KabarMakkah.Com - Alkisah, suatu hari di sebuah sekolah nampak orang tua murid berdatangan berduyun-duyun memenuhi area parkir. Rupanya hari itu adalah hari pembagian rapor, dimana pengambilannya harus oleh orang tua murid sendiri. Tepat pukul 07.30 guru wali mulai memasuki ruangan kelas disusul oleh para orang tua.
Ketika Pak guru hendak memulai acara, tiba-tiba pintu kelas yang baru saja tertutup dibuka kembali secara perlahan. Masuklah seorang pria paruh baya dengan penampilan alakadarnya sambil tersenyum dan membungkukkan badan tanda meminta maaf karena datang terlambat.
Melihat penampilan pria tersebut, banyak orang tua murid yang langsung memandangnya dengan sebelah mata. Betapa tidak, orang tua murid lainnya datang ke sekolah dengan penampilan bak selebritis. Pakaian yang mereka kenakan adalah pakaian branded yang sudah disetrika rapih, sepatu pun tak kalah mengkilap menunjukkan derajat mahalnya harga yang dibayar untuk membelinya. Begitu pula dengan tas yang mereka bawa. Selain tas itu bermerek, isi dari tas tersebut pun penuh dengan barang-barang berharga.
Sedangkan pria paruh baya tadi, walaupun pakaiannya rapih, namun corak batik yang ia kenakan sudah nampak memudar di mana-mana. Ia pun datang dengan hanya memakai sandal jepit dan tas gendong lusuh yang entah apa isinya.
Pak guru pun segera mempersilahkan pria paruh baya tersebut untuk mengisi daftar hadir. Namun dengan wajah tertunduk ia berkata: “Maaf pak guru, saya tidak bisa membaca dan menulis...” sontak saja para orang tua murid lainnya tertawa kecil mendengar pernyataan pria tadi. Mungkin mereka berpikir: “Hari gini gak bisa baca tulis..?!”
Pak guru berkata: “Tidak apa-apa, saya akan membantu Anda menuliskannya”.
“Tolong sebutkan nama bapak dan nama anaknya bapak” Sambung pak guru.
Pria paruh baya itu pun menyebutkan namanya dan mengatakan bahwa ia adalah ayahnya Aminudin. Ketika mendengar hal itu pak guru nampak terlihat kaget.
Kemudian ia berkata: “Bapak-bapak, Ibu-ibu perkenalkan ini adalah ayahnya Aminudin. Aminudin adalah siswa terpandai di kelas yang kali ini pun menyabet peringkat satu. Dari segi tatakrama, Aminudin adalah anak yang paling sopan terhadap guru. Ia pun menyayangi teman-temannya layaknya saudara sendiri. Ia tak segan mengulurkan bantuan jika ada temannya yang kesulitan. Ia tidak pelit akan ilmu yang dimilikinya. Ia rajin mengajarkan teman-temannya pelajaran yang mereka anggap sulit”.
“Saya sebagai gurunya merasa begitu bangga akan kecerdasan dan sikap ringan tangan Aminudin. Saya sendiri bertanya-tanya, kira-kira bagaimana orang tua Aminudin mendidiknya hingga ia menjadi anak yang begitu baik. Nah.. karena pada kesempatan kali ini ayah Aminudin ada bersama kita, alangkah baiknya jika kita minta beliau untuk sedikit berbagi bagaimana pengalamannya dalam mendidik dan membesarkan putranya”.
“Pak..., jika tidak keberatan, maukah Bapak berbagi pengalaman Bapak dalam mendidik Aminudin, kepada kami semua?”.
Awalnya pria paruh baya itu hendak menolak karena malu. Namun ketika matanya bertemu dengan tatapan penuh harap dari guru yang selama ini mendidik putranya, ia tidak tega untuk mengecewakannya. Maka dengan langkah canggung, perlahan-lahan ia maju ke depan kelas.
Dengan sedikit menunduk, akhirnya ia angkat bicara: “Saya tidak paham bagaimana cara mendidik anak yang benar secara teori ilmu. Saya hanya suka menemani anak saya ketika dia mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Seberapa penatnya saya bekerja banting tulang di proyek bangunan, namun selalu saya sempatkan untuk duduk di sampingnya menemaninya belajar”.
“Pernah suatu hari anak saya bertanya: ‘Pak, apakah Bapak mengerti apa yang saya kerjakan?’ Saya jawab: “Bapak tidak mengerti sama sekali, nak”.
“Jika Bapak tidak mengerti, lalu bagaimana Bapak tahu, saya mengerjakannya dengan benar atau tidak?”.
“Bapak percaya engkau akan berusaha mengerjakannya dengan benar. Bapak bisa lihat dari lamanya waktu yang engkau butuhkan untuk menyelesaikannya. Jika soal-soalnya mudah, maka kau akan mengerjakannya dengan cepat. Jika soal-soalnya sulit, maka kau akan berlama-lama dengannya namun tidak menyerah. Engkau akan mengusir rasa lelahmu dengan mengambil segelas air minum dan menyalakan kipas angin”.
“Suatu ketika sekolah sedang libur, ia ikut bersama saya ke tempat kerja. Disana ia tertegun melihat tinggi dan megahnya bangunan yang sedang kami kerjakan. Maka saya pun bertanya: ‘Nak, apakah kau ingin tinggal di tempat bagus seperti ini?” Anak saya pun menganggukkan kepalanya. Maka saya berkata: “Rajin-rajinlah belajar, jangan pernah menyia-nyiakan waktumu dengan perbuatan yang sia-sia. Jangan menjadi seperti ayah yang hanya mampu menjadi kuli kasar”.
Di rumah, anak saya tidak pernah berpangku tangan. Ia sering membantu saya mencuci pakaian dan membereskan seluruh isi rumah. Ia pun tidak pernah mengeluh jika saya tidak memberinya uang untuk bekal sekolah. Malah ia berkata: ‘Tidak apa-apa Pak, dengan tidak dibekali uang jajan, saya jadi tidak terjerumus oleh ajakan teman-teman untuk bermain internet’ Katanya.
“itu mungkin yang bisa saya bagi di sini, terimakasih atas kesempatan berbicara yang telah Pak guru berikan”. Ucap pria paruh baya itu sembari membungkuk memberi hormat pada sang guru.
Tanpa dikomando, para orang tua murid berdiri dari duduknya dan memberikan tepuk tangan. Mereka merasa tersentuh dengan kisah ayah Aminudin ini. Kini mereka menaruh hormat pada pria paruh baya sederhana yang bahkan menulis serta membaca pun tidak bisa, namun berhasil dalam mendidik anaknya.
Bagaimanakah dengan kita? Sudahkah seperti itu terhadap anak-anak kita?
Ketika Pak guru hendak memulai acara, tiba-tiba pintu kelas yang baru saja tertutup dibuka kembali secara perlahan. Masuklah seorang pria paruh baya dengan penampilan alakadarnya sambil tersenyum dan membungkukkan badan tanda meminta maaf karena datang terlambat.
Ilustrasi kuli bangunan |
Sedangkan pria paruh baya tadi, walaupun pakaiannya rapih, namun corak batik yang ia kenakan sudah nampak memudar di mana-mana. Ia pun datang dengan hanya memakai sandal jepit dan tas gendong lusuh yang entah apa isinya.
Pak guru pun segera mempersilahkan pria paruh baya tersebut untuk mengisi daftar hadir. Namun dengan wajah tertunduk ia berkata: “Maaf pak guru, saya tidak bisa membaca dan menulis...” sontak saja para orang tua murid lainnya tertawa kecil mendengar pernyataan pria tadi. Mungkin mereka berpikir: “Hari gini gak bisa baca tulis..?!”
Pak guru berkata: “Tidak apa-apa, saya akan membantu Anda menuliskannya”.
“Tolong sebutkan nama bapak dan nama anaknya bapak” Sambung pak guru.
Pria paruh baya itu pun menyebutkan namanya dan mengatakan bahwa ia adalah ayahnya Aminudin. Ketika mendengar hal itu pak guru nampak terlihat kaget.
Kemudian ia berkata: “Bapak-bapak, Ibu-ibu perkenalkan ini adalah ayahnya Aminudin. Aminudin adalah siswa terpandai di kelas yang kali ini pun menyabet peringkat satu. Dari segi tatakrama, Aminudin adalah anak yang paling sopan terhadap guru. Ia pun menyayangi teman-temannya layaknya saudara sendiri. Ia tak segan mengulurkan bantuan jika ada temannya yang kesulitan. Ia tidak pelit akan ilmu yang dimilikinya. Ia rajin mengajarkan teman-temannya pelajaran yang mereka anggap sulit”.
“Saya sebagai gurunya merasa begitu bangga akan kecerdasan dan sikap ringan tangan Aminudin. Saya sendiri bertanya-tanya, kira-kira bagaimana orang tua Aminudin mendidiknya hingga ia menjadi anak yang begitu baik. Nah.. karena pada kesempatan kali ini ayah Aminudin ada bersama kita, alangkah baiknya jika kita minta beliau untuk sedikit berbagi bagaimana pengalamannya dalam mendidik dan membesarkan putranya”.
“Pak..., jika tidak keberatan, maukah Bapak berbagi pengalaman Bapak dalam mendidik Aminudin, kepada kami semua?”.
Awalnya pria paruh baya itu hendak menolak karena malu. Namun ketika matanya bertemu dengan tatapan penuh harap dari guru yang selama ini mendidik putranya, ia tidak tega untuk mengecewakannya. Maka dengan langkah canggung, perlahan-lahan ia maju ke depan kelas.
Dengan sedikit menunduk, akhirnya ia angkat bicara: “Saya tidak paham bagaimana cara mendidik anak yang benar secara teori ilmu. Saya hanya suka menemani anak saya ketika dia mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Seberapa penatnya saya bekerja banting tulang di proyek bangunan, namun selalu saya sempatkan untuk duduk di sampingnya menemaninya belajar”.
“Pernah suatu hari anak saya bertanya: ‘Pak, apakah Bapak mengerti apa yang saya kerjakan?’ Saya jawab: “Bapak tidak mengerti sama sekali, nak”.
“Jika Bapak tidak mengerti, lalu bagaimana Bapak tahu, saya mengerjakannya dengan benar atau tidak?”.
“Bapak percaya engkau akan berusaha mengerjakannya dengan benar. Bapak bisa lihat dari lamanya waktu yang engkau butuhkan untuk menyelesaikannya. Jika soal-soalnya mudah, maka kau akan mengerjakannya dengan cepat. Jika soal-soalnya sulit, maka kau akan berlama-lama dengannya namun tidak menyerah. Engkau akan mengusir rasa lelahmu dengan mengambil segelas air minum dan menyalakan kipas angin”.
“Suatu ketika sekolah sedang libur, ia ikut bersama saya ke tempat kerja. Disana ia tertegun melihat tinggi dan megahnya bangunan yang sedang kami kerjakan. Maka saya pun bertanya: ‘Nak, apakah kau ingin tinggal di tempat bagus seperti ini?” Anak saya pun menganggukkan kepalanya. Maka saya berkata: “Rajin-rajinlah belajar, jangan pernah menyia-nyiakan waktumu dengan perbuatan yang sia-sia. Jangan menjadi seperti ayah yang hanya mampu menjadi kuli kasar”.
Di rumah, anak saya tidak pernah berpangku tangan. Ia sering membantu saya mencuci pakaian dan membereskan seluruh isi rumah. Ia pun tidak pernah mengeluh jika saya tidak memberinya uang untuk bekal sekolah. Malah ia berkata: ‘Tidak apa-apa Pak, dengan tidak dibekali uang jajan, saya jadi tidak terjerumus oleh ajakan teman-teman untuk bermain internet’ Katanya.
“itu mungkin yang bisa saya bagi di sini, terimakasih atas kesempatan berbicara yang telah Pak guru berikan”. Ucap pria paruh baya itu sembari membungkuk memberi hormat pada sang guru.
Tanpa dikomando, para orang tua murid berdiri dari duduknya dan memberikan tepuk tangan. Mereka merasa tersentuh dengan kisah ayah Aminudin ini. Kini mereka menaruh hormat pada pria paruh baya sederhana yang bahkan menulis serta membaca pun tidak bisa, namun berhasil dalam mendidik anaknya.
Bagaimanakah dengan kita? Sudahkah seperti itu terhadap anak-anak kita?