KabarMakkah.Com – Sesungguhnya tiada satu pun manusia di bumi ini yang dapat menandingi akhlak Rasulullah. Seorang manusia mulia yang telah Allah akui kebaikannya dan tertulis dalam kitabullah. Apa yang beliau lakukan tak hanya menuai pujian dari sahabatnya, tetapi juga dari para musuhnya.
Sejatinya Rasulullah tak pernah bersikap marah hanya karena alasan pribadi. Manusia yang dikarunia kelembutan hati ini selalu berinteraksi dengan semua makhluk hidup tanpa ada konflik. Namun sebuah peristiwa membuat wajah Rasulullah memerah yang seakan menahan sebuah kemarahan. Peristiwa tersebut ternyata dilatarbelakangi oleh perkataan sahabatnya sendiri yang tak lain adalah Umar bin Khaththab Radhiallahu ‘Anhu.
Sesungguhnya apa yang telah dikatakan oleh Umar sehingga wajah Rasulullah memerah?
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Jabir, Umar bin Khaththab baru saja mendatangi seorang keturunan Yahudi Bani Quraizhah yang saat itu berada di Madinah. Darinya, Umar mendapatkan potongan ayat Taurat yang dinyatakan masih asli dan belum ada perubahan yang lalu ditulisnya.
Umar pun menawarkan kepada Rasulullah tentang potongan ayat yang ditulisnya tersebut. Seketika itu juga wajah Rasulullah memerah dan terlihat sedang menahan kemarahan.
Sadar akan kekeliruan yang dilakukannya, Umar bin Khaththab pun langsung mengucapkan kalimat yang sering kita dengar, “Radhitubillahi Robba, wabil islami dina, wabi muhammadin nabiyya warosula” yang memiliki arti “Saya rela Allah Ta’ala sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku”
Setelah mendengar ucapan Umar Al faruq, barulah wajah Rasul kembali seperti semula. Setelah itu beliau bersabda, “Demi Allah yang jiwaku ada dalam genggamanNya, jika Musa kini berada di tengah-tengah kalian, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, sungguh kalian telah sesat. Sesungguhnya kalian adalah umat yang menjadi bagianku dan aku meruapakan nabi yang menjadi bagianmu.”
Lihatlah bagaimana sikap Rasulullah terhadap Umar yang sebenarnya hanya mengkonfirmasi kebenaran dalam kitab Taurat tanpa sedikit pun mengesampingkan Al Quran. Lalu bagaimana jika Rasulullah nyata-nyatanya hadir saat ini? Sekarang ini?
Bagaimana jika Rasulullah hadir ketika saat ini para kaum yang mengaku cendikiawan muslim meragukan kebenaran akan Al Quran? Bahkan mereka berani menantang dengan angkuhnya akan adzab Allah yang tak kunjung hadir di masyarakat yang melegalkan LGBT jika memang hal tersebut dilarang.
Perlu diketahui bahwa LGBT merupakan penyimpangan fitrah manusia dimana pria menyukai pria, wanita menyukai wanita, pria menyukai wanita sekaligus pria lain dan merubah jenis kelamin yang telah Allah haramkan.
Sungguh sebuah pemahaman yang sesat dan menyesatkan. Terlebih lagi bagi mereka yang mengaku muslim namun menghalalkan perilaku tersebut.
Semoga Allah mengkaruniakan kepada kita untuk tetap istiqamah dalam berpegang teguh terhadap ajaran dalam Al Quran dan tidak sedikit pun meragukan kebenarannya.
Sejatinya Rasulullah tak pernah bersikap marah hanya karena alasan pribadi. Manusia yang dikarunia kelembutan hati ini selalu berinteraksi dengan semua makhluk hidup tanpa ada konflik. Namun sebuah peristiwa membuat wajah Rasulullah memerah yang seakan menahan sebuah kemarahan. Peristiwa tersebut ternyata dilatarbelakangi oleh perkataan sahabatnya sendiri yang tak lain adalah Umar bin Khaththab Radhiallahu ‘Anhu.
Sesungguhnya apa yang telah dikatakan oleh Umar sehingga wajah Rasulullah memerah?
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Jabir, Umar bin Khaththab baru saja mendatangi seorang keturunan Yahudi Bani Quraizhah yang saat itu berada di Madinah. Darinya, Umar mendapatkan potongan ayat Taurat yang dinyatakan masih asli dan belum ada perubahan yang lalu ditulisnya.
Umar pun menawarkan kepada Rasulullah tentang potongan ayat yang ditulisnya tersebut. Seketika itu juga wajah Rasulullah memerah dan terlihat sedang menahan kemarahan.
Sadar akan kekeliruan yang dilakukannya, Umar bin Khaththab pun langsung mengucapkan kalimat yang sering kita dengar, “Radhitubillahi Robba, wabil islami dina, wabi muhammadin nabiyya warosula” yang memiliki arti “Saya rela Allah Ta’ala sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku”
Setelah mendengar ucapan Umar Al faruq, barulah wajah Rasul kembali seperti semula. Setelah itu beliau bersabda, “Demi Allah yang jiwaku ada dalam genggamanNya, jika Musa kini berada di tengah-tengah kalian, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, sungguh kalian telah sesat. Sesungguhnya kalian adalah umat yang menjadi bagianku dan aku meruapakan nabi yang menjadi bagianmu.”
Lihatlah bagaimana sikap Rasulullah terhadap Umar yang sebenarnya hanya mengkonfirmasi kebenaran dalam kitab Taurat tanpa sedikit pun mengesampingkan Al Quran. Lalu bagaimana jika Rasulullah nyata-nyatanya hadir saat ini? Sekarang ini?
Bagaimana jika Rasulullah hadir ketika saat ini para kaum yang mengaku cendikiawan muslim meragukan kebenaran akan Al Quran? Bahkan mereka berani menantang dengan angkuhnya akan adzab Allah yang tak kunjung hadir di masyarakat yang melegalkan LGBT jika memang hal tersebut dilarang.
Perlu diketahui bahwa LGBT merupakan penyimpangan fitrah manusia dimana pria menyukai pria, wanita menyukai wanita, pria menyukai wanita sekaligus pria lain dan merubah jenis kelamin yang telah Allah haramkan.
Sungguh sebuah pemahaman yang sesat dan menyesatkan. Terlebih lagi bagi mereka yang mengaku muslim namun menghalalkan perilaku tersebut.
Semoga Allah mengkaruniakan kepada kita untuk tetap istiqamah dalam berpegang teguh terhadap ajaran dalam Al Quran dan tidak sedikit pun meragukan kebenarannya.