KabarMakkah.Com - Biasanya seorang hamba sahaya akan melakukan apa saja demi untuk kebebasannya. Tak ada lagi yang lebih utama dari tujuan hidupnya selain dapat bebas menjadi orang yang merdeka. Namun tidak demikian dengan yang terjadi pada Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘Anhu. Ia menolak kembali pada ayahnya dan lebih senang menjadi hamba sahaya padahal ayahnya sudah menyiapkan uang untuk menebusnya.
Apa yang terjadi dengan Zaid? Mengapa ia lebih senang hidup di bawah kekuasaan orang lain ketimbang hidup bebas merdeka? Berikut kisahnya:
Suatu ketika Zaid bin Haritsah melakukan perjalanan bersama ibunya menuju tempat neneknya. Di tengah perjalanan rombongan mereka diserang dan dirampok oleh kabilah Bani Qais. Akhirnya mereka ditawan dan dijual di pasar Mekah.
Zaid pun dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk dihadiahkan pada keponakannya yaitu Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu ‘Anha. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menikahi Khadijah, maka Zaid pun dihadiahkan lagi untuk menjadi pelayan beliau.
Di tempat lain, ayah Zaid begitu terpukul atas perpisahannya dengan Zaid yang sangat disayanginya. Ayah Zaid mengembara ke berbagai tempat untuk mencari anaknya. Sambil menangis, ayahnya seringkali membaca syair-syair berikut:
Aku menangis karena mengingat anakku Zaid dan daku tidak tahu apakah dia hidup atau telah mati, jika dia hidup tentulah ini yang kami harapkan, dan jika dia mati tentukah dia telah binasa.
Demi Allah aku tidak tahu apakah Zaid terdampar mati di tanah lembut ataukah terdampar di sebuah batu karang. Seandainya aku mengetahui, maka seumur hidupku tak akan kembali. Seluruh dunia yang menjadi batas tujuan, yang ku cari adalah kembalinya dirimu.
Ketika matahari terbit pada masa itu, daku mengingatmu. Demikian juga ketika datang hujan, daku sedih mengingatmu. Jika angin datang, maka itu pun membangkitkan ingatanku kepadamu. Hai kekhawatiranku dan pikiranku sangat panjang.
Perjalananmu dan pencarianku, berusaha dan pergi ke seluruh dunia. Semoga dengan kecepatan unta ini akan menemukan dirimu dan untuk mengelilingi dunia, daku tidak akan mengenal lelah. Unta ini mungkin akan letih berjalan, tapi daku tidak akan letih.
Seluruh hidupku ku berikan untuk mencarimu. Ya, jika kematian tiba, itu bukan masalah bagiku, karena mati akan membinasakan sesuatu, meskipun orang senantiasa panjang angan-angan. Namun aku akan berpesan kepada fulan atau keluarga atau anak cucu untuk tetap mencari dan mencarimu.
Demikian sedih syair-syair yang dia lantunkan sepanjang pencariannya dalam usaha menemukan Zaid kembali. Hal ini menunjukkan betapa besar rasa cinta terhadap anaknya itu. Hingga suatu hari, kebetulan ia bertemu dengan beberapa orang yang baru pulang menunaikan ibadah haji dari Makkah Al Mukaromah. Orang-orang tersebut mengatakan bahwa di sana mereka bertemu dengan Zaid.
Zaid pun sudah diberitahu tentang kesedihan ayahnya yang mencari dirinya. Zaid menitipkan sepucuk surat untuk ayahnya yang berbunyi:
Saya berada di Makkah Al Mukaromah dalam keadaan sehat
Dan janganlah engkau merasa risau dan sedih
Karena saya berada dalam perlindungan orang yang mulia
Dengan perasaan gembira, ayah dan pamannya segera berangkat menemui Zaid sambil menyiapkan uang tebusan untuk membebaskan anaknya dari perbudakan. Mereka pun berangkat ke Makkah, di sana mereka bertanya-tanya tentang keberadaan Zaid. Setelah dipastikan keberadaannya, akhirnya mereka tiba di tempat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kemudian ia berkata kepada Rasulullah: “Wahai Bani Hasyim, engkau adalah pemimpin yang tinggal di Masjidil Haram dan juga tetangga Baitullah. Engkau pun membebaskan tawanan dan memberi makan orang-orang yang lapar. Kami datang ke sini untuk memohon kembali anak kami yang tinggal di sini. Kasihanilah kami dan terimalah uang fidyah (tebusan) ini untuk membebaskan dia. Bahkan ambillah uang tebusan yang lebih banyak dari ini”.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya: “Ada apa ini?”
Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sebenarnya kedatangan kami adalah bermaksud untuk meminta Zaid kembali.”
Nabi shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Oo.... begitu maksudnya”.
“Benar, hanya itu maksud kedatangan kami”. Jawab mereka
“Baik, panggillah Zaid dan tanyakan kepadanya tentang kesediaannya. Apabila dia bersedia pulang bersama kalian, maka saya akan membebaskannya tanpa uang tebusan. Namun seandainya dia menolak untuk pulang, maka saya tidak akan melepaskannya”. Sabda beliau.
Ayah Zaid pun berkata: “Wahai Rasulullah, kami sangat senang dan menyetujui usulan Anda”.
Zaid pun dihadapkan pada mereka dan Rasulullah pun bersabda: “Apakah engkau mengenal orang-orang ini?”.
“Ya, saya mengenal mereka. Ini ayah saya dan itu adalah paman saya”. Jawab Zaid
“Zaid, seandainya engkau ingin pulang, saya akan mengizinkan engkau untuk pulang bersama mereka. Sebaliknya jika engkau ingin tetap tinggal di sini, maka saya pun tidak akan keberatan”. Sabda Rasulullah.
“Wahai Rasulullah bagaimana saya dapat mengutamakan seseorang selain engkau? Bagi saya engkau lebih berharga daripada ayah dan paman saya”. Jawab Zaid
Maka ayahnya pun berkata: “Zaid, apakah engkau lebih menyukai menjadi seorang budak? Mengapa engkau tega meninggalkan ayahmu, pamanmu dan keluargamu yang lain dan tetap tinggal menjadi seorang budak?”
Zaid berkata: “Wahai Nabi Allah, saya lebih mengutamakan engkau daripada semua orang di muka bumi ini”.
Pada saat itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengambil Zaid yang waktu itu masih kanak-kanak dan mendudukkannya di pangkuan beliau, seraya bersabda: “Pada hari ini saya telah menjadikan Zaid sebagai anak angkat saya”.
Ayah dan paman Zaid pun merasa puas dengan keputusan Rasulullah. Mereka pun akhirnya merelakan Zaid untuk tetap tinggal bersama Rasulullah.
Lihatlah, karena rasa cintanya terhadap Rasul utusan Allah, anak-anak pun rela meninggalkan keluarganya dan lebih memilih menjadi seorang hamba sahaya. Padahal bagi seorang anak, keluarga pastilah lingkungan pertama yang amat mereka sayangi. Namun rasa cintanya pada utusan Allah telah mampu mengalahkan rasa cintanya kepada manusia selainnya.
Subhanallah, dapatkah kita melakukan itu?
Memang sekarang ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah tiada. Namun rasa cinta kita bisa diwujudkan dengan mengamalkan segala tuntunannya. Apakah kita sanggup meninggalkan keluarga tercinta jika mereka justru membahayakan iman kita dan mengajak kita kedalam kesyirikan? Dapatkah kita berani menyatakan kebenaran kepada keluarga yang telah dilingkupi dengan kesyirikan dan jauh dari agama?
Wallahu A’lam
Apa yang terjadi dengan Zaid? Mengapa ia lebih senang hidup di bawah kekuasaan orang lain ketimbang hidup bebas merdeka? Berikut kisahnya:
Suatu ketika Zaid bin Haritsah melakukan perjalanan bersama ibunya menuju tempat neneknya. Di tengah perjalanan rombongan mereka diserang dan dirampok oleh kabilah Bani Qais. Akhirnya mereka ditawan dan dijual di pasar Mekah.
Zaid pun dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk dihadiahkan pada keponakannya yaitu Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu ‘Anha. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menikahi Khadijah, maka Zaid pun dihadiahkan lagi untuk menjadi pelayan beliau.
Di tempat lain, ayah Zaid begitu terpukul atas perpisahannya dengan Zaid yang sangat disayanginya. Ayah Zaid mengembara ke berbagai tempat untuk mencari anaknya. Sambil menangis, ayahnya seringkali membaca syair-syair berikut:
Aku menangis karena mengingat anakku Zaid dan daku tidak tahu apakah dia hidup atau telah mati, jika dia hidup tentulah ini yang kami harapkan, dan jika dia mati tentukah dia telah binasa.
Demi Allah aku tidak tahu apakah Zaid terdampar mati di tanah lembut ataukah terdampar di sebuah batu karang. Seandainya aku mengetahui, maka seumur hidupku tak akan kembali. Seluruh dunia yang menjadi batas tujuan, yang ku cari adalah kembalinya dirimu.
Ketika matahari terbit pada masa itu, daku mengingatmu. Demikian juga ketika datang hujan, daku sedih mengingatmu. Jika angin datang, maka itu pun membangkitkan ingatanku kepadamu. Hai kekhawatiranku dan pikiranku sangat panjang.
Perjalananmu dan pencarianku, berusaha dan pergi ke seluruh dunia. Semoga dengan kecepatan unta ini akan menemukan dirimu dan untuk mengelilingi dunia, daku tidak akan mengenal lelah. Unta ini mungkin akan letih berjalan, tapi daku tidak akan letih.
Seluruh hidupku ku berikan untuk mencarimu. Ya, jika kematian tiba, itu bukan masalah bagiku, karena mati akan membinasakan sesuatu, meskipun orang senantiasa panjang angan-angan. Namun aku akan berpesan kepada fulan atau keluarga atau anak cucu untuk tetap mencari dan mencarimu.
Demikian sedih syair-syair yang dia lantunkan sepanjang pencariannya dalam usaha menemukan Zaid kembali. Hal ini menunjukkan betapa besar rasa cinta terhadap anaknya itu. Hingga suatu hari, kebetulan ia bertemu dengan beberapa orang yang baru pulang menunaikan ibadah haji dari Makkah Al Mukaromah. Orang-orang tersebut mengatakan bahwa di sana mereka bertemu dengan Zaid.
Zaid pun sudah diberitahu tentang kesedihan ayahnya yang mencari dirinya. Zaid menitipkan sepucuk surat untuk ayahnya yang berbunyi:
Saya berada di Makkah Al Mukaromah dalam keadaan sehat
Dan janganlah engkau merasa risau dan sedih
Karena saya berada dalam perlindungan orang yang mulia
Dengan perasaan gembira, ayah dan pamannya segera berangkat menemui Zaid sambil menyiapkan uang tebusan untuk membebaskan anaknya dari perbudakan. Mereka pun berangkat ke Makkah, di sana mereka bertanya-tanya tentang keberadaan Zaid. Setelah dipastikan keberadaannya, akhirnya mereka tiba di tempat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kemudian ia berkata kepada Rasulullah: “Wahai Bani Hasyim, engkau adalah pemimpin yang tinggal di Masjidil Haram dan juga tetangga Baitullah. Engkau pun membebaskan tawanan dan memberi makan orang-orang yang lapar. Kami datang ke sini untuk memohon kembali anak kami yang tinggal di sini. Kasihanilah kami dan terimalah uang fidyah (tebusan) ini untuk membebaskan dia. Bahkan ambillah uang tebusan yang lebih banyak dari ini”.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya: “Ada apa ini?”
Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sebenarnya kedatangan kami adalah bermaksud untuk meminta Zaid kembali.”
Nabi shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Oo.... begitu maksudnya”.
“Benar, hanya itu maksud kedatangan kami”. Jawab mereka
“Baik, panggillah Zaid dan tanyakan kepadanya tentang kesediaannya. Apabila dia bersedia pulang bersama kalian, maka saya akan membebaskannya tanpa uang tebusan. Namun seandainya dia menolak untuk pulang, maka saya tidak akan melepaskannya”. Sabda beliau.
Ayah Zaid pun berkata: “Wahai Rasulullah, kami sangat senang dan menyetujui usulan Anda”.
Zaid pun dihadapkan pada mereka dan Rasulullah pun bersabda: “Apakah engkau mengenal orang-orang ini?”.
“Ya, saya mengenal mereka. Ini ayah saya dan itu adalah paman saya”. Jawab Zaid
“Zaid, seandainya engkau ingin pulang, saya akan mengizinkan engkau untuk pulang bersama mereka. Sebaliknya jika engkau ingin tetap tinggal di sini, maka saya pun tidak akan keberatan”. Sabda Rasulullah.
“Wahai Rasulullah bagaimana saya dapat mengutamakan seseorang selain engkau? Bagi saya engkau lebih berharga daripada ayah dan paman saya”. Jawab Zaid
Maka ayahnya pun berkata: “Zaid, apakah engkau lebih menyukai menjadi seorang budak? Mengapa engkau tega meninggalkan ayahmu, pamanmu dan keluargamu yang lain dan tetap tinggal menjadi seorang budak?”
Zaid berkata: “Wahai Nabi Allah, saya lebih mengutamakan engkau daripada semua orang di muka bumi ini”.
Pada saat itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengambil Zaid yang waktu itu masih kanak-kanak dan mendudukkannya di pangkuan beliau, seraya bersabda: “Pada hari ini saya telah menjadikan Zaid sebagai anak angkat saya”.
Ayah dan paman Zaid pun merasa puas dengan keputusan Rasulullah. Mereka pun akhirnya merelakan Zaid untuk tetap tinggal bersama Rasulullah.
Lihatlah, karena rasa cintanya terhadap Rasul utusan Allah, anak-anak pun rela meninggalkan keluarganya dan lebih memilih menjadi seorang hamba sahaya. Padahal bagi seorang anak, keluarga pastilah lingkungan pertama yang amat mereka sayangi. Namun rasa cintanya pada utusan Allah telah mampu mengalahkan rasa cintanya kepada manusia selainnya.
Subhanallah, dapatkah kita melakukan itu?
Memang sekarang ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah tiada. Namun rasa cinta kita bisa diwujudkan dengan mengamalkan segala tuntunannya. Apakah kita sanggup meninggalkan keluarga tercinta jika mereka justru membahayakan iman kita dan mengajak kita kedalam kesyirikan? Dapatkah kita berani menyatakan kebenaran kepada keluarga yang telah dilingkupi dengan kesyirikan dan jauh dari agama?
Wallahu A’lam