KabarMakkah.Com – Sering kita mendengar ungkapan bahwa “Diam adalah Emas” sehingga sikap diam menjadi lebih utama dibandingkan dengan berbicara. Banyak yang mengatakan bahwa jika kita berbicara justru akan mendatangkan bencana. Namun Allah justru memerintahkan kita untuk bersuara yang lantang ketika melihat kedzaliman.
Sebuah kisah ini akan menjelaskan bagaimana seharusnya memaknai ungkapan “Diam adalah Emas” tersebut.
Kisah ini bermula dari seorang lelaki miskin yang berprofesi sebagai seorang tukang kayu. Ia mencari kayu bakar di hutan dan selanjutnya ia jual ke pasar. Hasil usahanya hanya cukup untuk makan saja, bahkan bisa dikatakan tidak cukup. Meski seorang tukang kayu, namun ia dikenal sebagai sosok seorang yang sabar.
Seperti hari-hari biasanya, ia pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Setelah terkumpul banyak, dipikulnya kayu tersebut untuk dijual ke pasar. Melihat suasana pasar yang penuh sesak, membuat dirinya harus menghindari runcingnya kayu bakar dari hadapan orang-orang. Ia pun kemudian berteriak, “Minggir, tukang kayu bakar mau lewat!”
Orang yang ada di pasar kemudian semua minggir demi menghindari runcingnya kayu bakar yang dibawa si tukang kayu tersebut. Saat berada di tengah pasar, tiba-tiba seorang bangsawan tidak menghiraukan teriakan si tukang kayu. Alhasil baju kebangsawanannya robek cukup besar akibat tergores kayu bakar.
Sang bangsawan kemudian memarah-marahi tukang kayu tersebut tanpa menghiraukan sedikit pun kondisi tukang kayu yang kelelahan. Tanpa berpikir panjang, si bangsawan pun menyeret tukang kayu tersebut untuk dibawa kepada hakim. Maksud si bangsawan adalah supaya ia mendapatkan ganti rugi atas bajunya yang telah robek.
Setelah sampai di hadapan hakim, sang bangsawan kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya. Namun sang hakim tidak langsung menyalahkan si tukang kayu dan berpikir bahwa mungkin ia tidak sengaja.
Sang bangsawan membantah apa yang disampaikan hakim. Sementara si tukang kayu masih tetap diam seribu bahasa. Hakim pun kemudian menanyai si tukang kayu, namun pertanyaan yang diajukannya hanya dijawab dengan diam seribu bahasa.
Sang hakim kemudian berkesimpulan bahwa si tukang kayu itu adalah orang bisu dan tidak bisa memperingatkan bangsawan tersebut tadi saat di pasar.
Dengan geram, si bangsawan kemudian berkata, “Tidak mungkin, tadi aku mendengar ia berteriak-teriak. Tidak mungkin ia bisu! Pokoknya saya minta ganti rugi!" Tegasnya
Dengan tenang dan sedikit tersenyum, sang hakim kemudian berkata, “Jika engkau mendengar peringatannya, mengapa engkau tidak minggir? Jika engkau sudah diperingatkannya, berarti ia tidak bersalah. Justru engkaulah yang tidak menghiraukan ucapannya.”
Apa yang diucapkan sang hakim langsung membuat si bangsawan terdiam. Ia kemudian menyadari apa yang dikatakannya justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Akhirnya si tukang kayu bisa bebas dari dakwaan dan bisa terhindar dari ganti rugi berkat sikap diamnya tersebut.
Jadi dari kisah tersebut sangat jelas kapan kita harus diam, yaitu ketika dengan berbicara justru tidak akan menolong. Namun jika memang dihadapkan untuk memberikan peringatan agar manusia terhindar dari marabahaya, maka disitulah kita harus bersuara.
Wallahu A’lam
Sebuah kisah ini akan menjelaskan bagaimana seharusnya memaknai ungkapan “Diam adalah Emas” tersebut.
Kisah ini bermula dari seorang lelaki miskin yang berprofesi sebagai seorang tukang kayu. Ia mencari kayu bakar di hutan dan selanjutnya ia jual ke pasar. Hasil usahanya hanya cukup untuk makan saja, bahkan bisa dikatakan tidak cukup. Meski seorang tukang kayu, namun ia dikenal sebagai sosok seorang yang sabar.
Seperti hari-hari biasanya, ia pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Setelah terkumpul banyak, dipikulnya kayu tersebut untuk dijual ke pasar. Melihat suasana pasar yang penuh sesak, membuat dirinya harus menghindari runcingnya kayu bakar dari hadapan orang-orang. Ia pun kemudian berteriak, “Minggir, tukang kayu bakar mau lewat!”
Orang yang ada di pasar kemudian semua minggir demi menghindari runcingnya kayu bakar yang dibawa si tukang kayu tersebut. Saat berada di tengah pasar, tiba-tiba seorang bangsawan tidak menghiraukan teriakan si tukang kayu. Alhasil baju kebangsawanannya robek cukup besar akibat tergores kayu bakar.
Sang bangsawan kemudian memarah-marahi tukang kayu tersebut tanpa menghiraukan sedikit pun kondisi tukang kayu yang kelelahan. Tanpa berpikir panjang, si bangsawan pun menyeret tukang kayu tersebut untuk dibawa kepada hakim. Maksud si bangsawan adalah supaya ia mendapatkan ganti rugi atas bajunya yang telah robek.
Setelah sampai di hadapan hakim, sang bangsawan kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya. Namun sang hakim tidak langsung menyalahkan si tukang kayu dan berpikir bahwa mungkin ia tidak sengaja.
Sang bangsawan membantah apa yang disampaikan hakim. Sementara si tukang kayu masih tetap diam seribu bahasa. Hakim pun kemudian menanyai si tukang kayu, namun pertanyaan yang diajukannya hanya dijawab dengan diam seribu bahasa.
Sang hakim kemudian berkesimpulan bahwa si tukang kayu itu adalah orang bisu dan tidak bisa memperingatkan bangsawan tersebut tadi saat di pasar.
Dengan geram, si bangsawan kemudian berkata, “Tidak mungkin, tadi aku mendengar ia berteriak-teriak. Tidak mungkin ia bisu! Pokoknya saya minta ganti rugi!" Tegasnya
Dengan tenang dan sedikit tersenyum, sang hakim kemudian berkata, “Jika engkau mendengar peringatannya, mengapa engkau tidak minggir? Jika engkau sudah diperingatkannya, berarti ia tidak bersalah. Justru engkaulah yang tidak menghiraukan ucapannya.”
Apa yang diucapkan sang hakim langsung membuat si bangsawan terdiam. Ia kemudian menyadari apa yang dikatakannya justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Akhirnya si tukang kayu bisa bebas dari dakwaan dan bisa terhindar dari ganti rugi berkat sikap diamnya tersebut.
Jadi dari kisah tersebut sangat jelas kapan kita harus diam, yaitu ketika dengan berbicara justru tidak akan menolong. Namun jika memang dihadapkan untuk memberikan peringatan agar manusia terhindar dari marabahaya, maka disitulah kita harus bersuara.
Wallahu A’lam