Ini Jawaban Mengapa Allah Menyebut DiriNya ‘Kami’ Dalam Al Qur’an │ Di dalam Al Qur’an sering kita melihat terjemahan kata yang menunjuk kepada Allah namun menggunakan kata “Kami”. Sehingga banyak umat muslim yang awam menjadi kebingungan akan keesaan Allah dan dengan mudahnya dihasut oleh kaum lain yang terus berusaha memberikan doktrin bahwa Tuhan itu banyak.
Ketahuilah bahwa Al Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa arab sehingga secara kaidah pun tidak boleh dipahami dengan cara bahasa kita. Hal ini tentu akan menimbulkan pemaknaan yang berbeda.
Sebagai contoh kata “Fitnah” secara bahasa Indonesia memiliki arti dusta. Sementara arti kata “Fitnah” menurut bahasa dalam Al Qur’an adalah bentuk ujian yang mampu menggoyahkan keimanan. Sehingga sangat salah jika seseorang yang hendak membantah tuduhan dusta dengan mengutip ayat, “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.” (QS Al Baqarah 191).
Penggunaan dalil tersebut tidak pada tempatnya karena para ulama sepakat bahwa ayat tersebut menunjukkan kekufuran dan tidak ada kaitannya sedikit pun dengan fitnah dalam arti dusta.
Dalam bahasa arab, kata “Kami” tidak selalu menunjukkan kata ganti orang pertama dalam bentuk jamak atau banyak. Kata “Kami” bisa juga digunakan sebagai kata untuk mengagungkan (ta’dzim) orang yang tengah berbicara.
Menurut Syaikhul Islam, Allah menyebut dirinya dengan makna tunggal, baik dengan kata ganti tunggal ataupun langsung menyebutkan namaNya. Namun terkadang juga menyebutnya dalam bentuk jamak dan tetap bermakna tunggal seperti dalam ayat berikut:
“Sesungguhnya Kami akan memberikan kemenangan yang nyata bagimu.” (QS Al Fath 1)
Ayat tersebut tidak menunjukkan makna jamak, melainkan mengandung makna pengagungan atau ta’dzim. Sementara jika menunjukkan makna ganda, maka akan menunjukkan suatu bilangan tertentu dan Allah Maha Suci dari sangkaan makhlukNya akan pembatasan bilangan tersebut.
Jika masih merasa bingung, cobalah tengok makna “Kami” dalam pidato bentuk bahasa Indonesia.
“Kami selaku RT”, “Kami selaku ketua dewan masjid”, dan “Kami selaku Lurah” tidak menunjukkan bahwa RT, Ketua dewan masjid ataupun Lurah itu banyak karena posisi tersebut hanya ditempati oleh satu orang saja.
Penggunaan kata “Kami” justru menjadi salah satu bentuk kerendahan hati dan tidak menonjolkan diri sendiri. Sehingga akan lebih enak ketika menyebut, “Kami selalu Lurah” daripada, “Aku selaku Lurah”.
Lantas bagaimana memaknai kata “Kami” yang ditujukan kepada Allah?
Bagi kita yang awam supaya memperkuat keimanan, akan lebih baik jika menafsirkan kata “Kami” dengan kata “Allah” saja sehingga akal pikiran kita tidak mengaitkannya dengan pemaknaan secara bahasa Indonesia yang menunjukkan arti banyak/ jamak.
Wallahu A’lam
Ketahuilah bahwa Al Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa arab sehingga secara kaidah pun tidak boleh dipahami dengan cara bahasa kita. Hal ini tentu akan menimbulkan pemaknaan yang berbeda.
Sebagai contoh kata “Fitnah” secara bahasa Indonesia memiliki arti dusta. Sementara arti kata “Fitnah” menurut bahasa dalam Al Qur’an adalah bentuk ujian yang mampu menggoyahkan keimanan. Sehingga sangat salah jika seseorang yang hendak membantah tuduhan dusta dengan mengutip ayat, “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.” (QS Al Baqarah 191).
Penggunaan dalil tersebut tidak pada tempatnya karena para ulama sepakat bahwa ayat tersebut menunjukkan kekufuran dan tidak ada kaitannya sedikit pun dengan fitnah dalam arti dusta.
Dalam bahasa arab, kata “Kami” tidak selalu menunjukkan kata ganti orang pertama dalam bentuk jamak atau banyak. Kata “Kami” bisa juga digunakan sebagai kata untuk mengagungkan (ta’dzim) orang yang tengah berbicara.
Menurut Syaikhul Islam, Allah menyebut dirinya dengan makna tunggal, baik dengan kata ganti tunggal ataupun langsung menyebutkan namaNya. Namun terkadang juga menyebutnya dalam bentuk jamak dan tetap bermakna tunggal seperti dalam ayat berikut:
“Sesungguhnya Kami akan memberikan kemenangan yang nyata bagimu.” (QS Al Fath 1)
Ayat tersebut tidak menunjukkan makna jamak, melainkan mengandung makna pengagungan atau ta’dzim. Sementara jika menunjukkan makna ganda, maka akan menunjukkan suatu bilangan tertentu dan Allah Maha Suci dari sangkaan makhlukNya akan pembatasan bilangan tersebut.
Jika masih merasa bingung, cobalah tengok makna “Kami” dalam pidato bentuk bahasa Indonesia.
“Kami selaku RT”, “Kami selaku ketua dewan masjid”, dan “Kami selaku Lurah” tidak menunjukkan bahwa RT, Ketua dewan masjid ataupun Lurah itu banyak karena posisi tersebut hanya ditempati oleh satu orang saja.
Penggunaan kata “Kami” justru menjadi salah satu bentuk kerendahan hati dan tidak menonjolkan diri sendiri. Sehingga akan lebih enak ketika menyebut, “Kami selalu Lurah” daripada, “Aku selaku Lurah”.
Lantas bagaimana memaknai kata “Kami” yang ditujukan kepada Allah?
Bagi kita yang awam supaya memperkuat keimanan, akan lebih baik jika menafsirkan kata “Kami” dengan kata “Allah” saja sehingga akal pikiran kita tidak mengaitkannya dengan pemaknaan secara bahasa Indonesia yang menunjukkan arti banyak/ jamak.
Wallahu A’lam