KabarMakkah.Com – Kawasan Arkeologi menjadi tujuan utama dari sejumlah siswi bersama dengan gurunya yang seorang perempuan dengan maksud untuk melakukan penelitian. Setelah bus yang ditumpangi berhenti, para siswi pun mulai turun dan mengamati sisa-sisa Arkeologi yang masih ada.
Di tempat yang tak berpenghuni tersebut, pada awalnya mereka masih dalam satu kelompok. Namun lama-kelamaan mereka mulai berpencar dan mencari tempat atau obyek yang bagi mereka menarik.
Salah satu siswi yang pada saat itu sedang asyik mengamati berbagai obyek, tak menyadari bahwa waktu kunjung telah habis dan bus yang ditumpanginya telah pulang. Guru dan siswi lainnya pun tak menyadari jika ada siswi yang belum naik karena mereka terlalu sibuk dengan hasil pengamatan dan ramainya bercengkerama di dalamnya bus.
Sadar bahwa ia telah jauh dari kelompok dan terlalu asyik dengan pengamatannya, ia pun segera menghampiri tempat dimana bus tadi parkir. Namun ia tak menemukan teman-temannya apalagi mobil bus yang ia tumpngi. Ia pun berteriak sekencang-kencangnya, namun tak ada yang menjawab teriakannya.
Ketakutan, itulah yang dialaminya saat dalam kesendirian di tempat yang tidak berpenghuni. Ia pun segera beranjak untuk mencari kampung terdekat dan meminta pertolongan.
Hampir satu kilometer ia berjalan, tak satu pun kampung warga yang terlihat. Lelah dan sedih bercampur baur seiring hari yang mulai gelap.
Saat melihat sebuah gubuk, betapa gembiranya siswi tersebut. Ia berpikiran mungkin ada seseorang yang akan membantunya. Jika pun tak berpenghuni, ia bisa bermalam di sana.
Siswi itu kemudian mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam ternyata ada yang menjawab salamnya. Seorang pemuda kira-kira berumur 20 tahun. Sang pemuda kemudian bertanya, “Siapa kamu?” Dengan kelelahan siswi itu menjawab, “Saya seorang siswi yang datang ke kawasan Arkeologi, tapi saya tertinggal dan tak tahu jalan untuk pulang.”
“Kawasan itu memang tidak berpenghuni. Kampung yang terdekat berada di Selatan, sedangkan engkau berjalan ke utara. Tak ada satu pun kampung disini.” Pemuda itu menjelaskan.
Melihat kondisi si gadis yang kelelahan dan hari yang mulai malam, pemuda itu pun menawarinya untuk bermalam. “Kamu bermalam saja di sini dan besok kamu bisa melanjutkan perjalanan untuk pulang.”
Sang pemuda meminta agar si gadis untuk tidur di sebuah ranjang miliknya. Sementara dirinya tidur di ujung gubuk. Ia kemudian membuat semacam sekat yang terbuat dari kain sprei dan diikatnya dari ujung gubuk yang satu ke ujung lainnya.
Si gadis tak ingin memejamkan mata meski telah kelelahan. Ia takut jika pemuda yang baru ditemuinya melakukan hal yang bukan-bukan. Matanya tertuju pada kain sprei yang menjadi penyekat keduanya.
Di ujung gubuk, tampak pemuda itu tengah membaca sebuah buku dengan lilin sebagai penerang. Si gadis memandangi bayangan aktivitas pemuda tersebut dan sebuah hal yang aneh dilakukan sang pemuda. Ia menutup bukunya dan mengarahkan jarinya ke lilin yang tengah menyala. Ia mundurkan lagi jarinya dan memasukkan lagi ke api lilin tersebut.
Keheranan menyelimuti pikiran sang gadis. Ia berpikir mungkin si pemuda sedang berusaha membakar jarinya ataupun melakukan sebuah ritual mistis. Atau apa dia bukan manusia?
Ketakutannya semakin bertambah dan membuatnya tak bisa memejamkan mata melihat pemuda itu terus duduk dalam ritual yang dianggapnya aneh.
Fajar menyingsing, ketakutan gadis itu pun mulai reda. Rasa bahagianya semakin bertambah terutama saat si pemuda mau mengantarkannya di sebuah jalan di kota.
Setelah si gadis telah sampai di rumah, ia bercerita banyak tentang apa yang alami saat berada di gubuk. Sang ayah yang merasa penasaran kemudian mencari gubuk pemuda tersebut dan ia menyamar sebagai seseorang yang tersesat dan meminta untuk ditunjukkan jalan pulang. Saat melihat melihat tangan pemuda yang dibalut perban, sang ayah yang menyamar kemudian bertanya dan dijawabnya oleh si pemuda.
“Sekitar dua malam yang lalu ada gadis cantik yang datang kesini. Ia sedang melakukan penelitian dan tertinggal bus tumpangannya. Dia bermalam di sini. Lalu pada malam hari setan membisikkan aku untuk menzinainya. Aku sangat takut untuk tergoda sehingga kubakar setiap jariku agar terhindar dari godaan setan itu. Sesungguhnya pikiran untuk menzinai gadis itu lebih sakit dari sakit tanganku ini.”
Sungguh perkataan sang pemuda membuat ayah si gadis menjadi kagum. Dia tak menyangka di jaman sekarang masih ada pemuda yang takut kepada Allah. Ia pun meminta pemuda tersebut untuk ke rumahnya dan ia nikahkan pula sang pemuda dengan gadis yang tak lain adalah siswi yang ditolongnya saat itu.
Sungguh Allah telah memberi si pemuda hasil terbaik dari keimanannya berupa gadis cantik dengan jalan halal dan bukan jalan haram.
Diambil dari buku Qashashun Abkatni karangan Salim Muraisyid
Di tempat yang tak berpenghuni tersebut, pada awalnya mereka masih dalam satu kelompok. Namun lama-kelamaan mereka mulai berpencar dan mencari tempat atau obyek yang bagi mereka menarik.
Salah satu siswi yang pada saat itu sedang asyik mengamati berbagai obyek, tak menyadari bahwa waktu kunjung telah habis dan bus yang ditumpanginya telah pulang. Guru dan siswi lainnya pun tak menyadari jika ada siswi yang belum naik karena mereka terlalu sibuk dengan hasil pengamatan dan ramainya bercengkerama di dalamnya bus.
Sadar bahwa ia telah jauh dari kelompok dan terlalu asyik dengan pengamatannya, ia pun segera menghampiri tempat dimana bus tadi parkir. Namun ia tak menemukan teman-temannya apalagi mobil bus yang ia tumpngi. Ia pun berteriak sekencang-kencangnya, namun tak ada yang menjawab teriakannya.
Ketakutan, itulah yang dialaminya saat dalam kesendirian di tempat yang tidak berpenghuni. Ia pun segera beranjak untuk mencari kampung terdekat dan meminta pertolongan.
Hampir satu kilometer ia berjalan, tak satu pun kampung warga yang terlihat. Lelah dan sedih bercampur baur seiring hari yang mulai gelap.
Saat melihat sebuah gubuk, betapa gembiranya siswi tersebut. Ia berpikiran mungkin ada seseorang yang akan membantunya. Jika pun tak berpenghuni, ia bisa bermalam di sana.
Siswi itu kemudian mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam ternyata ada yang menjawab salamnya. Seorang pemuda kira-kira berumur 20 tahun. Sang pemuda kemudian bertanya, “Siapa kamu?” Dengan kelelahan siswi itu menjawab, “Saya seorang siswi yang datang ke kawasan Arkeologi, tapi saya tertinggal dan tak tahu jalan untuk pulang.”
“Kawasan itu memang tidak berpenghuni. Kampung yang terdekat berada di Selatan, sedangkan engkau berjalan ke utara. Tak ada satu pun kampung disini.” Pemuda itu menjelaskan.
Melihat kondisi si gadis yang kelelahan dan hari yang mulai malam, pemuda itu pun menawarinya untuk bermalam. “Kamu bermalam saja di sini dan besok kamu bisa melanjutkan perjalanan untuk pulang.”
Sang pemuda meminta agar si gadis untuk tidur di sebuah ranjang miliknya. Sementara dirinya tidur di ujung gubuk. Ia kemudian membuat semacam sekat yang terbuat dari kain sprei dan diikatnya dari ujung gubuk yang satu ke ujung lainnya.
Si gadis tak ingin memejamkan mata meski telah kelelahan. Ia takut jika pemuda yang baru ditemuinya melakukan hal yang bukan-bukan. Matanya tertuju pada kain sprei yang menjadi penyekat keduanya.
Di ujung gubuk, tampak pemuda itu tengah membaca sebuah buku dengan lilin sebagai penerang. Si gadis memandangi bayangan aktivitas pemuda tersebut dan sebuah hal yang aneh dilakukan sang pemuda. Ia menutup bukunya dan mengarahkan jarinya ke lilin yang tengah menyala. Ia mundurkan lagi jarinya dan memasukkan lagi ke api lilin tersebut.
Keheranan menyelimuti pikiran sang gadis. Ia berpikir mungkin si pemuda sedang berusaha membakar jarinya ataupun melakukan sebuah ritual mistis. Atau apa dia bukan manusia?
Ketakutannya semakin bertambah dan membuatnya tak bisa memejamkan mata melihat pemuda itu terus duduk dalam ritual yang dianggapnya aneh.
Fajar menyingsing, ketakutan gadis itu pun mulai reda. Rasa bahagianya semakin bertambah terutama saat si pemuda mau mengantarkannya di sebuah jalan di kota.
Setelah si gadis telah sampai di rumah, ia bercerita banyak tentang apa yang alami saat berada di gubuk. Sang ayah yang merasa penasaran kemudian mencari gubuk pemuda tersebut dan ia menyamar sebagai seseorang yang tersesat dan meminta untuk ditunjukkan jalan pulang. Saat melihat melihat tangan pemuda yang dibalut perban, sang ayah yang menyamar kemudian bertanya dan dijawabnya oleh si pemuda.
“Sekitar dua malam yang lalu ada gadis cantik yang datang kesini. Ia sedang melakukan penelitian dan tertinggal bus tumpangannya. Dia bermalam di sini. Lalu pada malam hari setan membisikkan aku untuk menzinainya. Aku sangat takut untuk tergoda sehingga kubakar setiap jariku agar terhindar dari godaan setan itu. Sesungguhnya pikiran untuk menzinai gadis itu lebih sakit dari sakit tanganku ini.”
Sungguh perkataan sang pemuda membuat ayah si gadis menjadi kagum. Dia tak menyangka di jaman sekarang masih ada pemuda yang takut kepada Allah. Ia pun meminta pemuda tersebut untuk ke rumahnya dan ia nikahkan pula sang pemuda dengan gadis yang tak lain adalah siswi yang ditolongnya saat itu.
Sungguh Allah telah memberi si pemuda hasil terbaik dari keimanannya berupa gadis cantik dengan jalan halal dan bukan jalan haram.
Diambil dari buku Qashashun Abkatni karangan Salim Muraisyid