Jumlah perceraian di negeri ini kian bertambah. Data tahun 2015 silam menunjukkan pengurangan angka pernikahan tapi angka perceraian meningkat dibanding tahun 2014 (nasional.republika.co.id, 14/11/2014). Data ini seharusnya sudah bisa dijadikan pelajaran dan pengalaman bagi setiap keluarga Indonesia untuk menjaga keutuhan rumah tangga dari keretakan.
Banyak sebab yang mendorong banyaknya angka perceraian, mulai dari segi ekonomi, hingga ego masing-masing. Terbukti, kasus perceraian bukan hanya terjadi pada kalangan bawah namun juga kalangan menengah ke atas. Apalagi, di kalangan selebriti, perceraian seolah menjadi bagian dari gaya hidup.
Padahal dalam Islam sendiri, Kendati boleh dilakukan, perceraian merupakan perkara yang sangat dibenci oleh Allah. Belakangan ini, kasus perceraian lebih banyak diajukan oleh istri (nasional.republika.co.id, 7/4/2016). Sangat kecil kemungkinan istri menggugat suami jika istri suaminya tidak bermasalah. Oleh karena itu, termasuk kewajiban bagi para suami untuk berbuat baik kepada keluarganya, terkhusus terhadap istri dan anak.
Sempurnakan Akhlak
Banyaknya angka perceraian akibat gugatan dari pihak istri sungguh mengejutkan. Dari bentuk sifat wanita yang lembut, sangat kecil kemungkinan bagi seorang istri untuk menggugat suami jika istri merasakan kelembutan dan keindahan akhlak suami.
Kecil kemungkinan sang istri menggungat sang suami, manakala suaminya orang tidak bermasalah. Oleh karena itu, banyak disebutkan dalam dalil baik Al Qur'an maupun Hadits, bahwa tugas utama suami adalah menyempurnakan akhlaknya, terkhusus terhadap istri dan keluarga. Jika suami tidak bermasalah, kecil kemungkinan istri dan anak-anak mereka bermasalah.
Sebagaimana sabda Rasulullah, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kaian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap istri-istrinya.” (HR. Tirmidzi).
Dengan demikian maka pencegahan terbaik dari terjadinya perceraian adalah dengan menyempurnakan akhlak. Baik suami maupun istri hendaknya berlomba-lomba untuk kesempurnaan akhlak, sehingga akan tercipta suasana cinta penuh kebahagiaan. Misalnya, suami dan istri berlomba untuk selalu berkata benar, lembut dan menghormati pasangan.
Dengan cara seperti itu maka tidak akan ada ruang bagi egoisme, apalagi buruk sangka yang merupakan akar dari segala keburukan. Sebaliknya akan tercipta perasaan saling menjaga dan saling membela antara suami dan istri, sehingga benih cinta yang tertanam kuat pada saat ijab qabul akan semakin menghujam dalam lubuk hati seiring dengan perjalanan waktu hingga tiba saat perpisahan sementara yakni kematian.
Seperti itulah yang terjadi pada rumah tangga Rasulullah bersama Siti Khadijah. Perbedaan usia dan status tak membuat keduanya gagal membina keharmonisan rumah tangga.
Sebaliknya, justru semakin menambah harmonis, mesra dan membahagiakan. Rasul pernah berkata, Khadijah adalah wanita terbaik. Ia mempercayai Nabi ketika orang mendustakanya. Ia membela Nabi ketika orang mencacinya.
Terhadap Nabi, Khadijah selalu hadir sebagai obat. Ia selalu mampu hadir menenangkan kegelisahan suami, bahkan meneguhkan keyakinan dan langkah sang suami. Khadijah selalu menyebut kebaikan-kebaikan suaminya kala bertatap muka. Maka, tak heran jika Nabi senantiasa mengingatnya dan tak pernah bisa lupa dengan Khadijah meskipun telah ada Aisyah. Mengapa, tak lain dan tak bukan adalah karena akhlaknya.
Demikian pula dengan Salman Al-Farisi. Beliau juga orang yang hidup sangat sederhana. Tetapi istrinya tidak pernah menggugat cerai. Mengapa, karena keduanya sebagai suami senantiasa menyempurnakan akhlaknya. Jadi, jelas tangkal segala keburujan dengan akhlak mulia. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak,” demikian ungkap Nabi.
Jika kesempurnaan akhlak keluarga seperti kisah diatas, tentu perceraian tidak akan terjadi seperti jamur di musim hujan. Ali bin Abi Tholib adalah sosok suami yang tidak memiliki kekayaan materi, malah sangat kekurangan. Namun Fatimah tak pernah menggugat suaminya apalagi untuk bercerai.
Berkata Baik
Dalam hadits riwayat Bukhari disebutkan, “Berkata baik atau diam.” Hadits ini wajib diterapkan dalam kehidupan rumah tangga sebagai media awal selalu mampu berkata baik dalam pergaulan masyarakat.
Dalam hal memanggil nama saja Rasulullah selalu memanggil dengan sebutan Ya humaira (wahai yang kemerah-merahan pipinya, red). Berbeda dengan kebanyakan suami yang memanggil istrinya dengan sekedar menyebut nama pendeknya. Tetapi setidaknya, sebagai suami hendaknya kita tidak memanggil istri sendiri seperti teman-teman memanggilnya.
Dalam konteks lebih umum, suami-istri hendaknya membiasakan diri berkata baik. Misalnya selalu mengucapkan perkataan yang membahagiakan pasangan. Dan, jika memang benar-benar tidak suka, sebaiknya diam dan bersegera berkata baik pada hal lainnya.
Lebih dari itu suami istri wajib berkata baik kepada orang lain perihal pasangan sendiri. Tidak berkata buruk tentang pasangan kita kepada siapa pun. Karena selain akan merugikan pasangan sebenarnya hal semacam itu sama sekali tidak memberi manfaat apa pun. Kecuali kita bercerita untuk kepentingan membina keluarga menjadi lebih harmonis kepada orang yang ahli dalam soal keluarga.
Suatu ketika Rasulullah ditanya oleh seseorang, “Apa hak istri salah seorang di antara kita?”
Beliau menjawab, ‘Wa la Tuqobbih (janganlah engkau menjelek-jelekkannya),” (HR. Ahmad).
Firman Allah SWT,
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS: Ali Imran : 59)
Artinya seorang istri tidak boleh dihina, dicaci maki, direndahkan atau dikatakan kepadanya perkataan yang buruk. Termasuk dilarang berkata, ‘Semoga Allah memburukkanmu’. Istri haruslah dimuliakan agar ia juga memuliakan kita.
Dengan demikian maka tidaklah pantas suami istri yang sudah saling percaya menerapkan perilaku buruk dalam berumah tangga. Sebaliknya, suami istri harus berlomba untuk memperbaiki akhlak dan selalu berkata baik terhadap pasangan. Jika itu mampu direalisasikan, Insya Allah pertengkaran apalagi perceraian akan jauh dari tali pernikahan yang lama dibina.
Wallahu A'lam.
Banyak sebab yang mendorong banyaknya angka perceraian, mulai dari segi ekonomi, hingga ego masing-masing. Terbukti, kasus perceraian bukan hanya terjadi pada kalangan bawah namun juga kalangan menengah ke atas. Apalagi, di kalangan selebriti, perceraian seolah menjadi bagian dari gaya hidup.
Padahal dalam Islam sendiri, Kendati boleh dilakukan, perceraian merupakan perkara yang sangat dibenci oleh Allah. Belakangan ini, kasus perceraian lebih banyak diajukan oleh istri (nasional.republika.co.id, 7/4/2016). Sangat kecil kemungkinan istri menggugat suami jika istri suaminya tidak bermasalah. Oleh karena itu, termasuk kewajiban bagi para suami untuk berbuat baik kepada keluarganya, terkhusus terhadap istri dan anak.
Sempurnakan Akhlak
Banyaknya angka perceraian akibat gugatan dari pihak istri sungguh mengejutkan. Dari bentuk sifat wanita yang lembut, sangat kecil kemungkinan bagi seorang istri untuk menggugat suami jika istri merasakan kelembutan dan keindahan akhlak suami.
Kecil kemungkinan sang istri menggungat sang suami, manakala suaminya orang tidak bermasalah. Oleh karena itu, banyak disebutkan dalam dalil baik Al Qur'an maupun Hadits, bahwa tugas utama suami adalah menyempurnakan akhlaknya, terkhusus terhadap istri dan keluarga. Jika suami tidak bermasalah, kecil kemungkinan istri dan anak-anak mereka bermasalah.
Sebagaimana sabda Rasulullah, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kaian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap istri-istrinya.” (HR. Tirmidzi).
Dengan demikian maka pencegahan terbaik dari terjadinya perceraian adalah dengan menyempurnakan akhlak. Baik suami maupun istri hendaknya berlomba-lomba untuk kesempurnaan akhlak, sehingga akan tercipta suasana cinta penuh kebahagiaan. Misalnya, suami dan istri berlomba untuk selalu berkata benar, lembut dan menghormati pasangan.
Dengan cara seperti itu maka tidak akan ada ruang bagi egoisme, apalagi buruk sangka yang merupakan akar dari segala keburukan. Sebaliknya akan tercipta perasaan saling menjaga dan saling membela antara suami dan istri, sehingga benih cinta yang tertanam kuat pada saat ijab qabul akan semakin menghujam dalam lubuk hati seiring dengan perjalanan waktu hingga tiba saat perpisahan sementara yakni kematian.
Seperti itulah yang terjadi pada rumah tangga Rasulullah bersama Siti Khadijah. Perbedaan usia dan status tak membuat keduanya gagal membina keharmonisan rumah tangga.
Sebaliknya, justru semakin menambah harmonis, mesra dan membahagiakan. Rasul pernah berkata, Khadijah adalah wanita terbaik. Ia mempercayai Nabi ketika orang mendustakanya. Ia membela Nabi ketika orang mencacinya.
Terhadap Nabi, Khadijah selalu hadir sebagai obat. Ia selalu mampu hadir menenangkan kegelisahan suami, bahkan meneguhkan keyakinan dan langkah sang suami. Khadijah selalu menyebut kebaikan-kebaikan suaminya kala bertatap muka. Maka, tak heran jika Nabi senantiasa mengingatnya dan tak pernah bisa lupa dengan Khadijah meskipun telah ada Aisyah. Mengapa, tak lain dan tak bukan adalah karena akhlaknya.
Demikian pula dengan Salman Al-Farisi. Beliau juga orang yang hidup sangat sederhana. Tetapi istrinya tidak pernah menggugat cerai. Mengapa, karena keduanya sebagai suami senantiasa menyempurnakan akhlaknya. Jadi, jelas tangkal segala keburujan dengan akhlak mulia. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak,” demikian ungkap Nabi.
Jika kesempurnaan akhlak keluarga seperti kisah diatas, tentu perceraian tidak akan terjadi seperti jamur di musim hujan. Ali bin Abi Tholib adalah sosok suami yang tidak memiliki kekayaan materi, malah sangat kekurangan. Namun Fatimah tak pernah menggugat suaminya apalagi untuk bercerai.
Berkata Baik
Dalam hadits riwayat Bukhari disebutkan, “Berkata baik atau diam.” Hadits ini wajib diterapkan dalam kehidupan rumah tangga sebagai media awal selalu mampu berkata baik dalam pergaulan masyarakat.
Dalam hal memanggil nama saja Rasulullah selalu memanggil dengan sebutan Ya humaira (wahai yang kemerah-merahan pipinya, red). Berbeda dengan kebanyakan suami yang memanggil istrinya dengan sekedar menyebut nama pendeknya. Tetapi setidaknya, sebagai suami hendaknya kita tidak memanggil istri sendiri seperti teman-teman memanggilnya.
Dalam konteks lebih umum, suami-istri hendaknya membiasakan diri berkata baik. Misalnya selalu mengucapkan perkataan yang membahagiakan pasangan. Dan, jika memang benar-benar tidak suka, sebaiknya diam dan bersegera berkata baik pada hal lainnya.
Lebih dari itu suami istri wajib berkata baik kepada orang lain perihal pasangan sendiri. Tidak berkata buruk tentang pasangan kita kepada siapa pun. Karena selain akan merugikan pasangan sebenarnya hal semacam itu sama sekali tidak memberi manfaat apa pun. Kecuali kita bercerita untuk kepentingan membina keluarga menjadi lebih harmonis kepada orang yang ahli dalam soal keluarga.
Suatu ketika Rasulullah ditanya oleh seseorang, “Apa hak istri salah seorang di antara kita?”
Beliau menjawab, ‘Wa la Tuqobbih (janganlah engkau menjelek-jelekkannya),” (HR. Ahmad).
Firman Allah SWT,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya seorang istri tidak boleh dihina, dicaci maki, direndahkan atau dikatakan kepadanya perkataan yang buruk. Termasuk dilarang berkata, ‘Semoga Allah memburukkanmu’. Istri haruslah dimuliakan agar ia juga memuliakan kita.
Dengan demikian maka tidaklah pantas suami istri yang sudah saling percaya menerapkan perilaku buruk dalam berumah tangga. Sebaliknya, suami istri harus berlomba untuk memperbaiki akhlak dan selalu berkata baik terhadap pasangan. Jika itu mampu direalisasikan, Insya Allah pertengkaran apalagi perceraian akan jauh dari tali pernikahan yang lama dibina.
Wallahu A'lam.