KabarMakkah.Com - Lantunan adzan itu begitu sendu mengajak siapa saja yang mendengarnya untuk segera memenuhi panggilannya. Panggilan untuk menghadap Robb manusia dengan segera mendirikan shalat ikhlas karena-Nya. Namun selang 5 menit, 10 menit bahkan sampai setengah jam tak ada satu pun warga yang beranjak memenuhi panggilan itu.
Akhirnya sang muadzin bertindak sebagai imam bagi tiang-tiang masjid yang sudah sedia tegak berdiri. Dan tak salah.. sang muadzin yang sudah renta itu akhirnya shalat sendirian tanpa ada seorang makmum pun yang menemani. Sengaja ia berlama-lama dalam shalatnya. Toh tak ada orang lain, dan tak ada pula tangisan anak kecil yang dibawa ibunya untuk belajar shalat berjama’ah yang mengharuskannya mempersingkat shalat.
Selesai salam, ia membalikkan badannya ke arah makmum yang berupa tiang-tiang penyangga masjid. Terpekur ia dalam dzikirnya. Perlahan menetes air matanya mengingat bahwa taman surga itu kini telah sepi. Memorinya melayang kembali ke masa lalu dimana mesjid itu pernah begitu penuh dengan jama’ah yang memakmurkannya. Ia ingat betapa dulu setiap sore hari, ia mengajar mengaji pada anak-anak kecil yang mungkin kini sudah beranjak dewasa.
Hingga kemajuan teknologi memalingkan mereka dari datang ke masjidnya. Kini anak-anak itu lebih senang berada di rumah atau nongkrong bersama kawan-kawannya di mall-mall ditemani gadget canggih yang memudahkan mereka untuk berselancar di dunia maya. Arus informasi yang begitu mudah diakses pun menjadi salah satu penyebab anak-anak didiknya mudah terpengaruh untuk melakukan hal-hal negatif karena filter dalam diri mereka belumlah siap.
Kini mereka menjadi pemalas tingkat tinggi dalam hal beramal sholeh, termasuk diantaranya shalat berjamaah dan mengaji di masjid. Para orang tua pun sama saja. Mereka tidak mengajak dan memberi contoh anak-anaknya untuk shalat berjama’ah di masjid. Bahkan mereka sendiri jarang menunaikan shalat. Mereka begitu disibukkan dengan urusan mencari uang hingga mereka lupa urusan mencari ridho-Nya.
Mereka pun seperti tidak peduli dengan kemerosotan moral anak-anaknya. Jika akhirnya sang anak berurusan dengan pihak berwajib karena masalah perkelahian, pencurian atau terlibat dengan barang haram maka mereka hanya tinggal menebusnya. Atau jika akhirnya sang anak hamil di luar nikah atau ketahuan menghamili putri orang, maka mereka tinggal menikahkannya.
Semua itu terjadi karena manusia enggan untuk meramaikan masjid. Padahal masjid adalah pusat kajian ilmu agama yang mampu membentuk akhlak mulia. Seringkali orang tua hanya mengandalkan pelajaran ilmu agama di sekolah saja bagi anak-anaknya. Mereka tidak sadar bahwa di sekolah masalah agama hanya dikupas sedikit karena porsi pelajarannya pun begitu terbatas dalam setiap minggunya.
Setiap tahun umat islam semakin bertambah jumlahnya. Namun masjid dan surau-surau semakin tak ada pengunjung. Kalau pun ada, mereka adalah orang-orang yang telah masuk kategori camat (calon mati), dimana rambut telah putih beruban dan perawakan telah kurus keriput. Sementara mereka yang muda-muda merasa maut masih lama menjemput, maka mereka tenang-tenang saja menikmati segala perhiasan dunia yang bersifat fana.
Seketika itu taman surga menjadi sepi. Hanya tetesan air mata muadzin tua yang menuruni keriput pipinya saja yang menyayangkan semua itu terjadi.
Akhirnya sang muadzin bertindak sebagai imam bagi tiang-tiang masjid yang sudah sedia tegak berdiri. Dan tak salah.. sang muadzin yang sudah renta itu akhirnya shalat sendirian tanpa ada seorang makmum pun yang menemani. Sengaja ia berlama-lama dalam shalatnya. Toh tak ada orang lain, dan tak ada pula tangisan anak kecil yang dibawa ibunya untuk belajar shalat berjama’ah yang mengharuskannya mempersingkat shalat.
Selesai salam, ia membalikkan badannya ke arah makmum yang berupa tiang-tiang penyangga masjid. Terpekur ia dalam dzikirnya. Perlahan menetes air matanya mengingat bahwa taman surga itu kini telah sepi. Memorinya melayang kembali ke masa lalu dimana mesjid itu pernah begitu penuh dengan jama’ah yang memakmurkannya. Ia ingat betapa dulu setiap sore hari, ia mengajar mengaji pada anak-anak kecil yang mungkin kini sudah beranjak dewasa.
Hingga kemajuan teknologi memalingkan mereka dari datang ke masjidnya. Kini anak-anak itu lebih senang berada di rumah atau nongkrong bersama kawan-kawannya di mall-mall ditemani gadget canggih yang memudahkan mereka untuk berselancar di dunia maya. Arus informasi yang begitu mudah diakses pun menjadi salah satu penyebab anak-anak didiknya mudah terpengaruh untuk melakukan hal-hal negatif karena filter dalam diri mereka belumlah siap.
Kini mereka menjadi pemalas tingkat tinggi dalam hal beramal sholeh, termasuk diantaranya shalat berjamaah dan mengaji di masjid. Para orang tua pun sama saja. Mereka tidak mengajak dan memberi contoh anak-anaknya untuk shalat berjama’ah di masjid. Bahkan mereka sendiri jarang menunaikan shalat. Mereka begitu disibukkan dengan urusan mencari uang hingga mereka lupa urusan mencari ridho-Nya.
Mereka pun seperti tidak peduli dengan kemerosotan moral anak-anaknya. Jika akhirnya sang anak berurusan dengan pihak berwajib karena masalah perkelahian, pencurian atau terlibat dengan barang haram maka mereka hanya tinggal menebusnya. Atau jika akhirnya sang anak hamil di luar nikah atau ketahuan menghamili putri orang, maka mereka tinggal menikahkannya.
Semua itu terjadi karena manusia enggan untuk meramaikan masjid. Padahal masjid adalah pusat kajian ilmu agama yang mampu membentuk akhlak mulia. Seringkali orang tua hanya mengandalkan pelajaran ilmu agama di sekolah saja bagi anak-anaknya. Mereka tidak sadar bahwa di sekolah masalah agama hanya dikupas sedikit karena porsi pelajarannya pun begitu terbatas dalam setiap minggunya.
Setiap tahun umat islam semakin bertambah jumlahnya. Namun masjid dan surau-surau semakin tak ada pengunjung. Kalau pun ada, mereka adalah orang-orang yang telah masuk kategori camat (calon mati), dimana rambut telah putih beruban dan perawakan telah kurus keriput. Sementara mereka yang muda-muda merasa maut masih lama menjemput, maka mereka tenang-tenang saja menikmati segala perhiasan dunia yang bersifat fana.
Seketika itu taman surga menjadi sepi. Hanya tetesan air mata muadzin tua yang menuruni keriput pipinya saja yang menyayangkan semua itu terjadi.