Memangnya Harus Menjadi Orang Yang Sempurna Dahulu Baru Boleh Menasehati Orang Lain?
Tak hanya di dunia nyata, di dunia maya pun begitu banyak ucapan yang seakan mengharuskan seseorang sempurna dahulu sebelum menasehati orang lain. Contohnya seperti ucapan, “Sok suci lu, urus aja diri lu sendiri, gak usah ngurusin orang lain.”
Benarkah Islam mengajarkan agar seseorang harus sempurna dahulu?
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ‘Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)
Pelajaran yang terdapat dalam hadist Nabi tersebut menerangkan bahwa:
1. Memerangi kebatilan ataupun kemungkaran merupakan kewajiban setiap umat islam sesuai dengan kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.
2. Apabila kita ridho terhadap sebuah kemaksiatan berarti masuk dalam dosa yang besar.
3. Diperlukan kesabaran dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
4. Beramal merupakan buah keimanan dan menghilangkan kemungkaran pun buah dari keimanan.
5. Ingkar secara hati wajib bagi seluruh umat islam dan ingkar secara lisan ataupun tangan terhadap kemaksiatan didasarkan kepada kemampuan.
Hasan Al Bashri menjelaskan hadist tersebut dalam suatu perkataan: “Seekor unta dibunuh oleh satu orang, tetapi Allah akan menyiksa semua kaum yang ada di sana karena mereka membiarkan kemaksiatan terjadi di depan mereka.”
Lantas bagaimanakah sikap yang seharusnya?
Setiap manusia hendaknya saling menasehati satu sama lain dan tidak perlu menunggu menjadi manusia yang sempurna dahulu. Jika harus menjadi sempurna, maka tidak akan ada orang yang memberikan nasehat di dunia ini.
Manusia memang menjadi tempat salah dan dosa. Maka ketika melihat teman salah, tegurlah dengan baik dan sembunyi-sembunyi dari hadapan manusia lain agar ia tidak merasa dipermalukan. Jika aturan ini dilanggar, maka teman yang diberi nasehat tidak akan menerima dan semakin bangkit rasa keangkuhannya. Nasehat semacam itu justru seperti membongkar aib orang lain dan sekaligus merendahkannya. Para ulama pun amat membenci cara menasehati dengan merendah-rendahkan orang di hadapan yang lain.
Sementara jika kita yang berbuat salah dan dinasehati oleh orang lain, maka jangan segera naik darah dan menyalahkan orang yang menasehati. Segera intropeksi dan berterima kasihlah karena telah mengingatkan. Karena dengan menasehati, berarti ia telah peduli kepada kita. Bukankah teman sejati adalah teman yang tidak akan membiarkan sahabatnya terjerumus dalam kemaksiatan? Bukankah teman sejati adalah mereka yang selalu mengajak kita untuk memperbaiki kesalahan kita?
Pesan yang sangat bijak disampaikan oleh Hasan Al Bashri berkaitan dengan saling menasehati.
“Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasehati kalian dan bukan berarti aku orang yang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih diantara kalian. Sungguh aku pun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabbnya.
Andaikata seorang muslim tidak memberi nasehat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasehat.” (Mawaizh Lilimam Al Hasan Al Bashri)
Baca Juga: 3 Kesalahan Mubaligh Dalam BerdakwahSehingga kesimpulannya adalah kita tidak perlu menunggu sempurna untuk bisa menasehati orang lain. Namun adab dalam menasehati pun harus disadari seperti berkata dengan baik dan tidak menasehati dalam keramaian orang.
Wallahu A’lam