Bolehkah Orang Yang Sedang Sholat Melarang atau Menghadang Orang Yang Lewat Di Depannya? Pertanyaan ini rasanya terdengar asing dan jarang dikemukakan di publik. Namun, realitanya banyak sekali kaum muslimin yang belum mengetahui bahwa melintas atau berjalan di depan orang yang sedang melaksanakan shalat hukumnya adalah haram.
Begitu juga orang yang sedang malakukan sholat jika mengetahui hal itu maka amalkanlah ajaran Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam seperti dalam hadits berikut.
“Jika seorang di antara kalian shalat, jangan biarkan seseorang lewat di depannya. Tahanlah ia sebisa mungkin. Jika ia enggan ditahan maka perangilah ia, karena sesungguhnya itu setan” (HR. Muslim).
Hadits diatas menunjukkan bahwa orang yang sedang sholat diperbolehkan untuk melarang atau menghadang orang yang mau lewat di depannya sesuai dengan kemampuannya. Bahkan hal ini dianjurkan. seperti perintah dalam hadits tersebut. Diantara hal yang bisa dilakukan adalah dengan menjulurkan tangannya sebagai pertanda ada orang yang sedang sholat, jangan sembarangan lewat.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda "Jika saja seorang lewat di hadapan seorang yang sholat mengetahui dosa yang dilakukannya, maka sungguh jika dia berdiri selama empat puluh (hari atau bulan atau tahun) lebih baik baginya daripada lewat di hadapan orang yang salat tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, jika orang yang sedang sholat tersebut telah meletakkan sutrah (pembatas) di depannya, maka hal tersebut tidak menjadi masalah, boleh bagi siapa saja untuk berjalan di hadapannya. Sutrah adalah pembatas yang terletak atau diletakkan di depan orang yang sedang melakukan shalat. Tujuan meletakkan sutrah adalah untuk menghalangi orang atau binatang atau apa saja yang melewati di tempat sujudnya. Hikmahnya untuk menjaga kekhusyukan shalat.
Sutrah bisa berupa tongkat, dinding, tumpukan tanah, tembok, tiang, meja, kursi, kardus, buku, tas, dan benda lainnya. Para ulama berpendapat, tidak ada batasan dan syarat-syarat tertentu mengenai kategori sutrah, yang penting bisa dilihat dan di ketahui oleh orang lain bahwa hal itu adalah pembatas.
"Jika seseorang di antara kalian telah meletakkan di depannya seperti kayu yang berada di ujung belakang pelana, maka hendaknya dia shalat dengan tidak usah menggubris setiap yang lewat di belakang (sutrah) tadi." (HR. Muslim)
Dalam kitab Mulakhash Fiqhiyyah, Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: "Jika seseorang melakukan sholat di Masjidil Haram, maka tidak perlu menghadang orang yang lewat di depannya, karena terdapat dalam sebuah hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di Makkah, orang-orang melewati beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau." (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Khamsah)
Kendati demikian, Sebagian ulama' tetap menganjurkan untuk menghadang dan melarang orang yang lewat di depan sholatnya, Seperti yang pernah dikatakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin: “Tidak ada perbedaan hukum lewat di depan orang shalat baik di Makkah maupun selainnya. Inilah pendapat yang shohih. Tidak ada hujjah bagi yang mengecualikan larangan ini dengan hadits,
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat (di Mekkah), orang-orang melewati beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau”
Karena dalam hadits diatas terdapat seorang perawi yang majhul. Ditemukannya perawi majhul adalah sebuah aib bagi hadits itu sendiri. Andaikata hadits diatas berderajat shahih, maka kita kembali pada kemungkinan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang sholat di tempat orang thawaf. Dan orang thawaf itu adalah orang-orang yang lebih berhak berada di tempat thawaf. Karena tidak ada tempat lain selain di sekitar ka'bah untuk melakukannya.
Sedangkan bagi orang yang melakukan ibadah shalat, dia bisa saja shalat di tempat lain. Misalnya agak menjauh dari orang yang sedang thawaf, Oleh karenanya, Imam Bukhari rahimahullah dalam Kitab Shahih-nya memberi judul khusus bab “sutrah di Makkah dan tempat lainnya”. Artinya, menurut beliau hukum sutrah di Mekkah dan tempat lain itu sama saja, tidak ada perbedaan dalam menghukuminya” (Syarhul Mumthi, 3/248).
Dari penjelasan Ibnu Utsaimin diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa jika seseorang melakukan shalat di tempat orang-orang sedang melakukan ibadah thawaf maka boleh dilewati, karena orang yang thawaf lebih berhak untuk berada di tempat thawaf.
Kendati demikian, Yang paling moderat dan adil dalam pembahasan ini adalah pendapat yang pernah dikemukakan oleh Ibnu ‘Abidin rahimahullah dan sebagian madzhab Imam Malik, yakni sebagai berikut:
1. Apabila orang yang shalat secara tidak sengaja melaksanakan shalat di tempat ramai orang-orang lewat, dan terdapat celah yang memungkinkan bagi orang yang lewat untuk tidak lewat di depan orang shalat tersebut, maka orang yang lewat di depan orang sholat tadi berdosa. Sedangkan yang shalat tidaklah bersalah.
2. Jika orang yang mau melakukan sholat sudah tahu dan dengan sengaja dia melakukan shalat di tempat ramai orang-orang biasa lewat, sedangkan tidak ada celah yang memungkinkan untuk lewat selain melewati orang shalat tersebut, maka dalam hal ini orang yang shalat tersebut yang bersalah.
3. Jika orang yang melaksanakan sholat sudah mengetahui dan sengaja shalat di tempat orang-orang biasa lewat, dan ada celah yang memungkinkan untuk lewat, maka orang yang sholat maupun yang lewat berdosa.
4. Jika orang yang melakukan sholat secara tidak sengaja melakukan shalat di tempat ramai banyak orang-orang lewat dan tidak ada celah untuk lewat, maka boleh lewat dan keduanya baik yang sholat maupun yang lewat tidak bersalah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/185).
Perlu digarisbawahi, Bahwa rincian diatas hanya berlaku di tempat ramai orang berlalu-lalang dan banyak orang melaksanakan sholat seperti contohnya di Masjidil Haram. Adapun jika kondisinya berada di tempat biasa yang tidak banyak orang lalu-lalang, maka tidak ada alasan yang kuat untuk melewati orang yang sholat sekalipun dia ada keperluan untuk melewatinya.
Adapun mengenai makna فإنما هو شيطانٌ (sesungguhnya orang yang lewat di depan orang shalat adalah setan) dalam hadits riwayat Imam Muslim diatas, ada dua penjabaran yang bisa diambil:
1. Orang yang lewat tersebut ditemani dan disertai setan, Dalam hal ini setan memerintahkan padanya untuk melewati orang yang sedang shalat. Ini pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hatim. Sebagaimana dalam riwayat lain dikatakan:
فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
“karena bersamanya ada qarin (setan)”
2. Perbuatan melewati orang yang melakukan sholat adalah perbuatan setan, sehingga orang ini merupakan setan berbentuk manusia. Ini adalah pendapat dari Al Jurjani. (Fathul Baari, 4/88)
Wallahu A'lam.
Ilustrasi |
Begitu juga orang yang sedang malakukan sholat jika mengetahui hal itu maka amalkanlah ajaran Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam seperti dalam hadits berikut.
إذا كان أحدُكم يصلِّى فلا يدعُ أحدًا يمرُّ بين يدَيه . وليدرَأْه ما استَطاع . فإن أبى فلْيقاتِلْه . فإنما هو شيطانٌ
“Jika seorang di antara kalian shalat, jangan biarkan seseorang lewat di depannya. Tahanlah ia sebisa mungkin. Jika ia enggan ditahan maka perangilah ia, karena sesungguhnya itu setan” (HR. Muslim).
Hadits diatas menunjukkan bahwa orang yang sedang sholat diperbolehkan untuk melarang atau menghadang orang yang mau lewat di depannya sesuai dengan kemampuannya. Bahkan hal ini dianjurkan. seperti perintah dalam hadits tersebut. Diantara hal yang bisa dilakukan adalah dengan menjulurkan tangannya sebagai pertanda ada orang yang sedang sholat, jangan sembarangan lewat.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda "Jika saja seorang lewat di hadapan seorang yang sholat mengetahui dosa yang dilakukannya, maka sungguh jika dia berdiri selama empat puluh (hari atau bulan atau tahun) lebih baik baginya daripada lewat di hadapan orang yang salat tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, jika orang yang sedang sholat tersebut telah meletakkan sutrah (pembatas) di depannya, maka hal tersebut tidak menjadi masalah, boleh bagi siapa saja untuk berjalan di hadapannya. Sutrah adalah pembatas yang terletak atau diletakkan di depan orang yang sedang melakukan shalat. Tujuan meletakkan sutrah adalah untuk menghalangi orang atau binatang atau apa saja yang melewati di tempat sujudnya. Hikmahnya untuk menjaga kekhusyukan shalat.
Sutrah bisa berupa tongkat, dinding, tumpukan tanah, tembok, tiang, meja, kursi, kardus, buku, tas, dan benda lainnya. Para ulama berpendapat, tidak ada batasan dan syarat-syarat tertentu mengenai kategori sutrah, yang penting bisa dilihat dan di ketahui oleh orang lain bahwa hal itu adalah pembatas.
"Jika seseorang di antara kalian telah meletakkan di depannya seperti kayu yang berada di ujung belakang pelana, maka hendaknya dia shalat dengan tidak usah menggubris setiap yang lewat di belakang (sutrah) tadi." (HR. Muslim)
Bagaimana Jika Sholat Dalam Keadaan di Tempat Yang Ramai Seperti di Masjidil Haram?
Dalam kitab Mulakhash Fiqhiyyah, Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: "Jika seseorang melakukan sholat di Masjidil Haram, maka tidak perlu menghadang orang yang lewat di depannya, karena terdapat dalam sebuah hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di Makkah, orang-orang melewati beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau." (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Khamsah)
Kendati demikian, Sebagian ulama' tetap menganjurkan untuk menghadang dan melarang orang yang lewat di depan sholatnya, Seperti yang pernah dikatakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin: “Tidak ada perbedaan hukum lewat di depan orang shalat baik di Makkah maupun selainnya. Inilah pendapat yang shohih. Tidak ada hujjah bagi yang mengecualikan larangan ini dengan hadits,
أنه كان يُصلِّي والنَّاسُ يمرُّون بين يديه، وليس بينهما سُترة
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat (di Mekkah), orang-orang melewati beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau”
Karena dalam hadits diatas terdapat seorang perawi yang majhul. Ditemukannya perawi majhul adalah sebuah aib bagi hadits itu sendiri. Andaikata hadits diatas berderajat shahih, maka kita kembali pada kemungkinan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang sholat di tempat orang thawaf. Dan orang thawaf itu adalah orang-orang yang lebih berhak berada di tempat thawaf. Karena tidak ada tempat lain selain di sekitar ka'bah untuk melakukannya.
Sedangkan bagi orang yang melakukan ibadah shalat, dia bisa saja shalat di tempat lain. Misalnya agak menjauh dari orang yang sedang thawaf, Oleh karenanya, Imam Bukhari rahimahullah dalam Kitab Shahih-nya memberi judul khusus bab “sutrah di Makkah dan tempat lainnya”. Artinya, menurut beliau hukum sutrah di Mekkah dan tempat lain itu sama saja, tidak ada perbedaan dalam menghukuminya” (Syarhul Mumthi, 3/248).
Dari penjelasan Ibnu Utsaimin diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa jika seseorang melakukan shalat di tempat orang-orang sedang melakukan ibadah thawaf maka boleh dilewati, karena orang yang thawaf lebih berhak untuk berada di tempat thawaf.
Kendati demikian, Yang paling moderat dan adil dalam pembahasan ini adalah pendapat yang pernah dikemukakan oleh Ibnu ‘Abidin rahimahullah dan sebagian madzhab Imam Malik, yakni sebagai berikut:
1. Apabila orang yang shalat secara tidak sengaja melaksanakan shalat di tempat ramai orang-orang lewat, dan terdapat celah yang memungkinkan bagi orang yang lewat untuk tidak lewat di depan orang shalat tersebut, maka orang yang lewat di depan orang sholat tadi berdosa. Sedangkan yang shalat tidaklah bersalah.
2. Jika orang yang mau melakukan sholat sudah tahu dan dengan sengaja dia melakukan shalat di tempat ramai orang-orang biasa lewat, sedangkan tidak ada celah yang memungkinkan untuk lewat selain melewati orang shalat tersebut, maka dalam hal ini orang yang shalat tersebut yang bersalah.
3. Jika orang yang melaksanakan sholat sudah mengetahui dan sengaja shalat di tempat orang-orang biasa lewat, dan ada celah yang memungkinkan untuk lewat, maka orang yang sholat maupun yang lewat berdosa.
4. Jika orang yang melakukan sholat secara tidak sengaja melakukan shalat di tempat ramai banyak orang-orang lewat dan tidak ada celah untuk lewat, maka boleh lewat dan keduanya baik yang sholat maupun yang lewat tidak bersalah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/185).
Perlu digarisbawahi, Bahwa rincian diatas hanya berlaku di tempat ramai orang berlalu-lalang dan banyak orang melaksanakan sholat seperti contohnya di Masjidil Haram. Adapun jika kondisinya berada di tempat biasa yang tidak banyak orang lalu-lalang, maka tidak ada alasan yang kuat untuk melewati orang yang sholat sekalipun dia ada keperluan untuk melewatinya.
Adapun mengenai makna فإنما هو شيطانٌ (sesungguhnya orang yang lewat di depan orang shalat adalah setan) dalam hadits riwayat Imam Muslim diatas, ada dua penjabaran yang bisa diambil:
1. Orang yang lewat tersebut ditemani dan disertai setan, Dalam hal ini setan memerintahkan padanya untuk melewati orang yang sedang shalat. Ini pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hatim. Sebagaimana dalam riwayat lain dikatakan:
فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
“karena bersamanya ada qarin (setan)”
2. Perbuatan melewati orang yang melakukan sholat adalah perbuatan setan, sehingga orang ini merupakan setan berbentuk manusia. Ini adalah pendapat dari Al Jurjani. (Fathul Baari, 4/88)
Wallahu A'lam.