KabarMakkah.Com - Ada pelajaran penting yang bisa kita ambil dari mesranya hubungan antara palu, kaca dan baja. Palu sering mengunjungi dan menyapa baja, sedangkan terhadap kaca, ia hanya menyapa sesekali saja. Sebuah sapaan mesra berupa benturan dan hantaman yang dibalas berbeda oleh keduanya.
Sekali palu datang menyapa kaca, reaksi kaca begitu mengejutkan. Ia hancur berkeping-keping menjadi bagian-bagian kecil yang sulit disatukan kembali. Bahkan serpihan-serpihan kaca itu bisa melukai orang lain yang lewat melaluinya. Padahal sapaan palu tidaklah begitu keras, ia menyapa dengan kekuatan yang lemah saja.
Lain halnya ketika palu menyapa baja, dia menyapa dengan hantaman yang begitu kuat. Bahkan hantamannya terjadi berulang kali, terus menerus silih berganti. Awalnya baja mengalami penyok di beberapa bagian, namun ia tidak hancur. Malah akhirnya baja itu terbentuk indah menjadi barang yang lebih berguna bagi orang-orang di sekitarnya.
Akhirnya palu menghancurkan kaca tapi palu membentuk baja.
***
Subhanallah, jika kita mau meluangkan waktu sejenak memperhatikan, ada pelajaran tersembunyi dari peristiwa ini. Palu ibarat masalah yang datang dalam kehidupan, sedangkan kaca dan baja ibarat jiwa yang tersandung dan terbentur masalah tersebut.
Jika jiwa kita rapuh laksana kaca, maka ketika masalah menghantam, kita akan mudah putus asa, kecewa, frustasi, marah, remuk redam, bahkan berkeluh kesah mempersalahkan takdir. Dan memang begitulah sifat kebanyakan manusia, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah. Dan apabila dia mendapat kebaikan (harta), dia amat kikir”.(QS. Al Ma’aarij: 19-21)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa masalah yang menimpa diri manusia itu ada dua jenis. Yang pertama adalah kesulitan dan yang kedua adalah kebaikan. Dan umumnya kebanyakan manusia tidak sadar bahwa kebaikan yang dianugerahkan Tuhan padanya adalah merupakan ujian pula. Hingga banyak manusia yang tidak lulus dalam menghadapi kedua ujian itu. Manusia berkeluh kesah ketika kesulitan melanda, dan amat kikir ketika kebaikan menimpa.
Itulah jiwa laksana kaca, ia amat rapuh dalam menghadapi masalah. Ia pun amat rentan terhadap benturan. Ia akan mudah tersinggung, marah, sakit hati dan kecewa terhadap orang lain. Maka benturan sedikit saja, sudah cukup untuk menghancurkan hubungannya dengan orang lain.
Jika terjadi sedikit benturan saja dalam hubungannya dengan orang tua, ia langsung memutuskan untuk tidak mengakui mereka lagi.
Jika terjadi sedikit benturan saja dalam hubungannya dengan anak, ia langsung mengumpat habis-habisan bahkan mendo’akan keburukan agar menimpa buah hatinya.
Jika terjadi sedikit benturan saja dalam hubungannya dengan istri, lisannya langsung berucap talak yang mengakhiri mahligai rumah tangga.
Dan jika terjadi sedikit benturan saja dalam hubungannya dengan kaum kerabat dan para sahabat, ia langsung memutuskan untuk tidak menemui mereka lagi.
Padahal manusia adalah makhluk sosial yang tak bisa menghabiskan hidupnya sendirian saja. Ia perlu menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Maka jika jiwanya rapuh laksana kaca, akhirnya ia sendiri yang akan dilanda kerugian yang membinasakan. Bahkan kebinasaan itu bisa ia tularkan pada orang-orang di sekitarnya.
Maka janganlah berjiwa kaca, jadilah berjiwa baja. Jiwa baja adalah jiwanya orang-orang yang beriman. Ia akan selalu sabar sembari berikhtiar sekuat kemampuan dalam menghadapi himpitan kesulitan. Ia pun akan senantiasa bersyukur ketika kebaikan berupa nikmat-nikmat Tuhan dianugerahkan di sisinya.
Maka sungguh beruntunglah orang-orang beriman, orang-orang yang bermental dan berjiwa baja. Ia akan berpikir positif dan menganggap bahwa masalah adalah suatu proses pendewasaan dalam hidup yang akan membentuknya menjadi lebih baik.
Setiap pukulan palu yang datang menghantam memang menyakitkan, namun ia sadar bahwa hal itu baik bagi dirinya. Ia akan melihat palu sebagai sahabat bukan musuh yang akan menghancurkan. Hingga akhirnya ia terbentuk menjadi pribadi yang tangguh, yang bermanfaat bukan hanya bagi diri pribadi namun bermanfaat bagi orang lain pula.
Hingga masalah demi masalah yang datang tak pernah dihadapinya dengan keluh kesah, namun dihadapinya dengan senyum penuh tawakal. Toh dunia dan segala isinya hanyalah senda gurau dan permainan semata. Jika ia bisa lolos ujian hidup di dunia, ia yakin ada ganjaran berupa kenikmatan yang kekal abadi kelak di akhirat sana.
Maka bagaimanakah sikap kita dalam menghadapi masalah, apakah seperti hubungan palu dengan kaca atau laksana palu dengan baja?
Sekali palu datang menyapa kaca, reaksi kaca begitu mengejutkan. Ia hancur berkeping-keping menjadi bagian-bagian kecil yang sulit disatukan kembali. Bahkan serpihan-serpihan kaca itu bisa melukai orang lain yang lewat melaluinya. Padahal sapaan palu tidaklah begitu keras, ia menyapa dengan kekuatan yang lemah saja.
Lain halnya ketika palu menyapa baja, dia menyapa dengan hantaman yang begitu kuat. Bahkan hantamannya terjadi berulang kali, terus menerus silih berganti. Awalnya baja mengalami penyok di beberapa bagian, namun ia tidak hancur. Malah akhirnya baja itu terbentuk indah menjadi barang yang lebih berguna bagi orang-orang di sekitarnya.
Akhirnya palu menghancurkan kaca tapi palu membentuk baja.
***
Subhanallah, jika kita mau meluangkan waktu sejenak memperhatikan, ada pelajaran tersembunyi dari peristiwa ini. Palu ibarat masalah yang datang dalam kehidupan, sedangkan kaca dan baja ibarat jiwa yang tersandung dan terbentur masalah tersebut.
Jika jiwa kita rapuh laksana kaca, maka ketika masalah menghantam, kita akan mudah putus asa, kecewa, frustasi, marah, remuk redam, bahkan berkeluh kesah mempersalahkan takdir. Dan memang begitulah sifat kebanyakan manusia, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah. Dan apabila dia mendapat kebaikan (harta), dia amat kikir”.(QS. Al Ma’aarij: 19-21)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa masalah yang menimpa diri manusia itu ada dua jenis. Yang pertama adalah kesulitan dan yang kedua adalah kebaikan. Dan umumnya kebanyakan manusia tidak sadar bahwa kebaikan yang dianugerahkan Tuhan padanya adalah merupakan ujian pula. Hingga banyak manusia yang tidak lulus dalam menghadapi kedua ujian itu. Manusia berkeluh kesah ketika kesulitan melanda, dan amat kikir ketika kebaikan menimpa.
Itulah jiwa laksana kaca, ia amat rapuh dalam menghadapi masalah. Ia pun amat rentan terhadap benturan. Ia akan mudah tersinggung, marah, sakit hati dan kecewa terhadap orang lain. Maka benturan sedikit saja, sudah cukup untuk menghancurkan hubungannya dengan orang lain.
Jika terjadi sedikit benturan saja dalam hubungannya dengan orang tua, ia langsung memutuskan untuk tidak mengakui mereka lagi.
Jika terjadi sedikit benturan saja dalam hubungannya dengan anak, ia langsung mengumpat habis-habisan bahkan mendo’akan keburukan agar menimpa buah hatinya.
Jika terjadi sedikit benturan saja dalam hubungannya dengan istri, lisannya langsung berucap talak yang mengakhiri mahligai rumah tangga.
Dan jika terjadi sedikit benturan saja dalam hubungannya dengan kaum kerabat dan para sahabat, ia langsung memutuskan untuk tidak menemui mereka lagi.
Padahal manusia adalah makhluk sosial yang tak bisa menghabiskan hidupnya sendirian saja. Ia perlu menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Maka jika jiwanya rapuh laksana kaca, akhirnya ia sendiri yang akan dilanda kerugian yang membinasakan. Bahkan kebinasaan itu bisa ia tularkan pada orang-orang di sekitarnya.
Maka janganlah berjiwa kaca, jadilah berjiwa baja. Jiwa baja adalah jiwanya orang-orang yang beriman. Ia akan selalu sabar sembari berikhtiar sekuat kemampuan dalam menghadapi himpitan kesulitan. Ia pun akan senantiasa bersyukur ketika kebaikan berupa nikmat-nikmat Tuhan dianugerahkan di sisinya.
Maka sungguh beruntunglah orang-orang beriman, orang-orang yang bermental dan berjiwa baja. Ia akan berpikir positif dan menganggap bahwa masalah adalah suatu proses pendewasaan dalam hidup yang akan membentuknya menjadi lebih baik.
Setiap pukulan palu yang datang menghantam memang menyakitkan, namun ia sadar bahwa hal itu baik bagi dirinya. Ia akan melihat palu sebagai sahabat bukan musuh yang akan menghancurkan. Hingga akhirnya ia terbentuk menjadi pribadi yang tangguh, yang bermanfaat bukan hanya bagi diri pribadi namun bermanfaat bagi orang lain pula.
Hingga masalah demi masalah yang datang tak pernah dihadapinya dengan keluh kesah, namun dihadapinya dengan senyum penuh tawakal. Toh dunia dan segala isinya hanyalah senda gurau dan permainan semata. Jika ia bisa lolos ujian hidup di dunia, ia yakin ada ganjaran berupa kenikmatan yang kekal abadi kelak di akhirat sana.
Maka bagaimanakah sikap kita dalam menghadapi masalah, apakah seperti hubungan palu dengan kaca atau laksana palu dengan baja?