Markaban adalah jebolan salah satu pesantren tradisional di Jawa Timur. Sudah menjadi budaya dalam dunia pesantren bahwa santri harus menghormati kyai dengan sepenuh hati. Karena siapapun yang menjadi pandai ilmu agama itu berkat bimbingan dan didikan dari seorang kyai.
Oleh karena itu ia merasa tidak tega jika ada seorang kyai dilecehkan atau dihinakan. Sebelum kyai dihinakan, bagi Markaban, lebih baik dirinya dulu yang harus merasakannya.
Di tahun 90 an Markaban mendapat rezeki yang cukup untuk berhaji. Setelah sowan pada kyainya ia pun mantap untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini.
Suatu hari pada musim haji, seusai turun dari Masjidil Haram, saat akan pulang menuju maktabnya, ia mendapati seorang kakek tua Arab bersorban tengah menyapu di sekitar areal masjid. Markaban merasa iba dengan kakek tua Arab itu. ”Kurang ajar benar orang di sini, masak kyai disuruh nyapu . Mestinya kan dimuliakan, bukannya disuruh nyapu begini,” gumam Markaban.
Lalu, ia pun ingin segera menggantikan peran lelaki tua tersebut. Markaban berusaha mendekati kakek bersorban itu dan meraih sapu yang dipegangnya. Karena tidak mengusai bahasa Arab, Markaban langsung berusaha merebut sapu yang dipegang kakek itu sembari berkata, ”La..la..la.” Maksudnya kyai jangan menyapu biar Markaban saja yang melakukannya.
Tak disangka, kakek itu tetap mempertahankan sapu yang ada di tangannya. Begitu juga Markaban, tak mau kalah dan berusaha merebutnya. Kejadian ini pun menarik perhatian para jamaah haji yang lain, termasuk pembimbing haji di maktab Markaban.
"Ada apa ini?" kata pembimbing. "Begini pak ustadz, saya mau menggantikan tugas Pak kyai. Masak pak kyai disuruh nyapu. Tapi sapunya tak boleh saya minta," terang Markaban.
Pembimbing haji tersebut menjelaskan bahwa kakek bersorban ini bukanlah seorang kyai. "Di sini, bukan hanya kiai saja yang mengenakan sorban. Para lelaki umumnya di sini memakai sorban, termasuk tukang sapu ini," ujar pembimbing.
Oleh karena itu ia merasa tidak tega jika ada seorang kyai dilecehkan atau dihinakan. Sebelum kyai dihinakan, bagi Markaban, lebih baik dirinya dulu yang harus merasakannya.
Di tahun 90 an Markaban mendapat rezeki yang cukup untuk berhaji. Setelah sowan pada kyainya ia pun mantap untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini.
Suatu hari pada musim haji, seusai turun dari Masjidil Haram, saat akan pulang menuju maktabnya, ia mendapati seorang kakek tua Arab bersorban tengah menyapu di sekitar areal masjid. Markaban merasa iba dengan kakek tua Arab itu. ”Kurang ajar benar orang di sini, masak kyai disuruh nyapu . Mestinya kan dimuliakan, bukannya disuruh nyapu begini,” gumam Markaban.
Lalu, ia pun ingin segera menggantikan peran lelaki tua tersebut. Markaban berusaha mendekati kakek bersorban itu dan meraih sapu yang dipegangnya. Karena tidak mengusai bahasa Arab, Markaban langsung berusaha merebut sapu yang dipegang kakek itu sembari berkata, ”La..la..la.” Maksudnya kyai jangan menyapu biar Markaban saja yang melakukannya.
Tak disangka, kakek itu tetap mempertahankan sapu yang ada di tangannya. Begitu juga Markaban, tak mau kalah dan berusaha merebutnya. Kejadian ini pun menarik perhatian para jamaah haji yang lain, termasuk pembimbing haji di maktab Markaban.
"Ada apa ini?" kata pembimbing. "Begini pak ustadz, saya mau menggantikan tugas Pak kyai. Masak pak kyai disuruh nyapu. Tapi sapunya tak boleh saya minta," terang Markaban.
Pembimbing haji tersebut menjelaskan bahwa kakek bersorban ini bukanlah seorang kyai. "Di sini, bukan hanya kiai saja yang mengenakan sorban. Para lelaki umumnya di sini memakai sorban, termasuk tukang sapu ini," ujar pembimbing.