Namaku Naila, orang-orang biasa memanggilku Nai. Ini adalah kisah perjalanan hidupku yang hingga saat inipun masih terekam jelas dalam benakku. Sebuah kisah yang nyaris membuatku menyesal seumur hidup bila aku sendiri saat itu tidak berani mengambil keputusan. Ya, sebuah keputusan yang betapa aku sendiri takjub dibuatnya.
Sungguh tak pernah terpikirkan sebelumnya jika aku harus mengenakan khimar, menutup kepala dan rambutku. Semua berawal dari ketertarikanku melihat kawan sekalasku berhijab, aku pikir meraka terlihat cantik dan anggun memadukan warna pakaian dengan khimarnya. Dan dari sanalah aku tertarik untuk mengikuti langkah teman-temanku mengenakan hijab.
“Hei, kau terlihat cantik sekali memakai khimar pink itu.”
“Ah kau bisa saja ! Tumben kau memuji penampilan hijabku.”
“Entahlah kau terlihat cantik sekali memakai khimar itu, pas dan sangat cocok."
Waktupun berlalu, aku mulai menabung untuk membeli pakaian tertutup dan mengoleksi berbagai macam model dan warna khimar. Selain sebagai mahasiswa, dulu aku sempat bekerja juga sebagai penyiar radio, dan alhamdulillah dari penghasilan sebagai penyiar, aku bisa memenuhi apa yang menjadi keinginanku, yaitu mengoleksi busana muslim. Meski pakaian yang aku kenakan dulu jauh dari kata sempurna, masih mengenakan jeans dan pakaian ketat, serta khimar yang tidak menutup dada sesuai dengan perintah Allah.
Perjuanganku belum dimulai, itu hanya sebatas kegemaranku mengoleksi pakaian tertutup dan khimar, perjuanganku justru dimulai ketika aku harus berpikir bagaimana caranya seorang wanita non muslim sepertiku bisa berhijab, apa tanggapan tetangga dan teman-teman kampusku nanti ?? Meski aku tahu, berhijab bukan hanya milik orang muslim, bisa kita lihat seorang biarawatipun mengenakan hijab. Tapi hal ini ternyata tidak serumit yang aku bayangkan, mereka senang melihatku terlihat sama seperti meraka, dan yang aku takutkan justru keluargaku, terutama Ibu. Alasan apa yang harus aku beri untuk Ibu ?? Ingin bibir ini dengan mudahnya berucap 'Ibu, aku ingin berhijab' meskipun dulu memang niatku berhijab bukan untuk memenuhi kewajiban sebagai muslimah, tapi hanya sekedar fashion belaka. Kemudian aku terus berfikir, hingga akhirnya aku menemukan alasan yang tepat untuk aku berhijab.
“Ibu aku bete deh setiap hari berangkat ke kampus pakai angkot, dan selalu saja ada penumpang yang merokok. Ibu tahu kan kalau aku engga suka dengan bau asap rokok. Masa putri cantik Ibu dari rumah dandan habis-habisan, rambut dicatok pakai wangi-wangian, eh setibanya dikampus malah bercampur dengan bau asap rokok. Nanti kalau rambutku rusak bagaiman? Jadi aku pengen pakai kerudung ya, supaya kulitku juga engga tambah hitam kalai pakai baju tertutup terus."
Itulah alasanku, agar rambutku tidak bau asap rokok dan kulitku tidak terbakar matahari jadi aku memutuskan menutup rambutku dengan khimar yang diam-diam aku kumpulkan selama ini.
“Yasudah, terserah kamu saja, tapi awas kamu hanya boleh memakai kerudung jika ke kampus saja, selebihnya kau lepaskan kerudungmu itu !”
Ibu mengabulkan kemauanku.
Hari pertama berhijab, rasanya aneh, serasa ada sesuatu yang berlebihan dikepalaku, aku harus terus menjaganya supaya tetap rapi, kemana-mana cermin selalu aku bawa, aku takut khimarku berantakan dan aku tidak bisa merapihkannya kembali. Dikampus, apa yang aku duga ternyata tidak salah, teman-temanku justru terlihat senang dengan penampilan baruku, tak sedikit dari meraka yang memujiku, dan karena pujian dari merekalah aku semakin bersemangat untuk terus berhijab.
“Waaah, sepertinya kita kedatangan murid baru nih, kenalan yuk !” temanku melemparkan guyonan padaku.
“Ah kalian bisa saja, aku jadi malu nih.”
“Kenapa harus malu, kau terlihat cantik memakai kerudung, dan sama sekali tak terlihat kalau kau sebenarnya bukan wanita muslim.”
Seiring berjalannya waktu, hidayah itu perlahan kembali menyapaku, aku pernah mendengar bahwa jika fisik ini terhijab secara otomatis hatipun ikut terhijab dan hijab itulah yang akan mengekang kita untuk tidak berbuat buruk.
Berawal dari Ibu yang mengenalkan dan memaksaku untuk menjalin hubungan dengan seorang pria muslim. Dia adalah Amar, seorang pria dewasa, pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yang aku tahu bahwa sejak kecil pria itu adalah anak yang taat kepada orang tuanya, dan juga rajin beribadah. Tabiatnya tetap seperti itu sampai dia dewasa. Tapi meski begitu bagiku tak ada sesuatu yang istimewa yang bisa membuatku jatuh hati padanya.
Dulu, sedikitpun tak ada rasa suka, cinta apalagi sayang untuknya. Entahlah, aku tak tahu apa tujuan ibu mengenalkan pria itu untukku, bukankah Ibu menginginkan aku menikah dengan pria yang seiman. Kata Ibu, Amar pria baik, dia bijaksana, pekerja keras dan bertanggung jawab, itu yang Ibu suka darinya meskipun kita berbeda agama.
“Pokoknya aku tidak mau Bu dijodohkan, aku mau memilih pria yang sesuai dengan seleraku. Dan pria yang Ibu kenalkan itu tidak termasuk kriteria pria idamanku.”
Dulu pria idamanku adalah pria yang tinggi, besar, putih, berkepala plontos dan seorang pengabar injil. Lantas aku protes dengan keinginan Ibu.
“Coba kau jalani dulu saja apa salahnya sih, dia itu pria baik.” Ibu membujukku
“Entahlah bu, aku sama sekali tak menaruh rasa padanya. Aku sama sekali tidak menyukainya.”
"Cinta itu bisa tumbuh jika kau mau membuka hati untuknya. Coba saja dulu!"
Aku kesal, marah dan sampai merasa bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan sementara Ibu semakin gencar mendekatkan aku dengan pria itu. Hingga akhirnya aku meminta pendapat kepada sahabatku Tika, dan dia menyarankan agar aku menuruti perintah Ibuku dan membuka hati untuk pria itu. Semenjak itulah aku berusaha mencoba membuka hati ini untuk pria pilihan Ibu.
Benci jadi cinta, mungkin ini kalimat yang pas untuk mewakiliku saat itu. Dulu aku yang sangat membenci pria itu, dan justru sekarang aku sangat mengaguminya. Dan disaat rasa cinta itu sedikit demi sedikit mulai tumbuh, masalah baru muncul, Ibu berbalik menyuruhku untuk tidak dekat-dekat dengan pria itu kecuali aku bisa mengajaknya memeluk agama yang kita anut.
“Kelihatannya kau sudah mulai akrab dan dekat dengan si Amar. Apa kau sudah menjalani hubungan yang serius ?” Tanya ibu penuh penasaran
“Akupun tak tahu bu, hanya saja dia bilang, bahwa dia tidak main-main padaku dan ingin melanjutkan hubungan ini kejenjang yang lebih serius.”
“Ibu sudah tahu, Amar sudah cerita pada Ibu bahwa dia ingin menikahimu. Tapi ibu belum memberikan jawaban apapun untuknya. Ibu harap kau bisa membujuknya untuk memeluk agama kita, Ibu tidak mau dan tidak rela jika kau yang harus ikut memeluk agama Islam.”
Dan aku semakin bingung, justru ketika aku memutuskan berhijab dan membuka hatiku untuk pria itu, ada suatu getaran dihatiku.
Getaran untuk mengenal Islam. Namun apalah daya, aku tak kuasa mengutarakan inginku itu kepada Ibu. Haripun berlalu, aku semakin tidak kuat menahan sesuatu yang menarik-narik hatiku untuk terus mengenal Islam. Dan akhirnya aku memutuskan belajar Islam secara diam-diam. Aku memilih internet dan orang-orang terdekat untuk aku ajak sharing tentang Islam, hingga akhirnya aktivitasku tercium oleh Ibu.
Amarahnya semakin memuncak ketika aku memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan kewajibanku sebagai manusia baru, yaitu shalat. Semua itu berat untuk aku jalani, semenjak memutuskan berhijrah cobaan bertubi-tubi menghampiriku, aku merasa bahwa keberadaanku dirumah dianggap tidak ada, aku merasa asing dalam lingkungan keluargaku sendiri, diacuhkan dan didiamkan tanpa pernah ada satu kalimat sekedar menanyakan keadaanku. Satu tahun lamanya, sunyi itu mendekapku, sepi tanpa ada tegur sapa bahkan canda dan tawa dari Ibu.
Sebagai manusia biasa yang merasa tersakiti, aku selalu mencoba untuk terus bersabar, meyakini bahwa ujian yang diturunkan kepada manusia adalah sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Allah mengajarkan untuk mengahadapinya dengan sabar dan shalat sebagai penolong, sesuai dengan firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 286 :
"Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan yang dikerjakannya).”
Oleh karena itu aku ikhlas, meski semua mengasingkanku, dan aku memaklumi Ibu yang ketika itu menjadi sangat membenciku. Ibu mana yang mau anaknya memilih jalan yang berbeda untuk bertemu dengan Sang Pemilik Hidup.
Puncaknya ketika aku merasa kesabaranku nyaris terkikis, aku sudah tidak tahan berada dalam lingkunganku sendiri. Aku memutuskan ingin pergi dari rumah untuk belajar Islam di Pesantren. Tapi lagi-lagi keinginanku tak disetujui Ibu. Bahkan Ibu sangat marah besar, sampai mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan hatiku.
"Ibu tidak ridho kalau kamu harus masuk Pesantren, itu sama saja kau membuang kotoran dimuka Ibu."
Ibu menarik tanganku dan memasukanku ke dalam kamar, pintupun dikunci dan aku dikurung seharian.
"Ibu tidak akan membukakan pintu sebelum kau merubah pikiranmu."
Namun Allah menunjukan kuasanya, tiba-tiba keesokan harinya Ibu ada urusan mendadak dan harus pergi keluar kota. Dan aku mempunyai kesempatan untuk pergi dari rumah. Dan akhirnya aku benar-benar membulatkan tekad, aku ambil kertas dan menulis sepucuk surat untuk orangtuaku.
“Assalamu’alaikum Ayah dan Ibu, maafkan anakmu yang lancang ini. Pergi dari rumah tanpa pamit dan mencium kedua tangan Ayah dan Ibu. Ampuni aku, aku pergi dari rumah bukan untuk meninggalkan Ayah dan Ibu selamanya. Aku hanya ingin shalat dan belajar banyak tentang Islam. Ayah dan Ibu tidak perlu mengkhawatirkanku. insyaAllah aku akan baik-baik saja. Mohon do’a dan restu dari kalian. Wassalam.”
Pondok Pesantren Al-Muttaqin adalah tujuanku, yang sebelumnya memang sudah aku kunjungi. Disana aku memulai hidup baru yang jauh berbeda dari hidupku yang sebelumnya. Hidup tanpa gadget dan sosial media rasanya jendela dunia seperti tertutup untukku. Tanpa alat komunikasi aku tak pernah tahu bagaimana kabar diluar sana, bagaimana kabar orangtuaku, bagaimana kabar adik-adikku, bagaimana kabar sahabat-sahabatku, dan bagaimana kabar pria itu. Tapi lambat laun aku bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku, aku sudah terbiasa untuk belajar semua pekerjaan yang biasa ibu rumah tangga kerjakan, aku belajar hidup mandiri dan belajar hidup sederhana.
Semua dimulai dari nol, aku belajar Islam, dari menghafalkan huruf hijaiyah, menulis dan membaca tulisan arab. Layaknya anak TK yang sedang belajar membaca dan menulis, ada rasa malu ketika melihat santri yang lain sudah sangat pandai, tapi aku buang jauh-jauh semua rasa malu itu, aku harus berusaha jangan sampai pengorbananku meninggalkan rumah menjadi sia-sia jika samasekali tak ada ilmu yang aku dapat.
Di pondok, busanaku tampak berbeda dengan mereka yang mengenakan jilbab dan menjulurkan kerudungnya sampai menutupi dada. Aku bertanya kepada salah satu santri wanita.
“Teteh, kenapa sih disini harus mengenakan jilbab atau rok dan kerudung yang besar? Emang engga menghalangi aktivitas kita ya ??
Mengingat dipondok semua pekerjaan seperti mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, mengepel, bahkan membelah-belah kayu untuk dijadikan kayu bakar, busana syar'i itu tetap dipakai.
“Iya Teteh, disini boleh kok memakai baju lengan pendek dan tanpa kerudung, tapi hanya didalam kamar tidur saja, heheheh" Ungkap salah seorang santri.
"Iya betul Teh, disini kami diajarkan untuk menjadi muslimah yang berbusana sesuai syari'at, karena sesungguhnya busana syar'i itu memuliakan wanita dan busana yang bisa menjaga diri kita dari perbuatan tidak baik. Sesuai dengan Firman Allah dalam Al-Qur'an surah Al-Ahdzaab ayat 59 :
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dan dalam surah An-Nuur ayat 31
"Hendaklah mereka ( perempuan ) melabuhkan kain tudung hingga menutupi dada-dada mereka."
Santri lain menjelaskan panjang lebar, dan "Teteh" adalah sapaan kami di Pondok, semua memanggil supaya terasa semakin akrab dan hangat.
Setelah aku tahu, akupun mulai meninggalkan khimar tipis dan pakaian ketatku, mulai belajar mengenakan jilbab dan kerudung besar yang menutupi dada. Kebetulan Pondok menyediakan khimar-kimar besar, jad aku mudah untuk mendapatkannya. Dan ternyata memang tidak seribet yang aku bayangkan, aku merasa nyaman memakainya, walaupun sedikit resah, aku takut jika berbusana seperti ini apa anggapan orang-orang terhadapku, apa mereka akan menganggap aku golongan teroris dan golongan Islam garis keras.
Hari berganti minggu dan bulan, aku mendapat kejutan. Guruku berkata seseorang ingin bertemu denganku, dengan hati penasaran aku terus bertanya-tanya siapa yang mau menemuiku, apakah orang tuaku? Ditemani kedua Guruku dan teman terdekatku di pondok, aku menemui orang itu, dan tenyata dia adalah pria yang selalu hadir dalam anganku setiap hari. Bukan cokelat, durian atau ice cream kesukaanku yang pria itu bawa, tapi pria itu membawa cinta yang tulus. Tak kusangka pria itu berani mengkhitbahku lewat Guruku dipondok. Aku pun menerima lamarannya karena Guruku bilang tidak baik menolak lamaran pria sholeh.
"Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkannya dengan wanita kalian. Bila tidak akan terjadi fitnah dimuka bumi dan kerusakan." (HR At-Tirmidz)
Perjuangan baru kembali dimulai, Guruku menyarankan agar pria itu menghadap orangtuaku untuk melamarku secara resmi, apapun hasilnya yang penting kita sudah berusaha dan tidak mendahului mereka. Aku diijinkan untuk menelpon Ayahku, sementara pria itu langsung menemui keluargaku dirumah.
Dan sudah kuduga, Ibu menolak lamaran pria itu. Sudah beberapa kali pria itu datang menemui orangtuaku untuk melamar dan meminta restu. Dua kali kami gagal melangsungkan pernikahan karena tak kunjung mendapat restu. Hari-hari berlalu, Alhamdulillah Ayah akhirnya merestui dan meski tanpa restu ibu kami melangsungkan pernikahan.
Kehidupan baru sebagai seorang istri dimulai, hidup berdua dengan suami merantau jauh dari mertua dan orang tua, alhamdulillah menjadikan kami semakin dewasa dan mandiri. Dan seiring berjalannya waktu ketika Allah menitipkan malaikat kecil dirahimku. Hingga saat usia kandungan 8 bulan, Allah kembali menunjukan kuasanya. Ibu datang menemui kami, memeluk dan menerima kami kembali, dan hubungan kami kembali seperti dulu. Terimakasih Ibu cintamu sungguh luar biasa, engkau mampu mengalahkan egomu dan menerimaku kembali dalam dekapanmu.
Terimakasih Ibu karena engkau telah mengantarkan pria baik untukku, sehingga aku berusaha memantaskan diri dengan cara mendekat dan mengenal Sang Pemilik Hati untuk bisa menjadi pasangan terbaiknya sehidup sesurga.
“Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita yang baik.” (Qs. An-Nur: 26)
Baca Juga:
Kata Motivasi :
Jangan goyah, sebab Rahmat dan Kasih Sayang Allah selalu ada, kapanpun dan dimanapun bagi jiwa-jiwa yang sedang menggapai hidayah.
Oleh: Naila Azizah (Yanne Meitawati)
Sungguh tak pernah terpikirkan sebelumnya jika aku harus mengenakan khimar, menutup kepala dan rambutku. Semua berawal dari ketertarikanku melihat kawan sekalasku berhijab, aku pikir meraka terlihat cantik dan anggun memadukan warna pakaian dengan khimarnya. Dan dari sanalah aku tertarik untuk mengikuti langkah teman-temanku mengenakan hijab.
“Hei, kau terlihat cantik sekali memakai khimar pink itu.”
“Ah kau bisa saja ! Tumben kau memuji penampilan hijabku.”
“Entahlah kau terlihat cantik sekali memakai khimar itu, pas dan sangat cocok."
Waktupun berlalu, aku mulai menabung untuk membeli pakaian tertutup dan mengoleksi berbagai macam model dan warna khimar. Selain sebagai mahasiswa, dulu aku sempat bekerja juga sebagai penyiar radio, dan alhamdulillah dari penghasilan sebagai penyiar, aku bisa memenuhi apa yang menjadi keinginanku, yaitu mengoleksi busana muslim. Meski pakaian yang aku kenakan dulu jauh dari kata sempurna, masih mengenakan jeans dan pakaian ketat, serta khimar yang tidak menutup dada sesuai dengan perintah Allah.
Perjuanganku belum dimulai, itu hanya sebatas kegemaranku mengoleksi pakaian tertutup dan khimar, perjuanganku justru dimulai ketika aku harus berpikir bagaimana caranya seorang wanita non muslim sepertiku bisa berhijab, apa tanggapan tetangga dan teman-teman kampusku nanti ?? Meski aku tahu, berhijab bukan hanya milik orang muslim, bisa kita lihat seorang biarawatipun mengenakan hijab. Tapi hal ini ternyata tidak serumit yang aku bayangkan, mereka senang melihatku terlihat sama seperti meraka, dan yang aku takutkan justru keluargaku, terutama Ibu. Alasan apa yang harus aku beri untuk Ibu ?? Ingin bibir ini dengan mudahnya berucap 'Ibu, aku ingin berhijab' meskipun dulu memang niatku berhijab bukan untuk memenuhi kewajiban sebagai muslimah, tapi hanya sekedar fashion belaka. Kemudian aku terus berfikir, hingga akhirnya aku menemukan alasan yang tepat untuk aku berhijab.
“Ibu aku bete deh setiap hari berangkat ke kampus pakai angkot, dan selalu saja ada penumpang yang merokok. Ibu tahu kan kalau aku engga suka dengan bau asap rokok. Masa putri cantik Ibu dari rumah dandan habis-habisan, rambut dicatok pakai wangi-wangian, eh setibanya dikampus malah bercampur dengan bau asap rokok. Nanti kalau rambutku rusak bagaiman? Jadi aku pengen pakai kerudung ya, supaya kulitku juga engga tambah hitam kalai pakai baju tertutup terus."
Itulah alasanku, agar rambutku tidak bau asap rokok dan kulitku tidak terbakar matahari jadi aku memutuskan menutup rambutku dengan khimar yang diam-diam aku kumpulkan selama ini.
“Yasudah, terserah kamu saja, tapi awas kamu hanya boleh memakai kerudung jika ke kampus saja, selebihnya kau lepaskan kerudungmu itu !”
Ibu mengabulkan kemauanku.
Hari pertama berhijab, rasanya aneh, serasa ada sesuatu yang berlebihan dikepalaku, aku harus terus menjaganya supaya tetap rapi, kemana-mana cermin selalu aku bawa, aku takut khimarku berantakan dan aku tidak bisa merapihkannya kembali. Dikampus, apa yang aku duga ternyata tidak salah, teman-temanku justru terlihat senang dengan penampilan baruku, tak sedikit dari meraka yang memujiku, dan karena pujian dari merekalah aku semakin bersemangat untuk terus berhijab.
“Waaah, sepertinya kita kedatangan murid baru nih, kenalan yuk !” temanku melemparkan guyonan padaku.
“Ah kalian bisa saja, aku jadi malu nih.”
“Kenapa harus malu, kau terlihat cantik memakai kerudung, dan sama sekali tak terlihat kalau kau sebenarnya bukan wanita muslim.”
Seiring berjalannya waktu, hidayah itu perlahan kembali menyapaku, aku pernah mendengar bahwa jika fisik ini terhijab secara otomatis hatipun ikut terhijab dan hijab itulah yang akan mengekang kita untuk tidak berbuat buruk.
Berawal dari Ibu yang mengenalkan dan memaksaku untuk menjalin hubungan dengan seorang pria muslim. Dia adalah Amar, seorang pria dewasa, pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yang aku tahu bahwa sejak kecil pria itu adalah anak yang taat kepada orang tuanya, dan juga rajin beribadah. Tabiatnya tetap seperti itu sampai dia dewasa. Tapi meski begitu bagiku tak ada sesuatu yang istimewa yang bisa membuatku jatuh hati padanya.
Dulu, sedikitpun tak ada rasa suka, cinta apalagi sayang untuknya. Entahlah, aku tak tahu apa tujuan ibu mengenalkan pria itu untukku, bukankah Ibu menginginkan aku menikah dengan pria yang seiman. Kata Ibu, Amar pria baik, dia bijaksana, pekerja keras dan bertanggung jawab, itu yang Ibu suka darinya meskipun kita berbeda agama.
“Pokoknya aku tidak mau Bu dijodohkan, aku mau memilih pria yang sesuai dengan seleraku. Dan pria yang Ibu kenalkan itu tidak termasuk kriteria pria idamanku.”
Dulu pria idamanku adalah pria yang tinggi, besar, putih, berkepala plontos dan seorang pengabar injil. Lantas aku protes dengan keinginan Ibu.
“Coba kau jalani dulu saja apa salahnya sih, dia itu pria baik.” Ibu membujukku
“Entahlah bu, aku sama sekali tak menaruh rasa padanya. Aku sama sekali tidak menyukainya.”
"Cinta itu bisa tumbuh jika kau mau membuka hati untuknya. Coba saja dulu!"
Aku kesal, marah dan sampai merasa bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan sementara Ibu semakin gencar mendekatkan aku dengan pria itu. Hingga akhirnya aku meminta pendapat kepada sahabatku Tika, dan dia menyarankan agar aku menuruti perintah Ibuku dan membuka hati untuk pria itu. Semenjak itulah aku berusaha mencoba membuka hati ini untuk pria pilihan Ibu.
Benci jadi cinta, mungkin ini kalimat yang pas untuk mewakiliku saat itu. Dulu aku yang sangat membenci pria itu, dan justru sekarang aku sangat mengaguminya. Dan disaat rasa cinta itu sedikit demi sedikit mulai tumbuh, masalah baru muncul, Ibu berbalik menyuruhku untuk tidak dekat-dekat dengan pria itu kecuali aku bisa mengajaknya memeluk agama yang kita anut.
“Kelihatannya kau sudah mulai akrab dan dekat dengan si Amar. Apa kau sudah menjalani hubungan yang serius ?” Tanya ibu penuh penasaran
“Akupun tak tahu bu, hanya saja dia bilang, bahwa dia tidak main-main padaku dan ingin melanjutkan hubungan ini kejenjang yang lebih serius.”
“Ibu sudah tahu, Amar sudah cerita pada Ibu bahwa dia ingin menikahimu. Tapi ibu belum memberikan jawaban apapun untuknya. Ibu harap kau bisa membujuknya untuk memeluk agama kita, Ibu tidak mau dan tidak rela jika kau yang harus ikut memeluk agama Islam.”
Dan aku semakin bingung, justru ketika aku memutuskan berhijab dan membuka hatiku untuk pria itu, ada suatu getaran dihatiku.
Getaran untuk mengenal Islam. Namun apalah daya, aku tak kuasa mengutarakan inginku itu kepada Ibu. Haripun berlalu, aku semakin tidak kuat menahan sesuatu yang menarik-narik hatiku untuk terus mengenal Islam. Dan akhirnya aku memutuskan belajar Islam secara diam-diam. Aku memilih internet dan orang-orang terdekat untuk aku ajak sharing tentang Islam, hingga akhirnya aktivitasku tercium oleh Ibu.
Amarahnya semakin memuncak ketika aku memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan kewajibanku sebagai manusia baru, yaitu shalat. Semua itu berat untuk aku jalani, semenjak memutuskan berhijrah cobaan bertubi-tubi menghampiriku, aku merasa bahwa keberadaanku dirumah dianggap tidak ada, aku merasa asing dalam lingkungan keluargaku sendiri, diacuhkan dan didiamkan tanpa pernah ada satu kalimat sekedar menanyakan keadaanku. Satu tahun lamanya, sunyi itu mendekapku, sepi tanpa ada tegur sapa bahkan canda dan tawa dari Ibu.
Sebagai manusia biasa yang merasa tersakiti, aku selalu mencoba untuk terus bersabar, meyakini bahwa ujian yang diturunkan kepada manusia adalah sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Allah mengajarkan untuk mengahadapinya dengan sabar dan shalat sebagai penolong, sesuai dengan firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 286 :
"Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan yang dikerjakannya).”
Oleh karena itu aku ikhlas, meski semua mengasingkanku, dan aku memaklumi Ibu yang ketika itu menjadi sangat membenciku. Ibu mana yang mau anaknya memilih jalan yang berbeda untuk bertemu dengan Sang Pemilik Hidup.
Puncaknya ketika aku merasa kesabaranku nyaris terkikis, aku sudah tidak tahan berada dalam lingkunganku sendiri. Aku memutuskan ingin pergi dari rumah untuk belajar Islam di Pesantren. Tapi lagi-lagi keinginanku tak disetujui Ibu. Bahkan Ibu sangat marah besar, sampai mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan hatiku.
"Ibu tidak ridho kalau kamu harus masuk Pesantren, itu sama saja kau membuang kotoran dimuka Ibu."
Ibu menarik tanganku dan memasukanku ke dalam kamar, pintupun dikunci dan aku dikurung seharian.
"Ibu tidak akan membukakan pintu sebelum kau merubah pikiranmu."
Namun Allah menunjukan kuasanya, tiba-tiba keesokan harinya Ibu ada urusan mendadak dan harus pergi keluar kota. Dan aku mempunyai kesempatan untuk pergi dari rumah. Dan akhirnya aku benar-benar membulatkan tekad, aku ambil kertas dan menulis sepucuk surat untuk orangtuaku.
“Assalamu’alaikum Ayah dan Ibu, maafkan anakmu yang lancang ini. Pergi dari rumah tanpa pamit dan mencium kedua tangan Ayah dan Ibu. Ampuni aku, aku pergi dari rumah bukan untuk meninggalkan Ayah dan Ibu selamanya. Aku hanya ingin shalat dan belajar banyak tentang Islam. Ayah dan Ibu tidak perlu mengkhawatirkanku. insyaAllah aku akan baik-baik saja. Mohon do’a dan restu dari kalian. Wassalam.”
Pondok Pesantren Al-Muttaqin adalah tujuanku, yang sebelumnya memang sudah aku kunjungi. Disana aku memulai hidup baru yang jauh berbeda dari hidupku yang sebelumnya. Hidup tanpa gadget dan sosial media rasanya jendela dunia seperti tertutup untukku. Tanpa alat komunikasi aku tak pernah tahu bagaimana kabar diluar sana, bagaimana kabar orangtuaku, bagaimana kabar adik-adikku, bagaimana kabar sahabat-sahabatku, dan bagaimana kabar pria itu. Tapi lambat laun aku bisa beradaptasi dengan lingkungan baruku, aku sudah terbiasa untuk belajar semua pekerjaan yang biasa ibu rumah tangga kerjakan, aku belajar hidup mandiri dan belajar hidup sederhana.
Semua dimulai dari nol, aku belajar Islam, dari menghafalkan huruf hijaiyah, menulis dan membaca tulisan arab. Layaknya anak TK yang sedang belajar membaca dan menulis, ada rasa malu ketika melihat santri yang lain sudah sangat pandai, tapi aku buang jauh-jauh semua rasa malu itu, aku harus berusaha jangan sampai pengorbananku meninggalkan rumah menjadi sia-sia jika samasekali tak ada ilmu yang aku dapat.
Di pondok, busanaku tampak berbeda dengan mereka yang mengenakan jilbab dan menjulurkan kerudungnya sampai menutupi dada. Aku bertanya kepada salah satu santri wanita.
“Teteh, kenapa sih disini harus mengenakan jilbab atau rok dan kerudung yang besar? Emang engga menghalangi aktivitas kita ya ??
Mengingat dipondok semua pekerjaan seperti mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, mengepel, bahkan membelah-belah kayu untuk dijadikan kayu bakar, busana syar'i itu tetap dipakai.
“Iya Teteh, disini boleh kok memakai baju lengan pendek dan tanpa kerudung, tapi hanya didalam kamar tidur saja, heheheh" Ungkap salah seorang santri.
"Iya betul Teh, disini kami diajarkan untuk menjadi muslimah yang berbusana sesuai syari'at, karena sesungguhnya busana syar'i itu memuliakan wanita dan busana yang bisa menjaga diri kita dari perbuatan tidak baik. Sesuai dengan Firman Allah dalam Al-Qur'an surah Al-Ahdzaab ayat 59 :
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dan dalam surah An-Nuur ayat 31
"Hendaklah mereka ( perempuan ) melabuhkan kain tudung hingga menutupi dada-dada mereka."
Santri lain menjelaskan panjang lebar, dan "Teteh" adalah sapaan kami di Pondok, semua memanggil supaya terasa semakin akrab dan hangat.
Setelah aku tahu, akupun mulai meninggalkan khimar tipis dan pakaian ketatku, mulai belajar mengenakan jilbab dan kerudung besar yang menutupi dada. Kebetulan Pondok menyediakan khimar-kimar besar, jad aku mudah untuk mendapatkannya. Dan ternyata memang tidak seribet yang aku bayangkan, aku merasa nyaman memakainya, walaupun sedikit resah, aku takut jika berbusana seperti ini apa anggapan orang-orang terhadapku, apa mereka akan menganggap aku golongan teroris dan golongan Islam garis keras.
Hari berganti minggu dan bulan, aku mendapat kejutan. Guruku berkata seseorang ingin bertemu denganku, dengan hati penasaran aku terus bertanya-tanya siapa yang mau menemuiku, apakah orang tuaku? Ditemani kedua Guruku dan teman terdekatku di pondok, aku menemui orang itu, dan tenyata dia adalah pria yang selalu hadir dalam anganku setiap hari. Bukan cokelat, durian atau ice cream kesukaanku yang pria itu bawa, tapi pria itu membawa cinta yang tulus. Tak kusangka pria itu berani mengkhitbahku lewat Guruku dipondok. Aku pun menerima lamarannya karena Guruku bilang tidak baik menolak lamaran pria sholeh.
"Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkannya dengan wanita kalian. Bila tidak akan terjadi fitnah dimuka bumi dan kerusakan." (HR At-Tirmidz)
Perjuangan baru kembali dimulai, Guruku menyarankan agar pria itu menghadap orangtuaku untuk melamarku secara resmi, apapun hasilnya yang penting kita sudah berusaha dan tidak mendahului mereka. Aku diijinkan untuk menelpon Ayahku, sementara pria itu langsung menemui keluargaku dirumah.
Dan sudah kuduga, Ibu menolak lamaran pria itu. Sudah beberapa kali pria itu datang menemui orangtuaku untuk melamar dan meminta restu. Dua kali kami gagal melangsungkan pernikahan karena tak kunjung mendapat restu. Hari-hari berlalu, Alhamdulillah Ayah akhirnya merestui dan meski tanpa restu ibu kami melangsungkan pernikahan.
Kehidupan baru sebagai seorang istri dimulai, hidup berdua dengan suami merantau jauh dari mertua dan orang tua, alhamdulillah menjadikan kami semakin dewasa dan mandiri. Dan seiring berjalannya waktu ketika Allah menitipkan malaikat kecil dirahimku. Hingga saat usia kandungan 8 bulan, Allah kembali menunjukan kuasanya. Ibu datang menemui kami, memeluk dan menerima kami kembali, dan hubungan kami kembali seperti dulu. Terimakasih Ibu cintamu sungguh luar biasa, engkau mampu mengalahkan egomu dan menerimaku kembali dalam dekapanmu.
Terimakasih Ibu karena engkau telah mengantarkan pria baik untukku, sehingga aku berusaha memantaskan diri dengan cara mendekat dan mengenal Sang Pemilik Hati untuk bisa menjadi pasangan terbaiknya sehidup sesurga.
“Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita yang baik.” (Qs. An-Nur: 26)
Baca Juga:
- Cerpen Islami: Ternyata Tak Sesholihah Yang Kukira
- Cerpen Inspiratif: Cinta Dari Seorang Laki-laki Biasa
- Kisah Inspiratif: 17 Juta, Aku Kaya?
Kata Motivasi :
Jangan goyah, sebab Rahmat dan Kasih Sayang Allah selalu ada, kapanpun dan dimanapun bagi jiwa-jiwa yang sedang menggapai hidayah.
Oleh: Naila Azizah (Yanne Meitawati)