Ketika ditanya para wartawan terkait perubahan namanya di akhir tahun 1960-an. Muhammad Ali tampak keheranan karena para wartawan yang ke mana dia pergi selalu menanyakan soal perubahan namanya setelah masuk Islam.
‘’Cassius Clay itu nama budak!’’ begitu jawab singkat Muhamamad Ali pada wartawan yang membuntutinya.
Meski selalu dikenal sebagai jagoan di ring tinju, Namun semenjak kecil Ali dikenal sebagai pribadi yang hangat dan menyenangkan. Dia penurut, tak pernah terlibat perkara kriminal seperti misalnya si leher beton Mike Tyson yang suka berkelahi semenjak kecil.
Ya, Muhammad Ali yang hanya merupakan anak seorang tukang cuci pakaian ini dianggap sebagai teman yang menyenangkan di sekitarnya. Kebugaran dan kekuatan fisiknya sudah ditempa semenjak kanak-kanak. Ketika teman-teman Ali berangkat ke sekolah naik bus, dia malah memilih berlari ke sekolah meski seorang diri.
“Jika kami naik bus ke sekolah, Ia (Muhammad Ali-red) malah memilih berlari ke sekolah yang jarak dari rumah sekitar enam kilometer. Anehnya, ia selalu lebih dulu sampai daripada kami yang pergi menumpang bus ke sekolah,” kenang seorang tetangga yang menjadi teman sekolah Ali, di Louisville, beberapa tahun silam.
Kolumnis senior Newark Star-Ledger, Jerry Icenberg menyatakan, Ali adalah seorang pria yang baik dan dia punya kepribadian yang menyenangkan. Dia mampu menyebarkan semangat kemanusiaan dan menjadi penerang bagi sekitarnya. “Ali seorang genuine Muslim (pribadi Muslim yang utuh),’’ tutur Icenberg.
Senada dengan Icenberg, promotor tinju kelas berat Don King juga mengatakan hal serupa.
“I love Muhammad Ali. Dia seorang legenda dan juara sejati bagi keseluruhan umat manusia. Muhammad Ali memang the Greatest sekaligus juara yang sejati,’’ kata promotor tinju kondang Don King.
Menjadi Muslim dan Perjuangkan Hak Kaum Negro
Terkait perubahan namanya dalam buku otobiografinya, Ali mengaku pilihan dirinya menjadi Muslim itu dilakukan setelah merengkuh gelar juara dunia tinju pertamanya atas Sony Liston pada tahun 1964, serta masuknya dia dalam kelompok Nation of Islam (NOI) yang kontroversial. Namun, pada buku biografi Ali yang diluncurkan pada tahun 2004, Ali mengaku sudah tidak bergabung dengan NOI, tetapi bergabung dengan jamaah Islam Sunni pada tahun 1975.
Dan memang, semenjak pertengahan 1960-an, di Amerika timbul gerakan antiperang yang melahirkan sebutan lahirnya “generasi bunga”. Generasi ini sangat menentang perang dan anti terhadap perbedaan ras.
Salah satu isu yang penting saat itu adalah soal perang Vietnam dan tersisihnya hak orang kulit hitam di Amerika. Saking kesalnya atas perlakukan rasial itu, Ali seraya berseloroh sering mengatakan kaum kulit putih di Amerika menganggap dirinya seperti seorang Tarzan, “Orang kulit putih yang hidup sendirian di dalam rimba belantara.” Selain itu, sebagai protes atas rasialisme di Amerika Serikat, Ali pun pada tahun 1960 membuang medali emas Olimpiadenya ke Sungai Ohio di Kentucky.
Sebagai puncak perlawanan atas rasialisme dan meluasnya peperangan, maka Ali pada saat itu pun menolak mengikuti wajib militer yang mengharuskannya menjadi tentara. Ia menolak karena memang tak sudi ikut berperang ke Vietnam. Ia menyatakan tak pernah punya urusan atau masalah dengan orang Vietnam. Apalagi Vietkong (tentara pengikut panglima tentara Vietnam Ho Chi Minh) tak pernah membunuh atau menyebut dirinya sebagai seorang negro.
“Tidak ada Vietcong yang menyerang saya. Tidak ada Vietkong yang pernah menelepon lalu menyebut saya dengan panggilan negro,” kata Ali.
Selain itu Ali mengatakan, “Musuhku itu orang kulit putih, bukan Vietkong, Cina, atau Jepang. Kalian kulit putih menghalangiku mendapatkan kebebasanku, menghalangiku mendapatkan keadilan. Bahkan kalian kulit putih tak mau mendukungku untuk melakukan apa yang diperintahkan agamaku, kalian malah menyuruhku pergi dan menyuruhku bertarung padahal kalian tak pernah mendukungku saat di rumah.”
Sikap menolak tetap dia pegang meski kemudian lisensi tinjunya terancam dicabut, masuk penjara, dan kehilangan gelar sebagai juara dunia. Situasi vakum bertinju ini berlangsung empat tahun dari tahun 1967-1971 atau baru berakhir ketika Mahkamah Agung AS memenangkan kasusnya.
Menjadi ‘The Greatest’ Dalam Pertarungan di Tengah Rimba Afrika
Setelah memenangi kasus hukumnya, Ali kemudian bertinju kembali. Lawan pertamanya Oscar Bonavena di Madison Square Garden pada bulan Desember 1971. Ia berhasil menang TKO di babak ke-15. Berkat kemenangan ini, Ali kini menjadi pesaing utama yang akan melawan juara dunia kelas berat yang pada saat itu dipegang Joe Frazier. Namun sayang, meski kemudian Jao Frazier berhasil dikalahkan (pada pertarungan kedua), gelar dunia keburu melayang kepada si Beruang Besar George Foreman.
Maka, promotor tinju nomor wahid dunia saat itu, Don King, kemudian mengatur pertarungan antara Ali melawan George Foreman di Kinshasa, Zaire, pada 30 Oktober 1974. Don King menamai gelanggang adu jotos ini “The Rumble in the Jungle ” (Pertarungan di Tengah Rimba).
Ali sendiri mengaku pertarungan melawan Foreman adalah salah satu pertarungan terberat (selain itu, dia mengaku pertarungan terberatnya melawan Frazier dan Ken Norton). Saat itu, Foreman adalah sosok petinju menakutkan: tinggi, besar, dan sangat kuat. Semua musuhnya dilibas dengan KO atau TKO. Frazier, misalnya, dipukul oleh Foreman dengan pukulan stright sampai kakinya melayang atau terangkat setinggi 5 cm.
Namun, meski merasa jera dengan reputasi Foreman, Ali menutupi rasa itu dengan banyak memprovokasi dengan melakukan perang urat syaraf melalui perang pernyataan. Ali pun berusaha mencari dukungan dari penduduk lokal dengan melakukan jogging keliling Kinshaha.
Di negara yang berada di tengah Benua Afrika itu tentu saja Ali dielu-elukan: “Ali Bumaye… Ali Bumaye,” begitu teriakan warga Kinshaha ketika menjumpai Ali yang tengah berlatih di pagi hari.
Dan, hasilnya luar biasa. Ali ternyata berhasil menganvaskan Foreman pada ronde ke delapan meski sebelum ronde itu dia dibombardir tinju Foreman habis-habisan. Selama itu, mulai ronde awal hingga keenam ia terus bertahan dan terus berlindung di balik double cover kedua tangannya.
Tak hanya itu, dia pun bergelantungan di tali ring (melakukan teknik bertinju rope a dope) sembari terus berteriak di telinga Foreman: “Mana pukulan terhebatmu? Apa hanya segini pukulanmu?” Foreman membalas teriakan Ali dengan terus memukul dan memukul seperti beruang besar yang mengamuk.
Teknik memukul dengan emosi dan tanpa henti ternyata membuat Foreman frustrasi dan kelelahan. Keadaan itu dimanfaatkan oleh Ali. Maka, di ronde keenam, Ali balik menyerang sembari merangkul, berlari berkeliling, dan memukul keras kepala Foreman melalui pukulan jabnya yang super dahsyat (dikatakan Ali seperti terbang bagai kupu-kupu, menyengat seperti lebah). Akhirnya, Foreman pun terjungkal secara mengenaskan. Saking sedihnya, setelah kekalahan ini, Foreman pun menyatakan diri pensiun dari ring tinju dan menjalani profesi baru sebagai pendeta.
Ali pun meraih juara dunianya yang kedua. Ali mengukuhkan diri sebagai jawara dan menyebut dirinya: “I am the Greatest!”
Muhammad Ali: Allahu Akbar (Allah Maha Besar)
Setelah mengalahkan Foreman, Ali pun kebanjiran job untuk bertanding di berbagai belahan dunia. Olahraga tinju profesional yang waktu itu seolah tak punya harga, dalam sekejap berubah menjadi olahraga bergengsi yang upahnya sangat mahal. Ali menikmati kejayaan tersebut dan baru turun dari tahtanya setelah dikalahkan petinju asal Inggris pada akhir September 1978, Leon Spink.
Namun, gelar ini tak lama kemudian direbutnya kembali. Dan baru pada 10 Februari 1980 Ali benar-benar kehilangan sabuk juara tinjunya setelah dikalahkan mantan “anak asuhnya”, Larry Holmes. Setelah itu, Ali pensiun dan malah kemudian terkena penyakit parkinson sampai dia meninggal pada Sabtu ini (4/6).
Indonesia pun sempat menyaksikan aksi Muhammad Ali melawan petinju asal Belanda, Rudi Lubbers pada 14 Oktober tahun 1973 di Jakarta. Dalam pertarungan yang dipromotori Raden Sumantri itu, mantan wartawan senior Republika, Purwadi, yang saat itu menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat sempat mewawancarai Ali yang menginap di Hotel Sahid, Jakarta. Menurut dia, Ali orang yang sangat ramah dan murah senyum.
Uniknya, pertarungan di Jakarta saat itu dipilih menjadi representasi orang Indonesia melawan kolonialisme Belanda yang dilambangkan dengan sosok Rudi Lubber. Sebanyak 45 ribu orang mendatangi Istora Senayan untuk melihat pertarungan itu meski harus membeli karcis dengan harga yang saat itu terasa cukup mahal, antara Rp 1.000 hingga Rp 27 ribu.
“Saya kaget ketika pintu kamar terbuka dan di sana ada Muhammad Ali. Orangnya tinggi besar. Dan saya pun gemetar ketika hendak memotretnya. Syukurlah dia kemudian memanggil saya dan mengajak berfoto sembari tersenyum sehingga grogi saya hilang seketika,” tutur Purwadi ketika menceritakan pertemuannya denganMuhammad Ali yang saat itu pun sempat diarak keliling Kota Jakarta.
Bahkan, tak hanya sewaktu Ali bertanding di Jakarta, bilamana ada pertandingan Ali, seluruh orang Indonesia sepertinya berada di depan televisi. Jalanan sepi. Kantor dan sekolahan “diliburkan” sejenak. Semua terbius Ali, baik ketika dia kalah maupun menang. Teriakan “Ali… Ali… Ali…” selalu terdengar dari depan televisi hitam putih sederhana. Sejenak, rakyat Indonesia melepaskan emosi dan melupakan belitan amuk kemiskinan yang sehari-hari dirasakannya.
Di masa tuanya, Ali lebih memilih untuk berkutat dengan lembaga sosial dan amal. Putrinya, Laila Ali, melanjutkan keemasan namanya dengan menjadi juara kelas berat tinju wanita.
Uniknya, beberapa tahun setelah lama gantung sarung tinju dan kemudian ditanya apakah masih menyebut dirinya sebagai the Greatest, Ali pun menjawabnya sembari tersenyum dan mengangkat tangan dengan menunjukkan jari telunjuk ke atas: “Allahu Akbar”
Dan dalam talkshow di sebuah televisi di Inggris Ali yang berbincang bersama Freizer, Foreman, menyatakan tak percaya bila dirinya yang terbesar. Dia malah menyebut Joe Freizer yang duduk di sampingnya lebih berhak menyandang sebutan itu.
Sumber: Republika Online
‘’Cassius Clay itu nama budak!’’ begitu jawab singkat Muhamamad Ali pada wartawan yang membuntutinya.
Meski selalu dikenal sebagai jagoan di ring tinju, Namun semenjak kecil Ali dikenal sebagai pribadi yang hangat dan menyenangkan. Dia penurut, tak pernah terlibat perkara kriminal seperti misalnya si leher beton Mike Tyson yang suka berkelahi semenjak kecil.
Ya, Muhammad Ali yang hanya merupakan anak seorang tukang cuci pakaian ini dianggap sebagai teman yang menyenangkan di sekitarnya. Kebugaran dan kekuatan fisiknya sudah ditempa semenjak kanak-kanak. Ketika teman-teman Ali berangkat ke sekolah naik bus, dia malah memilih berlari ke sekolah meski seorang diri.
“Jika kami naik bus ke sekolah, Ia (Muhammad Ali-red) malah memilih berlari ke sekolah yang jarak dari rumah sekitar enam kilometer. Anehnya, ia selalu lebih dulu sampai daripada kami yang pergi menumpang bus ke sekolah,” kenang seorang tetangga yang menjadi teman sekolah Ali, di Louisville, beberapa tahun silam.
Kolumnis senior Newark Star-Ledger, Jerry Icenberg menyatakan, Ali adalah seorang pria yang baik dan dia punya kepribadian yang menyenangkan. Dia mampu menyebarkan semangat kemanusiaan dan menjadi penerang bagi sekitarnya. “Ali seorang genuine Muslim (pribadi Muslim yang utuh),’’ tutur Icenberg.
Senada dengan Icenberg, promotor tinju kelas berat Don King juga mengatakan hal serupa.
“I love Muhammad Ali. Dia seorang legenda dan juara sejati bagi keseluruhan umat manusia. Muhammad Ali memang the Greatest sekaligus juara yang sejati,’’ kata promotor tinju kondang Don King.
Menjadi Muslim dan Perjuangkan Hak Kaum Negro
Terkait perubahan namanya dalam buku otobiografinya, Ali mengaku pilihan dirinya menjadi Muslim itu dilakukan setelah merengkuh gelar juara dunia tinju pertamanya atas Sony Liston pada tahun 1964, serta masuknya dia dalam kelompok Nation of Islam (NOI) yang kontroversial. Namun, pada buku biografi Ali yang diluncurkan pada tahun 2004, Ali mengaku sudah tidak bergabung dengan NOI, tetapi bergabung dengan jamaah Islam Sunni pada tahun 1975.
Dan memang, semenjak pertengahan 1960-an, di Amerika timbul gerakan antiperang yang melahirkan sebutan lahirnya “generasi bunga”. Generasi ini sangat menentang perang dan anti terhadap perbedaan ras.
Salah satu isu yang penting saat itu adalah soal perang Vietnam dan tersisihnya hak orang kulit hitam di Amerika. Saking kesalnya atas perlakukan rasial itu, Ali seraya berseloroh sering mengatakan kaum kulit putih di Amerika menganggap dirinya seperti seorang Tarzan, “Orang kulit putih yang hidup sendirian di dalam rimba belantara.” Selain itu, sebagai protes atas rasialisme di Amerika Serikat, Ali pun pada tahun 1960 membuang medali emas Olimpiadenya ke Sungai Ohio di Kentucky.
Sebagai puncak perlawanan atas rasialisme dan meluasnya peperangan, maka Ali pada saat itu pun menolak mengikuti wajib militer yang mengharuskannya menjadi tentara. Ia menolak karena memang tak sudi ikut berperang ke Vietnam. Ia menyatakan tak pernah punya urusan atau masalah dengan orang Vietnam. Apalagi Vietkong (tentara pengikut panglima tentara Vietnam Ho Chi Minh) tak pernah membunuh atau menyebut dirinya sebagai seorang negro.
“Tidak ada Vietcong yang menyerang saya. Tidak ada Vietkong yang pernah menelepon lalu menyebut saya dengan panggilan negro,” kata Ali.
Selain itu Ali mengatakan, “Musuhku itu orang kulit putih, bukan Vietkong, Cina, atau Jepang. Kalian kulit putih menghalangiku mendapatkan kebebasanku, menghalangiku mendapatkan keadilan. Bahkan kalian kulit putih tak mau mendukungku untuk melakukan apa yang diperintahkan agamaku, kalian malah menyuruhku pergi dan menyuruhku bertarung padahal kalian tak pernah mendukungku saat di rumah.”
Sikap menolak tetap dia pegang meski kemudian lisensi tinjunya terancam dicabut, masuk penjara, dan kehilangan gelar sebagai juara dunia. Situasi vakum bertinju ini berlangsung empat tahun dari tahun 1967-1971 atau baru berakhir ketika Mahkamah Agung AS memenangkan kasusnya.
Menjadi ‘The Greatest’ Dalam Pertarungan di Tengah Rimba Afrika
Setelah memenangi kasus hukumnya, Ali kemudian bertinju kembali. Lawan pertamanya Oscar Bonavena di Madison Square Garden pada bulan Desember 1971. Ia berhasil menang TKO di babak ke-15. Berkat kemenangan ini, Ali kini menjadi pesaing utama yang akan melawan juara dunia kelas berat yang pada saat itu dipegang Joe Frazier. Namun sayang, meski kemudian Jao Frazier berhasil dikalahkan (pada pertarungan kedua), gelar dunia keburu melayang kepada si Beruang Besar George Foreman.
Maka, promotor tinju nomor wahid dunia saat itu, Don King, kemudian mengatur pertarungan antara Ali melawan George Foreman di Kinshasa, Zaire, pada 30 Oktober 1974. Don King menamai gelanggang adu jotos ini “The Rumble in the Jungle ” (Pertarungan di Tengah Rimba).
Ali sendiri mengaku pertarungan melawan Foreman adalah salah satu pertarungan terberat (selain itu, dia mengaku pertarungan terberatnya melawan Frazier dan Ken Norton). Saat itu, Foreman adalah sosok petinju menakutkan: tinggi, besar, dan sangat kuat. Semua musuhnya dilibas dengan KO atau TKO. Frazier, misalnya, dipukul oleh Foreman dengan pukulan stright sampai kakinya melayang atau terangkat setinggi 5 cm.
Namun, meski merasa jera dengan reputasi Foreman, Ali menutupi rasa itu dengan banyak memprovokasi dengan melakukan perang urat syaraf melalui perang pernyataan. Ali pun berusaha mencari dukungan dari penduduk lokal dengan melakukan jogging keliling Kinshaha.
Di negara yang berada di tengah Benua Afrika itu tentu saja Ali dielu-elukan: “Ali Bumaye… Ali Bumaye,” begitu teriakan warga Kinshaha ketika menjumpai Ali yang tengah berlatih di pagi hari.
Dan, hasilnya luar biasa. Ali ternyata berhasil menganvaskan Foreman pada ronde ke delapan meski sebelum ronde itu dia dibombardir tinju Foreman habis-habisan. Selama itu, mulai ronde awal hingga keenam ia terus bertahan dan terus berlindung di balik double cover kedua tangannya.
Tak hanya itu, dia pun bergelantungan di tali ring (melakukan teknik bertinju rope a dope) sembari terus berteriak di telinga Foreman: “Mana pukulan terhebatmu? Apa hanya segini pukulanmu?” Foreman membalas teriakan Ali dengan terus memukul dan memukul seperti beruang besar yang mengamuk.
Teknik memukul dengan emosi dan tanpa henti ternyata membuat Foreman frustrasi dan kelelahan. Keadaan itu dimanfaatkan oleh Ali. Maka, di ronde keenam, Ali balik menyerang sembari merangkul, berlari berkeliling, dan memukul keras kepala Foreman melalui pukulan jabnya yang super dahsyat (dikatakan Ali seperti terbang bagai kupu-kupu, menyengat seperti lebah). Akhirnya, Foreman pun terjungkal secara mengenaskan. Saking sedihnya, setelah kekalahan ini, Foreman pun menyatakan diri pensiun dari ring tinju dan menjalani profesi baru sebagai pendeta.
Ali pun meraih juara dunianya yang kedua. Ali mengukuhkan diri sebagai jawara dan menyebut dirinya: “I am the Greatest!”
Muhammad Ali: Allahu Akbar (Allah Maha Besar)
Setelah mengalahkan Foreman, Ali pun kebanjiran job untuk bertanding di berbagai belahan dunia. Olahraga tinju profesional yang waktu itu seolah tak punya harga, dalam sekejap berubah menjadi olahraga bergengsi yang upahnya sangat mahal. Ali menikmati kejayaan tersebut dan baru turun dari tahtanya setelah dikalahkan petinju asal Inggris pada akhir September 1978, Leon Spink.
Namun, gelar ini tak lama kemudian direbutnya kembali. Dan baru pada 10 Februari 1980 Ali benar-benar kehilangan sabuk juara tinjunya setelah dikalahkan mantan “anak asuhnya”, Larry Holmes. Setelah itu, Ali pensiun dan malah kemudian terkena penyakit parkinson sampai dia meninggal pada Sabtu ini (4/6).
Indonesia pun sempat menyaksikan aksi Muhammad Ali melawan petinju asal Belanda, Rudi Lubbers pada 14 Oktober tahun 1973 di Jakarta. Dalam pertarungan yang dipromotori Raden Sumantri itu, mantan wartawan senior Republika, Purwadi, yang saat itu menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat sempat mewawancarai Ali yang menginap di Hotel Sahid, Jakarta. Menurut dia, Ali orang yang sangat ramah dan murah senyum.
Uniknya, pertarungan di Jakarta saat itu dipilih menjadi representasi orang Indonesia melawan kolonialisme Belanda yang dilambangkan dengan sosok Rudi Lubber. Sebanyak 45 ribu orang mendatangi Istora Senayan untuk melihat pertarungan itu meski harus membeli karcis dengan harga yang saat itu terasa cukup mahal, antara Rp 1.000 hingga Rp 27 ribu.
“Saya kaget ketika pintu kamar terbuka dan di sana ada Muhammad Ali. Orangnya tinggi besar. Dan saya pun gemetar ketika hendak memotretnya. Syukurlah dia kemudian memanggil saya dan mengajak berfoto sembari tersenyum sehingga grogi saya hilang seketika,” tutur Purwadi ketika menceritakan pertemuannya denganMuhammad Ali yang saat itu pun sempat diarak keliling Kota Jakarta.
Bahkan, tak hanya sewaktu Ali bertanding di Jakarta, bilamana ada pertandingan Ali, seluruh orang Indonesia sepertinya berada di depan televisi. Jalanan sepi. Kantor dan sekolahan “diliburkan” sejenak. Semua terbius Ali, baik ketika dia kalah maupun menang. Teriakan “Ali… Ali… Ali…” selalu terdengar dari depan televisi hitam putih sederhana. Sejenak, rakyat Indonesia melepaskan emosi dan melupakan belitan amuk kemiskinan yang sehari-hari dirasakannya.
Di masa tuanya, Ali lebih memilih untuk berkutat dengan lembaga sosial dan amal. Putrinya, Laila Ali, melanjutkan keemasan namanya dengan menjadi juara kelas berat tinju wanita.
Uniknya, beberapa tahun setelah lama gantung sarung tinju dan kemudian ditanya apakah masih menyebut dirinya sebagai the Greatest, Ali pun menjawabnya sembari tersenyum dan mengangkat tangan dengan menunjukkan jari telunjuk ke atas: “Allahu Akbar”
Dan dalam talkshow di sebuah televisi di Inggris Ali yang berbincang bersama Freizer, Foreman, menyatakan tak percaya bila dirinya yang terbesar. Dia malah menyebut Joe Freizer yang duduk di sampingnya lebih berhak menyandang sebutan itu.
Sumber: Republika Online