berkata jujur ketika lingkungan sekitarnya dalam keadaan yang sangat berbudaya dengan kebohongan dan kemunafikan.
Ketika ada seruan da’wah terbuka pada Beliau, Nabi SAW. pergi ke bukit Safa dan menyeru kan dakwah secara terbuka. Apa yang terjadi? Abu Lahab yang namanya tercantum dalam Qur’an hanya berkata “Celaka lah Engkau”. Dia tidak berkata bahwa Nabi berbohong hanya menghujatnya. Karna dia tahu Nabi tidak sedang berbohong hanya yang dia sampaikan tidak sesuai dengan kehendaknya. Inilah kebohongan hati yang mendatangkan laknat Allah.
Meskipun terasa sulit, sifat jujur merupakan keharusan bagi seorang Mukmin. Dan akan menjadi mudah bila kita memiliki tekad yang kuat. Maka niatkanlah mulai sekarang untuk menjadi orang jujur. Mari kita renungi sebuah hadist shahih dibawah ini:
“Jujur mengantarkan kepada kebajikan, sementara kebajikan mengantarkan kepada surga. Orang yang bersikap jujur dan berusaha untuk jujur akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur. Adapun bohong mengantarkan pada kejahatan, sementara kejahatan mengantar pada neraka. Seseorang yang berbohong akan ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.” (H.R. Bukhari Muslim)
Kita ingin ditulis sebagai apa?
Pernah ada seseorang yang datang kepada Nabi, dia berkata akan masuk Islam, tapi enggan dan belum siap melaksanakan ritual ibadahnya. Maka Nabi menyuruhnya satu hal, tidak berbohong. Karna dengan berbohong dia akan membuka pintu dosa. Dan jujur menutup dosa. Orang tidak akan pernah berbuat kesalahan bila dia jujur. Bisakah kita, misalnya, mabuk-mabukan tapi harus jujur ketika ditanya orang tua? Atau mencuru kemudian jujur mengakuinya?
Karena kejujuran memiliki suatu kedudukan yang sangat terhormat, baik disisi Allah maupun mahkluknya. Pernahkah kita mendengar suatu peribahasa “Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di seluruh dunia”.
Atau bagi yang bersuku bangsa Sunda pernah mendengar “Gera sakola sing luhur, sing jadi jelema jujur” Orang tua kita mendo’akan menjadi orang jujur, bukan pintar, kaya atau punya pangkat. Karena hanya dengan kejujuran hidup ini akan menjadi berkah.
Lihatlah kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Mereka memiliki kehidupan yang didambakan setiap muslim, walaupun kehidupan mereka jauh dari kata kaya secara duniawi. Tapi mereka menjalaninya dengan kejujuran.
Dan di zaman sekarang ini, Salah satu bentuk krisis akhlak yang berdampak luas ialah krisis kejujuran. Krisis kejujuran menyuburkan praktik korupsi yang menggerogoti sendi-sendi kebangsaan. Karena kepandaian membohongi dan membuat lingkaran kebohongan, maka sebagian besar perbuatan korupsi, kolusi, suap, dan pungli sulit pembuktiannya. Kebohongan dapat membuat campur aduknya hal yang haq dan yang bathil. Sesuatu yang bathil seolah tampak sebagai kebenaran karena kepandaian membuat rekayasa dan kamuflase.
Upaya memberantas korupsi, kolusi, suap, dan pungli takkan membawa hasil yang berarti tanpa diikuti kejujuran dalam penegakan hukum. Jika mau membersihkan moral birokrasi kita, maka yang pertama harus dilakukan ialah membangun kultur kejujuran, hingga setiap orang merasa malu melakukan kebohongan apa pun.
Jadi tunggu apa lagi untuk jujur? Sudah lengkap kah alasan kita untuk jujur? Atau masih ragu jujur? Mari kita berfikir kembali. Mau digolongkan menjadi pembohong atau muslim? Karna muslim tak mungkin berbohong.
Mulailah dari hal kecil. Berkata lah sesuai apa yang kita lakukan, dan lihat. Lakukanlah seperti apa yang kita yakini. Dan niatkanlah segalanya untuk kebaikan.
Mari kita tegakkan kejujuran dan berhenti berbohong. Kejujuran tidak cukup sekadar slogan, tapi harus menjadi karakter dan kultur masyarakat. Sistem pemerintahan yang bersih dan transparan hanya dapat terwujud kalau para pemimpin dan segenap elemen bangsa konsisten dengan prinsip kejujuran. Katakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.
Wallahu A'lam.
'Mungkinkah seorang Mukmin itu pengecut?'
'Mungkin,' jawab Rasulullah.
'Mungkinkah seorang Mukmin itu bakhil (kikir)?'
'Mungkin,' lanjut Rasulullah.
'Mungkinkah seorang Mukmin itu pembohong?'
Rasulullah SAW menjawab, 'Tidak!' (HR. Imam Malik dalam Al Muwattha' No. 1913)
Ulama besar dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Sayid Sabiq (almarhum) ketika menukilkan hadis ini dalam kitabnya 'Islamuna' menjelaskan bahwa iman dan kebiasaan bohong tidak akan pernah bisa berkumpul dalam hati seorang Mukmin. Rasulullah SAW berwasiat agar umat Islam memiliki sifat jujur dan menjauhi sifat pembohong. Sebab, Islam tidak akan tumbuh dan berdiri kokoh dalam pribadi yang tidak jujur.
Kita baca sejarah pribadi besar Nabi Muhammad SAW, selama 40 tahun beliau menjadi pribadi yang jujur lebih dulu, hingga digelari Al-Amin, baru kemudian diangkat menjadi utusan Allah untuk mengajarkan Islam kepada umat manusia.
Sabda Rasulullah, 'Berpegang-teguhlah dengan kebiasaan berkata benar. Sesungguhnya berkata benar mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkan ke surga. Seseorang yang selalu berkata benar, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang benar. Dan, jauhilah kebohongan. Sesungguhnya kebohongan mengantarkan kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan ke neraka. Seseorang yang biasa berbohong, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.' (HR Bukhari-Muslim).
Bohong dengan kata atau perbuatan merupakan salah satu tanda-tanda nifaq (kemunafikan). Islam memandang kebohongan adalah induk dari berbagai dosa dan kerusakan dalam masyarakat. Krisis multidimensi yang melanda negara kita bermuara pada krisis akhlak.
Nabi shallallahu alaihi wasallam, Ketika masih kecil dan sebelum mendapatkan wahyu, beliau sudah mendapat gelar al-Amiin (jujur), al-Sâdiq al-Mashdûq (jujur dan terpercaya). Beliau bahkan berani berkata jujur ketika lingkungan sekitarnya dalam keadaan yang sangat berbudaya dengan kebohongan dan kemunafikan.
Ketika ada seruan da’wah terbuka pada Beliau, Nabi SAW. pergi ke bukit Safa dan menyeru kan dakwah secara terbuka. Apa yang terjadi? Abu Lahab yang namanya tercantum dalam Qur’an hanya berkata “Celaka lah Engkau”. Dia tidak berkata bahwa Nabi berbohong hanya menghujatnya. Karna dia tahu Nabi tidak sedang berbohong hanya yang dia sampaikan tidak sesuai dengan kehendaknya. Inilah kebohongan hati yang mendatangkan laknat Allah.
Meskipun terasa sulit, sifat jujur merupakan keharusan bagi seorang Mukmin. Dan akan menjadi mudah bila kita memiliki tekad yang kuat. Maka niatkanlah mulai sekarang untuk menjadi orang jujur. Mari kita renungi sebuah hadist shahih dibawah ini:
“Jujur mengantarkan kepada kebajikan, sementara kebajikan mengantarkan kepada surga. Orang yang bersikap jujur dan berusaha untuk jujur akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur. Adapun bohong mengantarkan pada kejahatan, sementara kejahatan mengantar pada neraka. Seseorang yang berbohong akan ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.” (H.R. Bukhari Muslim)
Kita ingin ditulis sebagai apa?
Pernah ada seseorang yang datang kepada Nabi, dia berkata akan masuk Islam, tapi enggan dan belum siap melaksanakan ritual ibadahnya. Maka Nabi menyuruhnya satu hal, tidak berbohong. Karna dengan berbohong dia akan membuka pintu dosa. Dan jujur menutup dosa. Orang tidak akan pernah berbuat kesalahan bila dia jujur. Bisakah kita, misalnya, mabuk-mabukan tapi harus jujur ketika ditanya orang tua? Atau mencuru kemudian jujur mengakuinya?
Karena kejujuran memiliki suatu kedudukan yang sangat terhormat, baik disisi Allah maupun mahkluknya. Pernahkah kita mendengar suatu peribahasa “Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di seluruh dunia”.
Atau bagi yang bersuku bangsa Sunda pernah mendengar “Gera sakola sing luhur, sing jadi jelema jujur” Orang tua kita mendo’akan menjadi orang jujur, bukan pintar, kaya atau punya pangkat. Karena hanya dengan kejujuran hidup ini akan menjadi berkah.
Lihatlah kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Mereka memiliki kehidupan yang didambakan setiap muslim, walaupun kehidupan mereka jauh dari kata kaya secara duniawi. Tapi mereka menjalaninya dengan kejujuran.
Dan di zaman sekarang ini, Salah satu bentuk krisis akhlak yang berdampak luas ialah krisis kejujuran. Krisis kejujuran menyuburkan praktik korupsi yang menggerogoti sendi-sendi kebangsaan. Karena kepandaian membohongi dan membuat lingkaran kebohongan, maka sebagian besar perbuatan korupsi, kolusi, suap, dan pungli sulit pembuktiannya. Kebohongan dapat membuat campur aduknya hal yang haq dan yang bathil. Sesuatu yang bathil seolah tampak sebagai kebenaran karena kepandaian membuat rekayasa dan kamuflase.
Upaya memberantas korupsi, kolusi, suap, dan pungli takkan membawa hasil yang berarti tanpa diikuti kejujuran dalam penegakan hukum. Jika mau membersihkan moral birokrasi kita, maka yang pertama harus dilakukan ialah membangun kultur kejujuran, hingga setiap orang merasa malu melakukan kebohongan apa pun.
Jadi tunggu apa lagi untuk jujur? Sudah lengkap kah alasan kita untuk jujur? Atau masih ragu jujur? Mari kita berfikir kembali. Mau digolongkan menjadi pembohong atau muslim? Karna muslim tak mungkin berbohong.
Mulailah dari hal kecil. Berkata lah sesuai apa yang kita lakukan, dan lihat. Lakukanlah seperti apa yang kita yakini. Dan niatkanlah segalanya untuk kebaikan.
Mari kita tegakkan kejujuran dan berhenti berbohong. Kejujuran tidak cukup sekadar slogan, tapi harus menjadi karakter dan kultur masyarakat. Sistem pemerintahan yang bersih dan transparan hanya dapat terwujud kalau para pemimpin dan segenap elemen bangsa konsisten dengan prinsip kejujuran. Katakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.
Wallahu A'lam.