Inilah Alasan Kenapa Rasulullah Menyuruh Kita Diam │ Dalam sebuah riwayat Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah mengatakan mengenai pentingnya diam ketika tak mampu berbicara dengan benar.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata benar atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari Muslim)
Hadist tersebut merupakan sebuah pedoman umat islam dalam hidup bersosialisasi. Tak salah jika keterangan Rasulullah ini harus dipraktekkan setiap hari. Meskipun hadist tersebut sangatlah singkat, akan tetapi keutamaannya dalam membina masyarakat sangatlah besar.
Beberapa poin yang penting dalam hadist tersebut adalah keharusan menjaga lisan, berbuat baik kepada tetangga dan memuliakan tamu. Poin yang pertama menjadi bahan renungan untuk kita semua bagaimana Rasul menganjurkan umat islam untuk diam daripada berkata yang tidak benar. Menurut Imam Al Jalil Abu Muhammad bin Abi Zaid, itulah satu dari empat etika kebaikan yang paling utama dalam islam.
Penjelasan mengenai mengapa harus diam jika tidak mampu berkata benar pun telah diungkapkan oleh Imam Syafii.
“Hadist ini bermakna apabila seseorang hendak bicara, maka berpikirlah terlebih dulu. Apabila telah jelas bahwa ucapannya akan membawa kemaslahatan, maka berbicaralah. Dan apabila telah jelas bahwa ucapannya akan membawa kemudharatan atau ia ragu bahaya dan tidaknya, maka diamlah.”
Diam memang merupakan sikap yang netral dan menjadi penunjuk apakah seseorang tersebut memiliki keutamaan ataukah kebodohan. Sikap itupun akan menunjukkan apakah perbuatannya mengarah pada yang halal ataukah yang haram. Namun pada intinya sikap tersebut dipengaruhi oleh kondisi yang dialami. Dengan begitu sikap diam terbagi menjadi diamnya orang yang berilmu, diamnya orang yang memang pendiam dan diamnya orang yang bodoh.
Diamnya orang shaleh merupakan sikap dimana ia tahu bahwa dengan diamnya tersebut akan banyak kebaikan yang didapat. Sama seperti sebuah kisah yang diceritakan oleh Anas bin Malik. Ketika dalam peperangan Uhud, ia melihat seorang pemuda yang tengah mengikatkan sebuah batu pada perutnya dikarenakan rasa lapar yang begitu menghinggap.
Ibunya pun mengusap debu dari wajahnya dan berkata, “Semoga surga menyambutmu, wahai anakku.” Rasulullah kemudian berkata, “Tidakkah engkau mengetahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tidak ingin berbicara yang tidak perlu atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya.”
Sementara dalam riwayat yang lain Rasulullah bersabda, “Kalau engkau temukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah.”
Baca Juga:
Demikianlah bagaimana diamnya seorang yang berilmu akan melahirkan kebijaksanaan dan kebaikan yang banyak dari Allah. Ia begitu paham akan kondisi yang tengah ia alami sehingga diam menjadi solusi yang terbaik.
Wallahu A’lam
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata benar atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari Muslim)
Hadist tersebut merupakan sebuah pedoman umat islam dalam hidup bersosialisasi. Tak salah jika keterangan Rasulullah ini harus dipraktekkan setiap hari. Meskipun hadist tersebut sangatlah singkat, akan tetapi keutamaannya dalam membina masyarakat sangatlah besar.
Beberapa poin yang penting dalam hadist tersebut adalah keharusan menjaga lisan, berbuat baik kepada tetangga dan memuliakan tamu. Poin yang pertama menjadi bahan renungan untuk kita semua bagaimana Rasul menganjurkan umat islam untuk diam daripada berkata yang tidak benar. Menurut Imam Al Jalil Abu Muhammad bin Abi Zaid, itulah satu dari empat etika kebaikan yang paling utama dalam islam.
Penjelasan mengenai mengapa harus diam jika tidak mampu berkata benar pun telah diungkapkan oleh Imam Syafii.
“Hadist ini bermakna apabila seseorang hendak bicara, maka berpikirlah terlebih dulu. Apabila telah jelas bahwa ucapannya akan membawa kemaslahatan, maka berbicaralah. Dan apabila telah jelas bahwa ucapannya akan membawa kemudharatan atau ia ragu bahaya dan tidaknya, maka diamlah.”
Diam memang merupakan sikap yang netral dan menjadi penunjuk apakah seseorang tersebut memiliki keutamaan ataukah kebodohan. Sikap itupun akan menunjukkan apakah perbuatannya mengarah pada yang halal ataukah yang haram. Namun pada intinya sikap tersebut dipengaruhi oleh kondisi yang dialami. Dengan begitu sikap diam terbagi menjadi diamnya orang yang berilmu, diamnya orang yang memang pendiam dan diamnya orang yang bodoh.
Diamnya orang shaleh merupakan sikap dimana ia tahu bahwa dengan diamnya tersebut akan banyak kebaikan yang didapat. Sama seperti sebuah kisah yang diceritakan oleh Anas bin Malik. Ketika dalam peperangan Uhud, ia melihat seorang pemuda yang tengah mengikatkan sebuah batu pada perutnya dikarenakan rasa lapar yang begitu menghinggap.
Ibunya pun mengusap debu dari wajahnya dan berkata, “Semoga surga menyambutmu, wahai anakku.” Rasulullah kemudian berkata, “Tidakkah engkau mengetahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tidak ingin berbicara yang tidak perlu atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya.”
Sementara dalam riwayat yang lain Rasulullah bersabda, “Kalau engkau temukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah.”
Baca Juga:
- Inilah Penyebab Kerasnya Hati Yang Mesti Kita Hindari
- Hati-Hati! Lidah Ternyata Bisa Menjadi Pangkal Bencana
- Pentingnya Qoulan Sadiidaa Untuk Anak Kita
Demikianlah bagaimana diamnya seorang yang berilmu akan melahirkan kebijaksanaan dan kebaikan yang banyak dari Allah. Ia begitu paham akan kondisi yang tengah ia alami sehingga diam menjadi solusi yang terbaik.
Wallahu A’lam