KabarMakkah.Com - Tidak dapat dihindari dan memang harus dihadiri baik dengan perasaan suka maupun terpaksa, bahwa kelak kita harus lalui suatu pengadilan yang digelar oleh Yang Maha Kuasa. Pengadilan dimana jika kita divonis bersalah maka ganjarannya bukan penjara yang terbuat dari kurungan besi, namun penjara yang terbuat dari kurungan api yang menyala-nyala. Na’udzubillah min dzalika.
Itulah pengadilan Allah, pengadilan yang memperhitungkan semua amal manusia. Keadaan perhitungan amal manusia di dalam pengadilan Allah telah diterangkan dengan berbagai cara. Diantaranya di dalam kitab “Bahjatunnufuus” disebutkan ada dua cara perhitungan amal manusia, yakni:
1. Dengan Cara Sembunyi-Sembunyi
Amalan sebagian manusia akan diperhitungkan secara sembunyi-sembunyi di Mahkamah Ilahi. Dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang sekiranya akan membinasakannya, disembunyikan oleh Allah di balik tirai rahmat. Maka alangkah beruntungnya hamba tersebut, ia telah disucikan dari segala dosa karena Robb-nya telah memaafkan sedangkan mereka tidak mengetahuinya.
2. Dengan Cara Terang-Terangan
Semua amal kebaikan dan kejahatan yang meliputi dosa besar dan kecil akan dihadapkan kepada mereka yang melakukannya. Dan semua akan diperhitungkan dengan teliti hingga tidak ada dosa dan kebaikan sebesar dzarah pun yang tidak mereka temui balasannya.
Maka jika kita menginginkan jenis pengadilan yang pertama dimana kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa kita ditutupi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang menutupi aib manusia lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya kelak di hari kiamat....”. (HR. Muslim)
Namun sudah menjadi kebiasaan mendarah daging, dimana membicarakan keburukan orang lain adalah lebih mengasyikkan daripada menutupinya. Padahal kita harus selalu ingat jika orang lain memiliki aib, kita pun memilikinya pula bahkan mungkin lebih banyak dan lebih mengerikan. Muhammad bin Waasi’ Rahimahullah berkata: “Seandainya dosa-dosa itu ada baunya, maka tidak ada seorang pun yang mau duduk bersamaku”.
Selama ini kita hidup berdampingan dengan orang lain yang hanya melihat sisi luar diri kita saja. Bahkan orang mungkin menyangka bahwa kita adalah pribadi yang rajin beribadah dan taat akan perintah agama. Hingga mereka lantas memuji-muji kebaikan perilaku kita yang dengannya kita kemudian merasa bangga dan ujub.
Namun sadarilah bahwa semua itu terjadi karena Allah masih menutupi aib kita. Jika ada satu aib saja yang dibuka penutupnya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, niscaya semua pujian itu akan berubah menjadi celaan. Dan semua keakraban itu akan berubah menjadi pengasingan.
Bersyukurlah kepadanya yang sampai saat ini belum membuka aib kita. Bersyukurlah dengan cara menjaga lisan dari membicarakan keburukan orang. Kita memiliki lisan sebagaimana mereka memilikinya pula. Namun mungkin saja saudara-saudara kita yang lain telah bersusah payah menahan diri membicarakan aib kita. Lalu mengapa dengan murahnya kita mengobral aib mereka di depan umum?
Bahkan bila pun aib orang lain itu sangat kecil, kita mengorek-ngoreknya hingga menjadi besar. Padahal Muhammad bin Sirrin Rahimahullah mengingatkan: “Apabila datang kepadamu suatu berita buruk tentang saudaramu maka lekas carilah udzur untuknya.... bila tidak juga engkau dapatkan udzur itu maka katakan: ‘Barangkali ia memiliki udzur yang tidak aku ketahui’.” (Syu’abul Iman: Imam Al Baihaqi)
Jadi jika kita mendengar bahwa seseorang telah berbuat buruk ini dan itu, hendaklah kita mencari udzur atau alasan dibalik perbuatan buruk saudara kita itu. Mungkin saja ia melakukannya karena terpaksa atau ada alasan lain yang tidak kita ketahui. Intinya kita harus selalu berhusnudzon (berbaik sangka) terhadap orang lain.
Sekali lagi, tahanlah lisan kita dari membicarakan keburukan orang lain hingga kelak kita mendapatkan jenis pengadilan Illahi yang pertama. Jenis pengadilan dimana perhitungan amal manusia dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dosa, kesalahan dan aib kita di dunia ditutupi-Nya di balik tirai rahmat dan diberikan ampunan oleh-Nya. Aamiin.
Itulah pengadilan Allah, pengadilan yang memperhitungkan semua amal manusia. Keadaan perhitungan amal manusia di dalam pengadilan Allah telah diterangkan dengan berbagai cara. Diantaranya di dalam kitab “Bahjatunnufuus” disebutkan ada dua cara perhitungan amal manusia, yakni:
1. Dengan Cara Sembunyi-Sembunyi
Amalan sebagian manusia akan diperhitungkan secara sembunyi-sembunyi di Mahkamah Ilahi. Dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang sekiranya akan membinasakannya, disembunyikan oleh Allah di balik tirai rahmat. Maka alangkah beruntungnya hamba tersebut, ia telah disucikan dari segala dosa karena Robb-nya telah memaafkan sedangkan mereka tidak mengetahuinya.
2. Dengan Cara Terang-Terangan
Semua amal kebaikan dan kejahatan yang meliputi dosa besar dan kecil akan dihadapkan kepada mereka yang melakukannya. Dan semua akan diperhitungkan dengan teliti hingga tidak ada dosa dan kebaikan sebesar dzarah pun yang tidak mereka temui balasannya.
Maka jika kita menginginkan jenis pengadilan yang pertama dimana kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa kita ditutupi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang menutupi aib manusia lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya kelak di hari kiamat....”. (HR. Muslim)
Namun sudah menjadi kebiasaan mendarah daging, dimana membicarakan keburukan orang lain adalah lebih mengasyikkan daripada menutupinya. Padahal kita harus selalu ingat jika orang lain memiliki aib, kita pun memilikinya pula bahkan mungkin lebih banyak dan lebih mengerikan. Muhammad bin Waasi’ Rahimahullah berkata: “Seandainya dosa-dosa itu ada baunya, maka tidak ada seorang pun yang mau duduk bersamaku”.
Selama ini kita hidup berdampingan dengan orang lain yang hanya melihat sisi luar diri kita saja. Bahkan orang mungkin menyangka bahwa kita adalah pribadi yang rajin beribadah dan taat akan perintah agama. Hingga mereka lantas memuji-muji kebaikan perilaku kita yang dengannya kita kemudian merasa bangga dan ujub.
Namun sadarilah bahwa semua itu terjadi karena Allah masih menutupi aib kita. Jika ada satu aib saja yang dibuka penutupnya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, niscaya semua pujian itu akan berubah menjadi celaan. Dan semua keakraban itu akan berubah menjadi pengasingan.
Bersyukurlah kepadanya yang sampai saat ini belum membuka aib kita. Bersyukurlah dengan cara menjaga lisan dari membicarakan keburukan orang. Kita memiliki lisan sebagaimana mereka memilikinya pula. Namun mungkin saja saudara-saudara kita yang lain telah bersusah payah menahan diri membicarakan aib kita. Lalu mengapa dengan murahnya kita mengobral aib mereka di depan umum?
Bahkan bila pun aib orang lain itu sangat kecil, kita mengorek-ngoreknya hingga menjadi besar. Padahal Muhammad bin Sirrin Rahimahullah mengingatkan: “Apabila datang kepadamu suatu berita buruk tentang saudaramu maka lekas carilah udzur untuknya.... bila tidak juga engkau dapatkan udzur itu maka katakan: ‘Barangkali ia memiliki udzur yang tidak aku ketahui’.” (Syu’abul Iman: Imam Al Baihaqi)
Jadi jika kita mendengar bahwa seseorang telah berbuat buruk ini dan itu, hendaklah kita mencari udzur atau alasan dibalik perbuatan buruk saudara kita itu. Mungkin saja ia melakukannya karena terpaksa atau ada alasan lain yang tidak kita ketahui. Intinya kita harus selalu berhusnudzon (berbaik sangka) terhadap orang lain.
Sekali lagi, tahanlah lisan kita dari membicarakan keburukan orang lain hingga kelak kita mendapatkan jenis pengadilan Illahi yang pertama. Jenis pengadilan dimana perhitungan amal manusia dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dosa, kesalahan dan aib kita di dunia ditutupi-Nya di balik tirai rahmat dan diberikan ampunan oleh-Nya. Aamiin.