KabarMakkah.Com – Banyak pembantu saat ini yang acuh tak acuh terhadap majikannya. Bahkan mereka tidak sedikit pun berpikiran untuk bisa memberikan yang terbaik bagi sang majikan. Jauh berbeda dengan kisah sahabat Rasul bernama Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu dimana ia memiliki seorang pembantu tua yang setiap harinya menggembalakan unta-untanya.
Abu Dzar merupakan sosok yang wara’ terhadap kehidupan. Ia juga termasuk orang yang sangat membenci siapa saja yang suka menyimpan harta atau menyembunyikannya.
Suatu hari Khalifah Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu menyuruh Abu Dzar untuk hijrah ke Rabazah yang merupakan sebuah perkampungan kecil. Dengan penuh kesiapan, ia pun berangkat dengan sang pembantu yang sudah tua beserta dengan unta-untanya.
Ketika dalam perjalanan, seorang Bani Sulaim mengajukan permohonan agar dirinya bisa ikut bersama dengan Abu Dzar. Ia ingin mendalami ilmu yang ada pada Abu Dzar berserta belajar agama darinya. Ia pun siap untuk membantu pendamping Abu Dzar yang telah tua renta.
Abu Dzar kemudian berkata, “Aku tidak mengnginkan seseorang tinggal bersamaku apabila tidak menuruti segala kehendakku, tetapi sekiranya kamu menyetujui dan melakukan apa yang aku suruh, maka aku akan izinkan engkau tinggal bersamaku. Sebaliknya jika engkau tidak mau menuruti dan melaksanakan perintahku, maka aku tidak dapat menerimamu.”
Orang dari Bani Sulaim itu kemudian bertanya, “Bagaimana caranya saya menjalankan kehendak-kehendakmu itu?”
Abu Dzar kemudian berkata, “Apabila aku menyuruhmu untuk membelanjakan harta bendaku, maka hendaknya engkau membelanjakan yang terbaik dari hartaku itu.”
Akhirnya orang tersebut bersedia dan tinggal bersama Abu Dzar sembari mengurus unta-unta Abu Dzar bersama dengan seorang yang telah tua.
Suatu ketika datang seseorang yang mengabarkan bahwa di suatu tempat dekat mata air, berkumpul orang miskin yang telah kehabisan bekal. Abu Dzar kemudian menyuruh sang pembantu dari Bani Sulaim itu untuk mengambil unta terbaik sebagai sedekah bagi orang miskin. Karena ketaatannya, ia pun segera melaksanakan perintah dari Abu Dzar.
Setelah memilih unta yang terbaik, ia kemudian berpikir bahwa unta itu terlalu bagus jika hanya untuk disembelih. Ia juga berpikir bahwa unta ini lebih cocok menjadi tunggangan Abu Dzar beserta keluarga. Maka ia pun menggantinya dengan yang lebih rendah sedikit karena sepertinya sama saja kualitasnya dari segi kelezatan dagingnya. Ia lantas mendatangi Abu Dzar dengan membawa unta tersebut.
Namun ternyata Abu Dzar mengetahui hal itu dan menyalahkannya.
“Engkau telah mengkhianati janjimu dulu.”
Seketika itu pembantu dari Bani Sulaim tersebut langsung mengerti apa yang diucapkan oleh Abu Dzar dan segera menggantinya dengan unta yang pertama dan bagus tadi.
Abu Dzar kemudian menyuruh orang-orang agar menyembelih dan membagikannya kepada masyarakat miskin tersebut. Ia juga meminta bagian sedikit dari sembelihan itu. Sesaat kemudian ia lantas memanggil pembantunya tadi dan mempertanyakan kenapa telah berkhianat.
Sang pembantu menjawab, “Sungguh saya tidak sedikit pun melupakan perintah tuan. Tetapi saya berpendapat bahwa unta itu lebih baik dipelihara untuk angkutan dan saya lakukan itu demi kepentingan tuan.”
Abu Dzar kemudian menyuruh sang pembantu untuk mendekat dan menceritakan apa yang sebenarnya ia perlukan yaitu dimana ia ada dalam kesendirian di alam kubur. Abu Dzar kemudian mengucapkan firman Allah.
“Kamu tidak sekali-kali sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum engkau menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu nafkahkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS Ali Imran 92)
Dengan firman Allah tersebut, maka Abu Dzar lebih memilih menghantarkan dahulu harta bendanya yang dapat menyelamatkan dan membahagiakan dirinya di akhirat kelak.
***
Hikmah yang bisa kita ambil dari kisah tersebut adalah sebuah kerugian bagi seseorang yang kikir di jalan Allah dan menumpuk-numpuk harta hingga maut menjemput karena hartanya tersebut hanya akan menjadi bahan rebutan bagi ahli warisnya.
Sangat jarang terjadi seorang ahli waris yang mau membelanjakan harta tersebut di jalan Allah dan dihadiahkan bagi arwah si pemilik harta.
Rasulullah bersabda, “Setiap manusia akan mencintai harta kekayaan mereka di dunia yang fana ini sehingga ada di antara mereka yang bercita-cita dan berangan-angan ingin memilikinya sampai akhir hayat sehingga hati mereka selalu meneriakkan, “Hartaku.. Hartaku.” Sebaliknya hanya sedikit saja dari harta kekayaannya itu yang telah mereka belanjakan baik untuk makanan, pakaian ataupun dibelanjakan di jalan Allah untuk simpanan di hari kemudian. Apa yang ditinggalkan bersamanya adalah harta benda yang dimiliki orang lain, sedangkan ia hanya sebagai penjaganya saja.”
Sehingga sudah selayaknya bagi kita untuk menafkahkan harta yang kita cintai karena itulah yang nanti menjadi milik kita sesungguhnya di akhirat.
Wallahu A’lam
Abu Dzar merupakan sosok yang wara’ terhadap kehidupan. Ia juga termasuk orang yang sangat membenci siapa saja yang suka menyimpan harta atau menyembunyikannya.
Suatu hari Khalifah Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu menyuruh Abu Dzar untuk hijrah ke Rabazah yang merupakan sebuah perkampungan kecil. Dengan penuh kesiapan, ia pun berangkat dengan sang pembantu yang sudah tua beserta dengan unta-untanya.
Ketika dalam perjalanan, seorang Bani Sulaim mengajukan permohonan agar dirinya bisa ikut bersama dengan Abu Dzar. Ia ingin mendalami ilmu yang ada pada Abu Dzar berserta belajar agama darinya. Ia pun siap untuk membantu pendamping Abu Dzar yang telah tua renta.
Abu Dzar kemudian berkata, “Aku tidak mengnginkan seseorang tinggal bersamaku apabila tidak menuruti segala kehendakku, tetapi sekiranya kamu menyetujui dan melakukan apa yang aku suruh, maka aku akan izinkan engkau tinggal bersamaku. Sebaliknya jika engkau tidak mau menuruti dan melaksanakan perintahku, maka aku tidak dapat menerimamu.”
Orang dari Bani Sulaim itu kemudian bertanya, “Bagaimana caranya saya menjalankan kehendak-kehendakmu itu?”
Abu Dzar kemudian berkata, “Apabila aku menyuruhmu untuk membelanjakan harta bendaku, maka hendaknya engkau membelanjakan yang terbaik dari hartaku itu.”
Akhirnya orang tersebut bersedia dan tinggal bersama Abu Dzar sembari mengurus unta-unta Abu Dzar bersama dengan seorang yang telah tua.
Suatu ketika datang seseorang yang mengabarkan bahwa di suatu tempat dekat mata air, berkumpul orang miskin yang telah kehabisan bekal. Abu Dzar kemudian menyuruh sang pembantu dari Bani Sulaim itu untuk mengambil unta terbaik sebagai sedekah bagi orang miskin. Karena ketaatannya, ia pun segera melaksanakan perintah dari Abu Dzar.
Setelah memilih unta yang terbaik, ia kemudian berpikir bahwa unta itu terlalu bagus jika hanya untuk disembelih. Ia juga berpikir bahwa unta ini lebih cocok menjadi tunggangan Abu Dzar beserta keluarga. Maka ia pun menggantinya dengan yang lebih rendah sedikit karena sepertinya sama saja kualitasnya dari segi kelezatan dagingnya. Ia lantas mendatangi Abu Dzar dengan membawa unta tersebut.
Namun ternyata Abu Dzar mengetahui hal itu dan menyalahkannya.
“Engkau telah mengkhianati janjimu dulu.”
Seketika itu pembantu dari Bani Sulaim tersebut langsung mengerti apa yang diucapkan oleh Abu Dzar dan segera menggantinya dengan unta yang pertama dan bagus tadi.
Abu Dzar kemudian menyuruh orang-orang agar menyembelih dan membagikannya kepada masyarakat miskin tersebut. Ia juga meminta bagian sedikit dari sembelihan itu. Sesaat kemudian ia lantas memanggil pembantunya tadi dan mempertanyakan kenapa telah berkhianat.
Sang pembantu menjawab, “Sungguh saya tidak sedikit pun melupakan perintah tuan. Tetapi saya berpendapat bahwa unta itu lebih baik dipelihara untuk angkutan dan saya lakukan itu demi kepentingan tuan.”
Abu Dzar kemudian menyuruh sang pembantu untuk mendekat dan menceritakan apa yang sebenarnya ia perlukan yaitu dimana ia ada dalam kesendirian di alam kubur. Abu Dzar kemudian mengucapkan firman Allah.
“Kamu tidak sekali-kali sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum engkau menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu nafkahkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS Ali Imran 92)
Dengan firman Allah tersebut, maka Abu Dzar lebih memilih menghantarkan dahulu harta bendanya yang dapat menyelamatkan dan membahagiakan dirinya di akhirat kelak.
***
Hikmah yang bisa kita ambil dari kisah tersebut adalah sebuah kerugian bagi seseorang yang kikir di jalan Allah dan menumpuk-numpuk harta hingga maut menjemput karena hartanya tersebut hanya akan menjadi bahan rebutan bagi ahli warisnya.
Sangat jarang terjadi seorang ahli waris yang mau membelanjakan harta tersebut di jalan Allah dan dihadiahkan bagi arwah si pemilik harta.
Rasulullah bersabda, “Setiap manusia akan mencintai harta kekayaan mereka di dunia yang fana ini sehingga ada di antara mereka yang bercita-cita dan berangan-angan ingin memilikinya sampai akhir hayat sehingga hati mereka selalu meneriakkan, “Hartaku.. Hartaku.” Sebaliknya hanya sedikit saja dari harta kekayaannya itu yang telah mereka belanjakan baik untuk makanan, pakaian ataupun dibelanjakan di jalan Allah untuk simpanan di hari kemudian. Apa yang ditinggalkan bersamanya adalah harta benda yang dimiliki orang lain, sedangkan ia hanya sebagai penjaganya saja.”
Sehingga sudah selayaknya bagi kita untuk menafkahkan harta yang kita cintai karena itulah yang nanti menjadi milik kita sesungguhnya di akhirat.
Wallahu A’lam