Ketua Presidium Indonesian Police Watch Neta S Pane menilai, Kota Tanjung Balai, Asahan, Sumatra Utara sebagai daerah rawan konflik. Hal ini terjadi karena kurang pedulinya jajaran aparat kepolisian terhadap isu-isu yang berkembang disana.
"Bahkan cenderung berkolusi dengan pihak tertentu dan membiarkan berkembangnya mafioso di daerahnya (Kota Tanjung Balai)," kata Neta seperti dilansir dari Republika, Sabtu (30/7).
Di Tanjung Balai, tambah Neta sudah sering terjadi konflik yang berbau SARA. Contohnya, pada 27 Mei 1998, warga keturunan Cina menjadi korban amuk massa. Sebab, selama ini warga Tanjung Balai merasa diteror tokoh mafia Abie Besok Gembok yang juga keturunan Cina.
"Abie yang dekat dengan pimpinan salah satu parpol ini bisa membuat jajaran kepolisian dan militer di kota itu bertekuk lutut. Abie bebas melakukan pungutan uang keamanan ke pertokoan, menguasai penyelundupan, mengendalikan perjudian dan pelacuran, dan jajaran kepolisian membiarkannya," ucap Neta.
Akibat pembiaran tersebut, sang mafia makin bertindak semena-mena hingga membuat rakyat Tanjung Balai geram dan mengamuk. Kerusuhan SARA pun meletus di kota itu pada 28 Mei 1998. Ratusan rumah, toko, dan mobil di kota itu dihancurkan serta dibakar warga.
"Begitu juga gedung DPRD Tanjung Balai dihancurkan warga karena sebagian oknum legislatif dianggap sebagai backing mafia. Massa juga ikut menjarah toko toko. Kerusuhan baru berakhir setelah TNI diturunkan dari berbagai kota," terang Neta.
Jauh sebelum itu, 3 Maret 1946 Tanjung Balai, Asahan juga pernah dilanda amuk massa. Puluhan orang tewas. Korbannya adalah keluarga Kesultanan Asahan dan warga keturunan Cina. Kerusuhan di Tanjung Balai kemudian menjalar tanpa kendali ke berbagai daerah di Sumatera Utara, bahkan hingga ke Tanjungpura, Langkat.
Baca Juga:
"Sejarah panjang amuk massa ini harus jadi pembelajaran Polri. Artinya, jajaran kepolisian harus memiliki kepedulian yang tinggi dan jangan membiarkan aksi mafia berkembang, sehingga warga tidak tertekan dan nekat melakukan amuk massa berbau SARA," pungkas Neta.
Aksi Pembakaran Vihara di Tanjung Balai Sumut. |
"Bahkan cenderung berkolusi dengan pihak tertentu dan membiarkan berkembangnya mafioso di daerahnya (Kota Tanjung Balai)," kata Neta seperti dilansir dari Republika, Sabtu (30/7).
Di Tanjung Balai, tambah Neta sudah sering terjadi konflik yang berbau SARA. Contohnya, pada 27 Mei 1998, warga keturunan Cina menjadi korban amuk massa. Sebab, selama ini warga Tanjung Balai merasa diteror tokoh mafia Abie Besok Gembok yang juga keturunan Cina.
"Abie yang dekat dengan pimpinan salah satu parpol ini bisa membuat jajaran kepolisian dan militer di kota itu bertekuk lutut. Abie bebas melakukan pungutan uang keamanan ke pertokoan, menguasai penyelundupan, mengendalikan perjudian dan pelacuran, dan jajaran kepolisian membiarkannya," ucap Neta.
Akibat pembiaran tersebut, sang mafia makin bertindak semena-mena hingga membuat rakyat Tanjung Balai geram dan mengamuk. Kerusuhan SARA pun meletus di kota itu pada 28 Mei 1998. Ratusan rumah, toko, dan mobil di kota itu dihancurkan serta dibakar warga.
"Begitu juga gedung DPRD Tanjung Balai dihancurkan warga karena sebagian oknum legislatif dianggap sebagai backing mafia. Massa juga ikut menjarah toko toko. Kerusuhan baru berakhir setelah TNI diturunkan dari berbagai kota," terang Neta.
Jauh sebelum itu, 3 Maret 1946 Tanjung Balai, Asahan juga pernah dilanda amuk massa. Puluhan orang tewas. Korbannya adalah keluarga Kesultanan Asahan dan warga keturunan Cina. Kerusuhan di Tanjung Balai kemudian menjalar tanpa kendali ke berbagai daerah di Sumatera Utara, bahkan hingga ke Tanjungpura, Langkat.
Baca Juga:
- Habib Rizieq: Kerusuhan Tanjung Balai Hendaknya Dijadikan Pelajaran Oleh Ahok
- Video Kerusuhan Tanjung Balai, Detik-detik Pembakaran Vihara di Tanjung Balai
- Kapolri: Tragedi Tanjung Balai Murni Karena Salah Paham, Jangan Berspekulasi!
"Sejarah panjang amuk massa ini harus jadi pembelajaran Polri. Artinya, jajaran kepolisian harus memiliki kepedulian yang tinggi dan jangan membiarkan aksi mafia berkembang, sehingga warga tidak tertekan dan nekat melakukan amuk massa berbau SARA," pungkas Neta.