KabarMakkah.Com - Sering banyak terjadi dimana ilmu yang dituntut selama hidup seseorang tidak memberikan faedah apa pun bagi orang tersebut, begitu pun bagi orang lain. Artinya ilmu yang selama ini dipelajari tidak dapat dipetik berkahnya. Salah satu alasan mengapa hal ini bisa terjadi adalah karena kita sudah terlanjur melupakan akan adab-adab dalam mencari ilmu.
Adab-adab dalam mencari ilmu yang banyak ditinggalkan para pencari ilmu membuat ilmu yang dikaji menjadi kurang berfaedah. Nah apa saja adab-adab yang sudah mulai dilupakan tersebut? berikut kami kupas mengenai adab-adab mencari ilmu agar berkah:
1. Bersikap Sopan Santun Pada Guru
Guru yangg sangat besar jasanya sudah sepatutnya dihormati dan dijunjung tinggi. Mulai dari sikap sampai pada bahasa yang kita gunakan untuk berkomunikasi dengannya, haruslah mengandung etika sopan santun.
Namun kini banyak terjadi dimana murid merasa lebih tahu dari guru. Kemudian ia mendebat gurunya habis-habisan dengan melabrak nilai-nilai kesopanan. Memang benar jika ilmu yang dimiliki guru mungkin saja kadang keliru, dan si murid mengetahui lebih banyak akan ilmu tersebut. Namun ketika kita hendak mengoreksi kekeliruan sang guru, gunakanlah tutur kata yang sopan disertai sikap hormat bukannya melecehkan.
Ingatlah! Mungkin saja kita menang pada saat debat tersebut, namun keberkahan ilmu tiada lagi didapat. Kemenangan itu hanya sesaat, namun sejatinya kita kalah dan mendapatkan piala retaknya hubungan dengan sang guru.
Sebenarnya telah banyak contoh-contoh perbuatan generasi terdahulu yang sangat menghormati gurunya. Pernah suatu ketika, Abdullah bin Abbas menuntun kendaraan gurunya (Ubay bin Ka’ab) dengan menarik tali kekangnya. Maka bertanyalah sang guru: “Ada apa ini , wahai putra Abbas?” Ia pun menjawab: “Demikianlah kami diperintahkan untuk menghormati guru-guru kami”. Abdullah pun tetap menuntun kendaraan gurunya hingga sang guru sampai ke tempat tujuan.
2. Menyucikan Hati Dari Hal Yang Dimurkai Allah
Imam Nawawi berkata, “Seyogyanya bagi seorang penuntut ilmu menyucikan hatinya dari kotoran-kotoran sehingga ia layak menerima ilmu, menghafal dan memanfaatkannya”.
Ibaratnya seperti seseorang yang hendak membeli madu dengan menuangnya pada wadah yang kotor. Jika ia jadi menuangkan madu tersebut, maka keharuman dan manisnya madu akan ternoda. Dirinya dan orang lain yang hendak memakan madu tersebut pun akan enggan menyuapkannya pada mulut masing-masing.
Begitu pun dengan ilmu. Jika ilmu diwadahi dengan hati yang kotor dan penuh dengan berbagai penyakit, maka keberkahan ilmu itu tidak akan dapat dipetik. Berkah ilmu hakikatnya adalah buah dari meresapnya ilmu pada hati yang bersih yang kemudian diamalkan dengan anggota badan. Dengan demikian penyakit hati dapat menjadi penghalang bagi jalan masuknya ilmu ke dalam sanubari.
Maka tak heran jika pernah suatu hari, Imam Malik memberi nasihat pada muridnya Imam Syafi’i: “Wahai Muhammad (panggilan untuk Imam Syafi’i), bertakwalah kepada Allah. Jauhilah maksiat. Sesungguhnya Allah SWT telah meletakkan cahaya di dalam hatimu maka janganlah kamu padamkan dengan maksiat-maksiat kepada-Nya”.
3. Niat Ikhlas Karena Allah
Sesungguhnya segala sesuatu dinilai karena niatnya, begitu pun dalam hal menuntut ilmu. Para penuntut ilmu seharusnya menyadari hal ini sejak awal. Janganlah meniatkan pencarian ilmu tersebut demi meraih pujian dan penghormatan manusia. Janganlah pula menuntut ilmu demi tujuan meraup dunia. Jika hal ini terjadi maka ilmu tersebut pasti kurang berkah.
Sebagai contoh, seorang guru yang hanya mau menurunkan ilmunya pada murid-murid yang berani membayarnya dengan harga tinggi. Ia tidak peduli dengan siswa-siswa miskin yang haus akan ilmu darinya. Padahal mungkin saja kelak dengan takdir Allah, siswa-siswa miskinlah yang mampu mempraktekkan ilmu tersebut dan melahirkan karya yang bermanfaat bagi orang banyak.
Maka niatkanlah pencarian ilmu itu dengan ikhlas karena Allah semata. Niscaya ilmu yang diperoleh akan banyak membawa berkah bagi diri sendiri dan orang lain.
4. Mengambil Faedah Dimana Saja Berada
Abu Al-Bakhtariy berkata, “Duduk bersama suatu kaum yang lebih mempunyai ilmu daripadaku, lebih aku sukai daripada bersama suatu kaum yang derajat ilmunya di bawah diriku”.
Maksud perkataannya bukanlah sombong dan bukan pula karena ia tidak mau bergaul dengan orang-orang berderajat ilmu rendah. Akan tetapi maksudnya, ia lebih suka duduk-duduk bersama orang-orang berderajat ilmu tinggi karena dengan demikian ia bisa mengambil manfaat sebanyak-banyaknya.
Perkataan ini tidaklah salah, namun perlu kita ingat pula bahwa ilmu itu tersebar sedikit di sana dan sedikit di situ. Artinya kita tetap bisa mengambil manfaat dari orang-orang berderajat ilmu rendah. Maka ambillah faedah dimana saja berada, bahkan dari anak kecil atau dari seorang budak berkulit hitam sekali pun selama apa yang dikatakannya adalah ilmu yang benar.
5. Sederhana Dalam Mengonsumsi Makanan Dan Minuman
Seorang ulama berkata: “Ilmu tidak akan diperoleh bagi orang yang makan hingga kekenyangan”. Mengapa?
Lukman Al Hakim berkata: “Wahai anakku, jika perut telah terisi penuh, pikiran akan tertidur, hikmah pun akan berhenti mengalir, dan badan akan lumpuh dari beribadah”.
Imam Syafi’i pun berkata: “Aku tidak pernah merasa kenyang sejak enam belas tahun silam. Karena kekenyangan itu membebani badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, membuat kantuk dan melemahkan orang tersebut dari beribadah”.
Tak heran jika generasi terdahulu begitu cerdas dalam menuntut ilmu. Mereka lebih sering menghiasi hari-harinya dengan shaum ketimbang menuruti nafsu perut. Sedangkan kondisi kita sekarang ini, lebih banyak wisata kuliner ketimbang shaum. Maka tak heran pula jika ilmu yang ditimba sulit sekali meresap kedalam hati dan pikiran.
Jadi perbaikilah adab dalam menuntut ilmu sekarang juga agar keberkahan bisa didapat.
Adab-adab dalam mencari ilmu yang banyak ditinggalkan para pencari ilmu membuat ilmu yang dikaji menjadi kurang berfaedah. Nah apa saja adab-adab yang sudah mulai dilupakan tersebut? berikut kami kupas mengenai adab-adab mencari ilmu agar berkah:
1. Bersikap Sopan Santun Pada Guru
Guru yangg sangat besar jasanya sudah sepatutnya dihormati dan dijunjung tinggi. Mulai dari sikap sampai pada bahasa yang kita gunakan untuk berkomunikasi dengannya, haruslah mengandung etika sopan santun.
Namun kini banyak terjadi dimana murid merasa lebih tahu dari guru. Kemudian ia mendebat gurunya habis-habisan dengan melabrak nilai-nilai kesopanan. Memang benar jika ilmu yang dimiliki guru mungkin saja kadang keliru, dan si murid mengetahui lebih banyak akan ilmu tersebut. Namun ketika kita hendak mengoreksi kekeliruan sang guru, gunakanlah tutur kata yang sopan disertai sikap hormat bukannya melecehkan.
Ingatlah! Mungkin saja kita menang pada saat debat tersebut, namun keberkahan ilmu tiada lagi didapat. Kemenangan itu hanya sesaat, namun sejatinya kita kalah dan mendapatkan piala retaknya hubungan dengan sang guru.
Sebenarnya telah banyak contoh-contoh perbuatan generasi terdahulu yang sangat menghormati gurunya. Pernah suatu ketika, Abdullah bin Abbas menuntun kendaraan gurunya (Ubay bin Ka’ab) dengan menarik tali kekangnya. Maka bertanyalah sang guru: “Ada apa ini , wahai putra Abbas?” Ia pun menjawab: “Demikianlah kami diperintahkan untuk menghormati guru-guru kami”. Abdullah pun tetap menuntun kendaraan gurunya hingga sang guru sampai ke tempat tujuan.
2. Menyucikan Hati Dari Hal Yang Dimurkai Allah
Imam Nawawi berkata, “Seyogyanya bagi seorang penuntut ilmu menyucikan hatinya dari kotoran-kotoran sehingga ia layak menerima ilmu, menghafal dan memanfaatkannya”.
Ibaratnya seperti seseorang yang hendak membeli madu dengan menuangnya pada wadah yang kotor. Jika ia jadi menuangkan madu tersebut, maka keharuman dan manisnya madu akan ternoda. Dirinya dan orang lain yang hendak memakan madu tersebut pun akan enggan menyuapkannya pada mulut masing-masing.
Begitu pun dengan ilmu. Jika ilmu diwadahi dengan hati yang kotor dan penuh dengan berbagai penyakit, maka keberkahan ilmu itu tidak akan dapat dipetik. Berkah ilmu hakikatnya adalah buah dari meresapnya ilmu pada hati yang bersih yang kemudian diamalkan dengan anggota badan. Dengan demikian penyakit hati dapat menjadi penghalang bagi jalan masuknya ilmu ke dalam sanubari.
Maka tak heran jika pernah suatu hari, Imam Malik memberi nasihat pada muridnya Imam Syafi’i: “Wahai Muhammad (panggilan untuk Imam Syafi’i), bertakwalah kepada Allah. Jauhilah maksiat. Sesungguhnya Allah SWT telah meletakkan cahaya di dalam hatimu maka janganlah kamu padamkan dengan maksiat-maksiat kepada-Nya”.
3. Niat Ikhlas Karena Allah
Sesungguhnya segala sesuatu dinilai karena niatnya, begitu pun dalam hal menuntut ilmu. Para penuntut ilmu seharusnya menyadari hal ini sejak awal. Janganlah meniatkan pencarian ilmu tersebut demi meraih pujian dan penghormatan manusia. Janganlah pula menuntut ilmu demi tujuan meraup dunia. Jika hal ini terjadi maka ilmu tersebut pasti kurang berkah.
Sebagai contoh, seorang guru yang hanya mau menurunkan ilmunya pada murid-murid yang berani membayarnya dengan harga tinggi. Ia tidak peduli dengan siswa-siswa miskin yang haus akan ilmu darinya. Padahal mungkin saja kelak dengan takdir Allah, siswa-siswa miskinlah yang mampu mempraktekkan ilmu tersebut dan melahirkan karya yang bermanfaat bagi orang banyak.
Maka niatkanlah pencarian ilmu itu dengan ikhlas karena Allah semata. Niscaya ilmu yang diperoleh akan banyak membawa berkah bagi diri sendiri dan orang lain.
4. Mengambil Faedah Dimana Saja Berada
Abu Al-Bakhtariy berkata, “Duduk bersama suatu kaum yang lebih mempunyai ilmu daripadaku, lebih aku sukai daripada bersama suatu kaum yang derajat ilmunya di bawah diriku”.
Maksud perkataannya bukanlah sombong dan bukan pula karena ia tidak mau bergaul dengan orang-orang berderajat ilmu rendah. Akan tetapi maksudnya, ia lebih suka duduk-duduk bersama orang-orang berderajat ilmu tinggi karena dengan demikian ia bisa mengambil manfaat sebanyak-banyaknya.
Perkataan ini tidaklah salah, namun perlu kita ingat pula bahwa ilmu itu tersebar sedikit di sana dan sedikit di situ. Artinya kita tetap bisa mengambil manfaat dari orang-orang berderajat ilmu rendah. Maka ambillah faedah dimana saja berada, bahkan dari anak kecil atau dari seorang budak berkulit hitam sekali pun selama apa yang dikatakannya adalah ilmu yang benar.
5. Sederhana Dalam Mengonsumsi Makanan Dan Minuman
Seorang ulama berkata: “Ilmu tidak akan diperoleh bagi orang yang makan hingga kekenyangan”. Mengapa?
Lukman Al Hakim berkata: “Wahai anakku, jika perut telah terisi penuh, pikiran akan tertidur, hikmah pun akan berhenti mengalir, dan badan akan lumpuh dari beribadah”.
Imam Syafi’i pun berkata: “Aku tidak pernah merasa kenyang sejak enam belas tahun silam. Karena kekenyangan itu membebani badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, membuat kantuk dan melemahkan orang tersebut dari beribadah”.
Tak heran jika generasi terdahulu begitu cerdas dalam menuntut ilmu. Mereka lebih sering menghiasi hari-harinya dengan shaum ketimbang menuruti nafsu perut. Sedangkan kondisi kita sekarang ini, lebih banyak wisata kuliner ketimbang shaum. Maka tak heran pula jika ilmu yang ditimba sulit sekali meresap kedalam hati dan pikiran.
Jadi perbaikilah adab dalam menuntut ilmu sekarang juga agar keberkahan bisa didapat.