Mendambakan Suami Romantis, Versi Siapa? │ Alkisah ada seorang istri yang suka sekali berselancar di dunia maya. Teman-teman dunia mayanya begitu banyak dan berasal dari berbagai kalangan, mulai dari orang biasa-biasa saja hingga orang-orang yang sering meramaikan berandanya dengan artikel-artikel motivasi dan nasihat keagamaan. Ia pun rajin membaca postingan-postingan artikel itu kemudian dipraktekkan semampunya.
Suatu hari muncul di layar Facebooknya postingan mengenai ‘Ciri-ciri suami Romantis’. Menurut artikel tersebut ciri suami romantis diantaranya adalah tak lupa mengucapkan ‘sayang’ pada istri, mencium kening istri ketika hendak pergi, memuji masakan yang disuguhkan, memuji dandanan istri, terkadang pulang dengan membawa kejutan hadiah dan seterusnya. Dibacanya artikel itu hingga tuntas, tak lupa ia pun ikut share artikel tersebut pada teman-temannya biar ibu-ibu yang lain pada tahu seperti apa suami romantis itu.
Tak selang berapa lama, ada seorang temannya yang berkomentar di privat message: “Jeng, makasih share-nya yah. Emmhh... kalau suamiku jauh banget dari ciri-ciri tersebut. Gimana dengan suami jeng sendiri?”
“Suamiku sama aja, tak satu pun ciri-ciri suami romantis ada di dirinya”. Balasnya.
“Wahh, kalau gitu nasib kita sama yah, hiks, hiks”. Balas temannya
“Ya mau gimana lagi, jeng. Moso kita ganti suami, he”. Tulisnya
“Iya sih, tapi gimana kalau kita share juga artikel ini di akun Facebook suami kita masing-masing. Biar dia baca. Siapa tahu setelah membacanya dia nyadar kalau selama ini dia gak romantis”. Saran temannya.
“Wah ide bagus tuh. Okehh setuju”. Balasnya girang.
Dengan cepat ia share juga artikel tersebut di akun suaminya. Ia berharap suaminya bisa menjadi seperti apa yang ditulis. Sudah sholeh, romantis pula. Namun selang satu dan dua hari, suaminya tak menunjukkan perubahan. Apa suaminya belum membaca artikel yang ia share yah? Pikirnya.
Akhirnya ia tanyakan juga hal itu. “Pah, papah sudah baca belum artikel kemarin lusa yang mamah share ke akun papah?”
“Yang mana?” Balas suaminya
“Yang ciri-ciri suami romantis”. Timpal istrinya
“Sudah tuh” Jawab suaminya, dingin.
“Lalu....?” Tanya istrinya yang semakin greget karena suaminya gak ‘ngeh’, gak peka. Jika sudah di baca lalu kenapa gak ada perubahan di diri papah, batinnya.
“Lalu apa?” Tanya suaminya, sambil beranjak pergi.
Selang beberapa menit, ada postingan masuk ke beranda Facebook sang istri. Ternyata itu adalah artikel yang di-share sang suami. Di sana gamblang dibahas ciri-ciri istri shalehah yang sayang suami. Rupanya sang suami membalas sang istri yang kalau diartikan dengan kata-kata mungkin begini: “Mamah ingin papah jadi suami romantis? Memangnya mamah sudah jadi istri sholehah yang sayang suami?”
***
Saudariku muslimah yang sudah berstatus sebagai seorang istri. Kadang kita menuntut lebih dari orang lain tanpa berkaca dulu akan apa yang telah kita berikan. Kita ingin menerima namun enggan memberi, begitu pun terhadap suami, orang terdekat kita. Kita menuntut suami harus begini dan begitu, harus menjadi sosok yang romantis seromantis mungkin. Kita banyak mengeluh tentang kekurangan suami, malah ada yang terbersit untuk ganti suami. Padahal kita tidak sadar kalau kita pun banyak kekurangan dan jauh dari kata istri ideal.
Dari contoh kasus di atas, sebenarnya sang istri sudah salah mendefinisikan arti kata romantis. Dia sudah terlalu merujuk pada artikel yang dibuat orang tentang arti kata romantis. Padahal romantis itu adalah kata sifat yang definisinya relatif bagi satu orang dan orang lainnya.
Cobalah renungkan kembali berjuta kebaikan suami yang selama ini dilakukannya.
Dia mampu menahan amarah ketika melihat seisi rumah berantakan bak kapal pecah, malah turut membantu sedikit membereskannya. Bukankah itu romantis? Dia memang tak pernah memuji kecantikan kita, namun dia tak pernah pula macam-macam dengan perempuan lain di luar sana. Bukankah itu romantis? Bukan seikat bunga yang dibawanya pulang, namun sekresek gorengan panas untuk keluarganya di tengah rinai hujan sore hari. Bukankah itu juga romantis?
Jadi berhentilah berharap suami kita harus begini dan begitu. Berhentilah membandingkannya dengan siapa pun. Syukuri kelebihan dan kekurangan suami. Janganlah menuntut kesempurnaan, namun saling melengkapilah kekurangan masing-masing. Jika demikian maka rumah tangga bahagia, sakinah, mawadah warohmah bukan lagi sekedar cita-cita, namun akan berubah nyata.
Wallahu A’lam
Suatu hari muncul di layar Facebooknya postingan mengenai ‘Ciri-ciri suami Romantis’. Menurut artikel tersebut ciri suami romantis diantaranya adalah tak lupa mengucapkan ‘sayang’ pada istri, mencium kening istri ketika hendak pergi, memuji masakan yang disuguhkan, memuji dandanan istri, terkadang pulang dengan membawa kejutan hadiah dan seterusnya. Dibacanya artikel itu hingga tuntas, tak lupa ia pun ikut share artikel tersebut pada teman-temannya biar ibu-ibu yang lain pada tahu seperti apa suami romantis itu.
Tak selang berapa lama, ada seorang temannya yang berkomentar di privat message: “Jeng, makasih share-nya yah. Emmhh... kalau suamiku jauh banget dari ciri-ciri tersebut. Gimana dengan suami jeng sendiri?”
“Suamiku sama aja, tak satu pun ciri-ciri suami romantis ada di dirinya”. Balasnya.
“Wahh, kalau gitu nasib kita sama yah, hiks, hiks”. Balas temannya
“Ya mau gimana lagi, jeng. Moso kita ganti suami, he”. Tulisnya
“Iya sih, tapi gimana kalau kita share juga artikel ini di akun Facebook suami kita masing-masing. Biar dia baca. Siapa tahu setelah membacanya dia nyadar kalau selama ini dia gak romantis”. Saran temannya.
“Wah ide bagus tuh. Okehh setuju”. Balasnya girang.
Dengan cepat ia share juga artikel tersebut di akun suaminya. Ia berharap suaminya bisa menjadi seperti apa yang ditulis. Sudah sholeh, romantis pula. Namun selang satu dan dua hari, suaminya tak menunjukkan perubahan. Apa suaminya belum membaca artikel yang ia share yah? Pikirnya.
Akhirnya ia tanyakan juga hal itu. “Pah, papah sudah baca belum artikel kemarin lusa yang mamah share ke akun papah?”
“Yang mana?” Balas suaminya
“Yang ciri-ciri suami romantis”. Timpal istrinya
“Sudah tuh” Jawab suaminya, dingin.
“Lalu....?” Tanya istrinya yang semakin greget karena suaminya gak ‘ngeh’, gak peka. Jika sudah di baca lalu kenapa gak ada perubahan di diri papah, batinnya.
“Lalu apa?” Tanya suaminya, sambil beranjak pergi.
Selang beberapa menit, ada postingan masuk ke beranda Facebook sang istri. Ternyata itu adalah artikel yang di-share sang suami. Di sana gamblang dibahas ciri-ciri istri shalehah yang sayang suami. Rupanya sang suami membalas sang istri yang kalau diartikan dengan kata-kata mungkin begini: “Mamah ingin papah jadi suami romantis? Memangnya mamah sudah jadi istri sholehah yang sayang suami?”
***
Saudariku muslimah yang sudah berstatus sebagai seorang istri. Kadang kita menuntut lebih dari orang lain tanpa berkaca dulu akan apa yang telah kita berikan. Kita ingin menerima namun enggan memberi, begitu pun terhadap suami, orang terdekat kita. Kita menuntut suami harus begini dan begitu, harus menjadi sosok yang romantis seromantis mungkin. Kita banyak mengeluh tentang kekurangan suami, malah ada yang terbersit untuk ganti suami. Padahal kita tidak sadar kalau kita pun banyak kekurangan dan jauh dari kata istri ideal.
Dari contoh kasus di atas, sebenarnya sang istri sudah salah mendefinisikan arti kata romantis. Dia sudah terlalu merujuk pada artikel yang dibuat orang tentang arti kata romantis. Padahal romantis itu adalah kata sifat yang definisinya relatif bagi satu orang dan orang lainnya.
Cobalah renungkan kembali berjuta kebaikan suami yang selama ini dilakukannya.
Dia mampu menahan amarah ketika melihat seisi rumah berantakan bak kapal pecah, malah turut membantu sedikit membereskannya. Bukankah itu romantis? Dia memang tak pernah memuji kecantikan kita, namun dia tak pernah pula macam-macam dengan perempuan lain di luar sana. Bukankah itu romantis? Bukan seikat bunga yang dibawanya pulang, namun sekresek gorengan panas untuk keluarganya di tengah rinai hujan sore hari. Bukankah itu juga romantis?
Jadi berhentilah berharap suami kita harus begini dan begitu. Berhentilah membandingkannya dengan siapa pun. Syukuri kelebihan dan kekurangan suami. Janganlah menuntut kesempurnaan, namun saling melengkapilah kekurangan masing-masing. Jika demikian maka rumah tangga bahagia, sakinah, mawadah warohmah bukan lagi sekedar cita-cita, namun akan berubah nyata.
Wallahu A’lam