KabarMakkah.Com – Dalam menjelaskan tentang golongan manusia di hari akhir, Imam Al Ghazali Rahimahullah membaginya menjadi dua golongan. Mereka adalah golongan yang beruntung dan golongan yang celaka. Penjelasan yang disampaikan oleh Imam Al Ghazali ini tercantum dalam kitabnya yang banyak dikenal kaum muslimin, Ihya ‘Ulumuddin dalam bab Adab Al Kasb.
Seseorang yang termasuk dalam golongan manusia yang beruntung, menurut Imam Al Ghazali adalah orang yang mati dan mati pula dosanya atau telah hapus dosanya. Mereka ini adalah orang yang senantiasa melakukan amal shalih dan selalu memanjatkan taubat kepada Allah. Itulah orang yang akan kembali pada fitrahnya semula, fitrah yang menjadikan dirinya bisa bebas dari dosa. Karena sesungguhnya manusia di dunia ini akan senantiasa tak mampu lepas dari yang namanya dosa dan salah.
Taubat yang terus dikerjakan setiap hari sepanjang hidup akan menjadikan ampunan Allah menghampirinya. Sebuah ampunan yang menjadi bentuk kasih sayangNya dan menghantarkan seorang hamba menuju surga yang abadi. Surga yang kekal dan penuh dengan kenikmatan sehingga siapapun yang masuk ke dalamnya akan merasakan kebahagiaan yang amat sangat.
Berbanding terbalik dengan orang yang celaka. Merekalah yang mati namun dosanya tidaklah mati. Ia tidak sempat melakukan taubatan nasuha dan justru mewariskan dosa yang diperbuatnya kepada generasi sesudahnya.
Imam Al Ghazali bertutur dalam Ihya Ulumuddin, “Celakalah seseorang yang mati dan dosanya terus menyertai sampai seratus tahun, dua ratus tahun atau lebih di alam kubur. Sehingga dia harus menerima siksa kubur dan terus ditanya oleh malaikat sampai semua dosanya terbalaskan.”
Seperti inilah golongan yang telah Allah sebut dalam Al Quranul Karim
“Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (QS Yaa Siin 12)
Dari firman Allah tersebut, dijelaskan dalam beberapa tafsir bahwa sesungguhnya Allah mencatat setiap apa yang dikerjakan oleh manusia dan semua jejak yang ia tinggalkan. Sebuah jejak keburukan yang menjadi warisan dan dilakukan oleh generasi sesudah kepergiannya.
Sungguh sebuah kecelakaan bagi dirinya. Ia harus menanggung tambahan dosa karena telah meninggalkan jejak keburukan dan diikuti oleh manusia yang masih hidup. Alangkah sesalnya karena ia tidak bisa menghapus semua itu sebelum dirinya tak mungkin lagi kembali ke dunia.
Imam Al Ghazali memberikan contoh seseorang yang termasuk dalam golongan yang celaka ini. Mereka diantaranya adalah penguasa atau hakim yang membuat hukum atau undang-undang yang justru menjadi lawan dari hukum Allah dan Rasulullah. Selain itu golongan ini diisi oleh para penulis yang menuangkan ide keburukan dan merusak moral masyarakat, orang yang menyeru kepada keburukan, seorang pengarang lagu yang menuliskan lirik dan syair yang mengundang syahwat laki-laki menjadi bangkit serta segala perbuatan yang meskipun pelakunya meninggal, namun dosanya tetap tumbuh dan menjalar.
Coba kita diam dan sejenak merenungkan apakah kita termasuk dalam salah satunya? Sudahkah kita bertaubat untuk bisa segera menghapus dosa tersebut? Sudahkah pula kita mengiringi dengan berbagai kebaikan dan menjadi jejak yang bisa diikuti oleh orang lain? Atau justru sebaliknya dimana kita meninggalkan jejak keburukan yang menambah dosa?
Segeralah bertaubat dan segeralah kembali kepada kasih sayang Allah yang akan menyelamatkan kita tak hanya di akhirat, namun di dunia pun sudah bisa dirasakan.
Wallahu A’lam
Seseorang yang termasuk dalam golongan manusia yang beruntung, menurut Imam Al Ghazali adalah orang yang mati dan mati pula dosanya atau telah hapus dosanya. Mereka ini adalah orang yang senantiasa melakukan amal shalih dan selalu memanjatkan taubat kepada Allah. Itulah orang yang akan kembali pada fitrahnya semula, fitrah yang menjadikan dirinya bisa bebas dari dosa. Karena sesungguhnya manusia di dunia ini akan senantiasa tak mampu lepas dari yang namanya dosa dan salah.
Taubat yang terus dikerjakan setiap hari sepanjang hidup akan menjadikan ampunan Allah menghampirinya. Sebuah ampunan yang menjadi bentuk kasih sayangNya dan menghantarkan seorang hamba menuju surga yang abadi. Surga yang kekal dan penuh dengan kenikmatan sehingga siapapun yang masuk ke dalamnya akan merasakan kebahagiaan yang amat sangat.
Berbanding terbalik dengan orang yang celaka. Merekalah yang mati namun dosanya tidaklah mati. Ia tidak sempat melakukan taubatan nasuha dan justru mewariskan dosa yang diperbuatnya kepada generasi sesudahnya.
Imam Al Ghazali bertutur dalam Ihya Ulumuddin, “Celakalah seseorang yang mati dan dosanya terus menyertai sampai seratus tahun, dua ratus tahun atau lebih di alam kubur. Sehingga dia harus menerima siksa kubur dan terus ditanya oleh malaikat sampai semua dosanya terbalaskan.”
Seperti inilah golongan yang telah Allah sebut dalam Al Quranul Karim
“Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (QS Yaa Siin 12)
Dari firman Allah tersebut, dijelaskan dalam beberapa tafsir bahwa sesungguhnya Allah mencatat setiap apa yang dikerjakan oleh manusia dan semua jejak yang ia tinggalkan. Sebuah jejak keburukan yang menjadi warisan dan dilakukan oleh generasi sesudah kepergiannya.
Sungguh sebuah kecelakaan bagi dirinya. Ia harus menanggung tambahan dosa karena telah meninggalkan jejak keburukan dan diikuti oleh manusia yang masih hidup. Alangkah sesalnya karena ia tidak bisa menghapus semua itu sebelum dirinya tak mungkin lagi kembali ke dunia.
Imam Al Ghazali memberikan contoh seseorang yang termasuk dalam golongan yang celaka ini. Mereka diantaranya adalah penguasa atau hakim yang membuat hukum atau undang-undang yang justru menjadi lawan dari hukum Allah dan Rasulullah. Selain itu golongan ini diisi oleh para penulis yang menuangkan ide keburukan dan merusak moral masyarakat, orang yang menyeru kepada keburukan, seorang pengarang lagu yang menuliskan lirik dan syair yang mengundang syahwat laki-laki menjadi bangkit serta segala perbuatan yang meskipun pelakunya meninggal, namun dosanya tetap tumbuh dan menjalar.
Coba kita diam dan sejenak merenungkan apakah kita termasuk dalam salah satunya? Sudahkah kita bertaubat untuk bisa segera menghapus dosa tersebut? Sudahkah pula kita mengiringi dengan berbagai kebaikan dan menjadi jejak yang bisa diikuti oleh orang lain? Atau justru sebaliknya dimana kita meninggalkan jejak keburukan yang menambah dosa?
Segeralah bertaubat dan segeralah kembali kepada kasih sayang Allah yang akan menyelamatkan kita tak hanya di akhirat, namun di dunia pun sudah bisa dirasakan.
Wallahu A’lam