KabarMakkah.Com - Alkisah, ada seorang lelaki yang berjalan tak tentu arah dengan langkah penuh putus asa. Kondisi keuangan keluarganya tengah morat-marit hingga pagi itu ia sengaja keluar dari rumah dengan harapan bisa membawa pulang sesuatu. Ia terus melangkah walaupun ia tak tahu hendak menuju kemana atau hendak minta tolong pada siapa.
Langkahnya terhenti ketika kakinya terantuk sesuatu saat ia tengah menyusuri jalanan sepi. Ia membungkuk dan menggerutu kecewa: “Uh.... rupanya sebuah koin kuno yang sudah penyok”.
Namun dikantonginya juga koin itu di saku celananya yang kusut. Iseng dibenaknya timbul ide untuk menjual koin tersebut, siapa tahu laku. Maka dibawanya koin itu ke pasar yang cukup jauh dari rumahnya. Di sana ditawarkannya koin itu pada orang-orang yang ditemuinya.
Beruntung, setelah cukup lama ia berusaha menawarkan koin itu, akhirnya ia bertemu dengan kolektor uang kuno. Koin penyok itu dihargai sebanyak 30 dirham. Betapa senang perasaan lelaki itu, akhirnya ia bisa membawa pulang uang bagi anak dan istrinya.
Dalam perjalanan pulang, ia melewati toko perkakas dan dilihatnya beberapa lembar kayu yang diobral dengan setengah harga. Teringat ia akan keinginan istrinya untuk membuat rak pakaian. Maka dibelinya beberapa lembar kayu dengan harga 20 dirham. Dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.
Di tengah perjalanan dia melewati bengkel pembuat meubel. Mata pemilik bengkel meubel berbinar-binar melihat jenis kayu yang dipanggul lelaki itu. Rupanya jenis kayu itu adalah jenis kayu yang selama ini dicari pemilik bengkel untuk kebutuhan produksinya. Pemilik bengkel pun menghentikan langkah kaki lelaki itu dan menawarkan sebuah lemari seharga 100 dirham untuk ditukar dengan kayu tersebut.
Lelaki itu dengan senang hati menerima tawaran pemilik bengkel meubel. Ini artinya ia tidak perlu susah payah membuatkan istrinya rak pakaian. Istrinya akan senang dengan lemari seharga 100 dirham yang ia bawa. Setelah terjadi kesepakatan, dia meminjam gerobak untuk membawa lemari tersebut.
Dia kembali melanjutkan perjalanannya dengan memotong jalan melewati kompleks perumahan. Namun lagi-lagi ada yang menghentikan langkahnya. Kali ini ada seorang wanita yang jatuh hati melihat lemari yang ia bawa. Wanita itu menawar lemari tersebut dengan harga 200 dirham. Lelaki itu sesaat ragu karena mengingat istrinya yang juga membutuhkan lemari tersebut.
Melihat keraguan si lelaki, wanita itu menaikkan harga tawarannya menjai 250 dirham. Akhirnya lelaki itu setuju karena berpikir ia dapat membelikan istrinya lemari lain esok hari dan masih akan memperoleh uang sisa yang cukup banyak.
Ia pun pulang dengan mengantongi uang sebanyak 260 dirham. 250 dirham dari uang hasil penjualan lemari dan yang 10 dirham dari uang sisa penukaran koin penyok. Ketika sampai di pintu desa, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang tadi dengan maksud ingin memastikan jumlahnya.
Namun tiba-tiba datang seorang perampok yang mengancamnya untuk menyerahkan seluruh uang dengan mengacungkan belati ke arahnya. Dalam hitungan detik saja, uang itu sudah berpindah tangan dan dibawa kabur oleh si perampok.
Istri si lelaki yang kebetulan melihat peristiwa itu tergopoh-gopoh menghampirinya dan bertanya:“Ada apa suamiku? Apa yang terjadi? Apakah engkau baik-baik saja? Apa yang diambil perampok tadi?”
Sejenak lelaki itu terdiam karena kaget dengan peristiwa perampokan yang dialaminya barusan. Namun setelah istrinya bertanya untuk yang kedua kali, lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata: “Oh tidak apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi”.
***
Itulah hidup, harta benda dunia bisa datang dan pergi begitu saja. Jika kita sadar bahwa semuanya hanya titipan Allah dan kita tak pernah punya apa-apa, lalu mengapa kita begitu tenggelam dalam kesedihan yang berlebihan ketika harta itu pergi? Mengapa kita tenggelam dalam kesusahan yang begitu mendalam ketika harta itu tak kunjung datang?
Syukurilah apa yang kita miliki dan relakan harta yang telah pergi. Harta itu datang dan pergi silih berganti sedangkan yang haqiqi menjadi milik kita adalah harta yang kita nikmati yang tak lebih dari selembar pakaian dan sepiring nasi. Harta yang abadi adalah harta yang kita belanjakan di jalan illahi.
Wallahu A’lam
Langkahnya terhenti ketika kakinya terantuk sesuatu saat ia tengah menyusuri jalanan sepi. Ia membungkuk dan menggerutu kecewa: “Uh.... rupanya sebuah koin kuno yang sudah penyok”.
Namun dikantonginya juga koin itu di saku celananya yang kusut. Iseng dibenaknya timbul ide untuk menjual koin tersebut, siapa tahu laku. Maka dibawanya koin itu ke pasar yang cukup jauh dari rumahnya. Di sana ditawarkannya koin itu pada orang-orang yang ditemuinya.
Beruntung, setelah cukup lama ia berusaha menawarkan koin itu, akhirnya ia bertemu dengan kolektor uang kuno. Koin penyok itu dihargai sebanyak 30 dirham. Betapa senang perasaan lelaki itu, akhirnya ia bisa membawa pulang uang bagi anak dan istrinya.
Dalam perjalanan pulang, ia melewati toko perkakas dan dilihatnya beberapa lembar kayu yang diobral dengan setengah harga. Teringat ia akan keinginan istrinya untuk membuat rak pakaian. Maka dibelinya beberapa lembar kayu dengan harga 20 dirham. Dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.
Di tengah perjalanan dia melewati bengkel pembuat meubel. Mata pemilik bengkel meubel berbinar-binar melihat jenis kayu yang dipanggul lelaki itu. Rupanya jenis kayu itu adalah jenis kayu yang selama ini dicari pemilik bengkel untuk kebutuhan produksinya. Pemilik bengkel pun menghentikan langkah kaki lelaki itu dan menawarkan sebuah lemari seharga 100 dirham untuk ditukar dengan kayu tersebut.
Lelaki itu dengan senang hati menerima tawaran pemilik bengkel meubel. Ini artinya ia tidak perlu susah payah membuatkan istrinya rak pakaian. Istrinya akan senang dengan lemari seharga 100 dirham yang ia bawa. Setelah terjadi kesepakatan, dia meminjam gerobak untuk membawa lemari tersebut.
Dia kembali melanjutkan perjalanannya dengan memotong jalan melewati kompleks perumahan. Namun lagi-lagi ada yang menghentikan langkahnya. Kali ini ada seorang wanita yang jatuh hati melihat lemari yang ia bawa. Wanita itu menawar lemari tersebut dengan harga 200 dirham. Lelaki itu sesaat ragu karena mengingat istrinya yang juga membutuhkan lemari tersebut.
Melihat keraguan si lelaki, wanita itu menaikkan harga tawarannya menjai 250 dirham. Akhirnya lelaki itu setuju karena berpikir ia dapat membelikan istrinya lemari lain esok hari dan masih akan memperoleh uang sisa yang cukup banyak.
Ia pun pulang dengan mengantongi uang sebanyak 260 dirham. 250 dirham dari uang hasil penjualan lemari dan yang 10 dirham dari uang sisa penukaran koin penyok. Ketika sampai di pintu desa, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang tadi dengan maksud ingin memastikan jumlahnya.
Namun tiba-tiba datang seorang perampok yang mengancamnya untuk menyerahkan seluruh uang dengan mengacungkan belati ke arahnya. Dalam hitungan detik saja, uang itu sudah berpindah tangan dan dibawa kabur oleh si perampok.
Istri si lelaki yang kebetulan melihat peristiwa itu tergopoh-gopoh menghampirinya dan bertanya:“Ada apa suamiku? Apa yang terjadi? Apakah engkau baik-baik saja? Apa yang diambil perampok tadi?”
Sejenak lelaki itu terdiam karena kaget dengan peristiwa perampokan yang dialaminya barusan. Namun setelah istrinya bertanya untuk yang kedua kali, lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata: “Oh tidak apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi”.
***
Itulah hidup, harta benda dunia bisa datang dan pergi begitu saja. Jika kita sadar bahwa semuanya hanya titipan Allah dan kita tak pernah punya apa-apa, lalu mengapa kita begitu tenggelam dalam kesedihan yang berlebihan ketika harta itu pergi? Mengapa kita tenggelam dalam kesusahan yang begitu mendalam ketika harta itu tak kunjung datang?
Syukurilah apa yang kita miliki dan relakan harta yang telah pergi. Harta itu datang dan pergi silih berganti sedangkan yang haqiqi menjadi milik kita adalah harta yang kita nikmati yang tak lebih dari selembar pakaian dan sepiring nasi. Harta yang abadi adalah harta yang kita belanjakan di jalan illahi.
Wallahu A’lam