KabarMakkah.Com – Sungguh sangat wajar apabila seorang anak bisa merasakan jatuh cinta. Terlebih lagi ketika ia menginjak umur remaja. Cinta memang anugerah dari Allah yang harus disyukuri oleh setiap manusia. Namun sebagai orang tua, kita harus memperhatikan dan jangan menganggap sepele tentang rasa cinta yang muncul pada anak. Jangan sampai cinta yang salah menjerumuskan anak kepada kenistaan.
Dalam menyikapi hal ini, orang tua harus bisa berperan sebagai seorang sahabat. Sangatlah berbeda antara peran menjadi orang tua dengan sahabat. Sebagai seorang sahabat, kita dituntut untuk tidak mengutamakan perintah ataupun otoriter dengan segala aturan di rumah. Semakin kita mengekang, semakin berontak pula sikap seorang anak. Dan yang parahnya adalah mereka akan melakukan pelanggaran tersebut di luar pengawasan kita.
Pergantian posisi menjadi seorang sahabat akan membuat anak menjadi nyaman. Memang peran ini bukanlah selamanya, karena ada wibawa yang harus dikedepankan ketika menghadapi suatu masalah. Namun cara ini menjadikan kita lebih mudah merangkul kepercayaan anak daripada mereka lebih mempercayakan dirinya kepada orang lain.
Ketika seorang anak telah percaya kepada kita, maka dengan mudah kita sebagai orang tua bisa mengarahkannya dan mengendalikan perasaannya tanpa harus dengan sebuah perintah.
Jika anak telah merasakan jatuh cinta kepada lawan jenis, arahkanlah rasa cinta itu kepada cinta yang sebenarnya. Kita bisa menjelaskan tentang kecintaan kepada Allah dan RasulNya. Kita pun bisa menunjukkan bagaimana seharusnya cinta kepada lawan jenis yaitu harus ada dalam sebuah pernikahan.
Arahkan anak untuk mengetahui cara memilih pendamping yang diajarkan oleh Rasulullah. Dan yang lebih utama adalah dari segi agamanya. Akan tetapi tidak harus anak juga untuk memilih seseorang seperti Ustadz ataupun santri. Yang ditekankan adalah bagaimana memilih seorang pendamping yang baik akhlak dan agamanya.
Sementara dalam menjelaskan tentang kemapanan, berilah pengertian bahwa yang disebut mapan bukanlah mereka yang kaya dan memiliki rumah yang mewah. Yang terpenting adalah pasangan tersebut memiliki potensi sendiri dan tidak mengandalkan orang tuanya.
Meski tabu untuk menjelaskan hal tersebut sejak dini, namun alangkah lebih baik daripada membiarkan mereka mencari sendiri jawabannya yang justru kadang salah. Kita pun akan menanggung dosanya karena membiarkan anak terjerumus dalam cinta yang salah.
Wallahu A‘lam
Dalam menyikapi hal ini, orang tua harus bisa berperan sebagai seorang sahabat. Sangatlah berbeda antara peran menjadi orang tua dengan sahabat. Sebagai seorang sahabat, kita dituntut untuk tidak mengutamakan perintah ataupun otoriter dengan segala aturan di rumah. Semakin kita mengekang, semakin berontak pula sikap seorang anak. Dan yang parahnya adalah mereka akan melakukan pelanggaran tersebut di luar pengawasan kita.
Pergantian posisi menjadi seorang sahabat akan membuat anak menjadi nyaman. Memang peran ini bukanlah selamanya, karena ada wibawa yang harus dikedepankan ketika menghadapi suatu masalah. Namun cara ini menjadikan kita lebih mudah merangkul kepercayaan anak daripada mereka lebih mempercayakan dirinya kepada orang lain.
Ketika seorang anak telah percaya kepada kita, maka dengan mudah kita sebagai orang tua bisa mengarahkannya dan mengendalikan perasaannya tanpa harus dengan sebuah perintah.
Jika anak telah merasakan jatuh cinta kepada lawan jenis, arahkanlah rasa cinta itu kepada cinta yang sebenarnya. Kita bisa menjelaskan tentang kecintaan kepada Allah dan RasulNya. Kita pun bisa menunjukkan bagaimana seharusnya cinta kepada lawan jenis yaitu harus ada dalam sebuah pernikahan.
Arahkan anak untuk mengetahui cara memilih pendamping yang diajarkan oleh Rasulullah. Dan yang lebih utama adalah dari segi agamanya. Akan tetapi tidak harus anak juga untuk memilih seseorang seperti Ustadz ataupun santri. Yang ditekankan adalah bagaimana memilih seorang pendamping yang baik akhlak dan agamanya.
Sementara dalam menjelaskan tentang kemapanan, berilah pengertian bahwa yang disebut mapan bukanlah mereka yang kaya dan memiliki rumah yang mewah. Yang terpenting adalah pasangan tersebut memiliki potensi sendiri dan tidak mengandalkan orang tuanya.
Meski tabu untuk menjelaskan hal tersebut sejak dini, namun alangkah lebih baik daripada membiarkan mereka mencari sendiri jawabannya yang justru kadang salah. Kita pun akan menanggung dosanya karena membiarkan anak terjerumus dalam cinta yang salah.
Wallahu A‘lam