Orang Kaya Tidak Naik Haji, Matinya Jadi Golongan Kafir │ Dalam kehidupan ini, Allah telah menetapkan apakah seseorang itu kaya ataukah miskin. Kedua-duanya merupakan ujian Allah kepada manusia apakah nanti ia akan bersyukur atau justru menjadi kufur. Akan tetapi banyak orang terlalaikan karena kekayaan sehingga tidak sedikit dari mereka yang menunda ibadah seperti haji, meski telah mampu.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Al Imran 97)
Ketika menjelaskan atau menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir mengutip perkataan dari sahabat Umar bin Khattab yang mengucapkan, “Siapa yang mampu haji dan dia tidak berangkat haji, sama saja, dia mau mati yahudi atau mati nasrani.”
Selain itu perkataan Umar bin Khattab juga berasal dari riwayat Said bin Manshur dari Hasan Al Basri. Khalifah yang kedua tersebut mengatakan, “Saya bertekad untuk mengutus beberapa orang ke berbagai penjuru negeri ini, untuk memeriksa siapa diantara mereka yang memiliki harta, namun dia tidak berhaji, kemudian mereka diwjibkan membayar fidyah. Mereka bukan bagian dari kaum muslimin.. mereka bukan bagian dari kaum muslimin.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Bagaimana jika orang kaya tersebut telah meninggal dan tidak mewasiatkan untuk menghajikan? Apakah boleh dihajikan oleh orang lain dengan biaya dari warisan si mayit?
Dalam perihal orang yang dihajikan oleh orang lain karena telah meninggal, maka itu adalah diperbolehkan dan diterima amalannya. Meskipun si mayit selama hidup tidak memberikan wasiat.
Dalam Ar Raudh al Murbi, Al Buhuti mengatakan,
“Apabila ada orang yang wajib haji atau umrah meninggal dunia, maka diambil harta warisannya (untuk badal haji), baik dia berwasiat maupun tidak berwasiat. Sang badal melakukan haji dan umrah sesuai keadaan orang yang meninggal. Karena pelaksanaan qadha itu sama dengan pelaksanaan ibadah pada waktunya.” (Ar Raudh al Murbi)
Dalam keterangan tersebut tertulis, “Sang badal melakukan haji dan umrah sesuai keadaan orang yang meninggal.”Penjelasan ini mengarah kepada miqat (tempat pemberangkatan) si mayit dan para ulama tidak mempermasalahkan apakah miqat keberangkatan haji sang badal sama dengan si mayit ataukah berbeda. Yang jelas penekanan pembadalan ini adalah pelaksanan hajinya, bukan berdasarkan pemberangkatannya.
Oleh karena itu bagi orang yang telah dititipkan harta melimpah dari Allah, segeralah melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun terakhir bagi seorang muslim. Dengan begitu kematiannya tidak menjadi kematian seorang yang kafir.
Wallahu A’lam
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Al Imran 97)
Ketika menjelaskan atau menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir mengutip perkataan dari sahabat Umar bin Khattab yang mengucapkan, “Siapa yang mampu haji dan dia tidak berangkat haji, sama saja, dia mau mati yahudi atau mati nasrani.”
Selain itu perkataan Umar bin Khattab juga berasal dari riwayat Said bin Manshur dari Hasan Al Basri. Khalifah yang kedua tersebut mengatakan, “Saya bertekad untuk mengutus beberapa orang ke berbagai penjuru negeri ini, untuk memeriksa siapa diantara mereka yang memiliki harta, namun dia tidak berhaji, kemudian mereka diwjibkan membayar fidyah. Mereka bukan bagian dari kaum muslimin.. mereka bukan bagian dari kaum muslimin.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Bagaimana jika orang kaya tersebut telah meninggal dan tidak mewasiatkan untuk menghajikan? Apakah boleh dihajikan oleh orang lain dengan biaya dari warisan si mayit?
Dalam perihal orang yang dihajikan oleh orang lain karena telah meninggal, maka itu adalah diperbolehkan dan diterima amalannya. Meskipun si mayit selama hidup tidak memberikan wasiat.
Dalam Ar Raudh al Murbi, Al Buhuti mengatakan,
“Apabila ada orang yang wajib haji atau umrah meninggal dunia, maka diambil harta warisannya (untuk badal haji), baik dia berwasiat maupun tidak berwasiat. Sang badal melakukan haji dan umrah sesuai keadaan orang yang meninggal. Karena pelaksanaan qadha itu sama dengan pelaksanaan ibadah pada waktunya.” (Ar Raudh al Murbi)
Dalam keterangan tersebut tertulis, “Sang badal melakukan haji dan umrah sesuai keadaan orang yang meninggal.”Penjelasan ini mengarah kepada miqat (tempat pemberangkatan) si mayit dan para ulama tidak mempermasalahkan apakah miqat keberangkatan haji sang badal sama dengan si mayit ataukah berbeda. Yang jelas penekanan pembadalan ini adalah pelaksanan hajinya, bukan berdasarkan pemberangkatannya.
Oleh karena itu bagi orang yang telah dititipkan harta melimpah dari Allah, segeralah melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun terakhir bagi seorang muslim. Dengan begitu kematiannya tidak menjadi kematian seorang yang kafir.
Wallahu A’lam