KabarMakkah.Com – Sesungguhnya Allah memberikan kemudahan bagi umat manusia dimana Allah menjadikan semua yang ada di muka bumi ini bersifat mubah dan halal untuk dimanfaatkan. Adapun yang berkaitan dengan adanya barang halal ataupun najis adalah merupakan sebuah pengecualian, seperti yang difirmankan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
“Dialah Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kalian.” (QS Al Baqarah 29)
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Syaikh Abdurrahman As Sadi memberikan pernyataannya dalam bentuk tulisan, “Dia menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi, sebagai karena berbuat baik dan memberi rahmat, untuk dimanfaatkan, dinikmati dan diambil pelajaran. Pada kandungan ayat yang mulia ini terdapat dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah suci. Karena ayat ini disampaikan dalam konteks memaparkan kenikmatan" (Tafsir Al Karim Arrahman 48)
Dari itulah para ulama sepakat untuk menyatakan bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah halal.
Adapun dalam menerapkan kaidah ini dalam bentuk barang kegunaan, teradapat dua cara yang bisa diambil.
1. Semua benda yang dikategorikan sebagai najis haruslah berdasarkan dalil. Tanpa adanya dalil, maka pernyataan tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan hukum asal.
2. Jika memang dalam sebuah benda seperti kain terdapat najis, maka tidak bisa dihukumi najis sehingga jelas terbukti najis yang dimaksud. Jadilah bahwa setiap sesuatu harus kembali pada hukum asalnya yaitu suci.
Dengan melihat keterangan diatas, maka sudah sepantasnya jika barang yang dijadikan busana seperti jilbab maupun pakaian tidak perlu harus ada sertifikasi halal ataupun haram. Karena sesungguhnya untuk mengetahui kadar najis dalam pakaian sangatlah mudah dan tentu harus ada bukti yang nyata.
Pihak yang terkait menyatakan bahwa banyak produsen kain yang menggunakan gelatin babi. Bagaimana hukumnya? Pernyataan yang dilontarkan tersebut hanya berupa persangkaan dari keragu-raguan. Ini karena sesungguhnya kita tidak mendapatkan bukti otentik dari proses pembuatan kain tersebut.
Sejatinya ada berbagai macam najis yang terdapat di sekitar kita. Akan tetapi bukan berarti kita harus bersikap was-was. Contohnya adalah ketika sedang berjalan di pinggir jalan, lalu tiba-tiba ada motor yang menyerempet genangan air dan lalu membasahi celana kita, maka sebuah keraguan-raguan akan muncul apakah celana yang kita gunakan terkena najis ataukah tidak. Padahal belum terlihat bukti dari najis yang kita khawatirkan.
Jika keraguan ini terus ada, lama-kelamaan akan berubah menjadi was-was. Masyarakat akan dihantui dengan berbagai peralatan atau keadaan di sekitarnya karena takut terkena najis. Bahkan bisa jadi hanya karena secuil najis, kita akan membersihkannya dengan berember-ember air. Jadilah sebuah budaya kecemasan yang membuat masyarakat menjadi kurang nyaman dan dilanda keresahan.
Padahal dari kisah Rasulullah sendiri menyatakan bahwa beliau memakai kain yang berasal dari negeri Syam dan Yaman. Rasulullah dan para sahabatnya memang sengaja membeli kain ke daerah tersebut karena Madinah bukanlah penghasil kapas.
Asal tahu saja bahwa negeri-negeri tersebut berada dalam kekuasaan kaum Nasrani yang menghalalkan babi dan khamr. Namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Rasulullah mengecek tentang keabsahan suatu pakaian impor yang dibelinya apakah halal atau haram. Bahkan tanpa adanya kecemasan, Rasulullah dan para sahabat langsung menggunakannya.
Seharusnya Model Pakaian Yang Jadi Perhatian
Dalam berpakaian, modellah harusnya menjadi topik yang mesti diperhatikan apakah telah syar’i ataukah tidak. Sementara dari segi bahan, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara kain untuk muslim ataupun untuk non muslim. Yang berbeda dari keduanya adalah dari segi model berpakaiannya saja.
Seharusnya MUI memberikan sertifikasi kepada model hijab yang benar-benar syar’i . Bahkan bercadar pun menjadi wajib jika berdasarkan madzab syafiiyah.
Tak ada gunanya jika kainnya memiliki sertifikat halal namun modelnya justru menampakkan aurat. Mungkin bagi masyarakat awam akan tenang menggunakan jilbab bersertifikasi tersebut, padahal sejatinya tidak ada kata syar’i atas model hijab tersebut, bahkan terkesan sebagai hijab modis yang tak syar'i sedikit pun.
“Dialah Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kalian.” (QS Al Baqarah 29)
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Syaikh Abdurrahman As Sadi memberikan pernyataannya dalam bentuk tulisan, “Dia menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi, sebagai karena berbuat baik dan memberi rahmat, untuk dimanfaatkan, dinikmati dan diambil pelajaran. Pada kandungan ayat yang mulia ini terdapat dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah suci. Karena ayat ini disampaikan dalam konteks memaparkan kenikmatan" (Tafsir Al Karim Arrahman 48)
Dari itulah para ulama sepakat untuk menyatakan bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah halal.
Adapun dalam menerapkan kaidah ini dalam bentuk barang kegunaan, teradapat dua cara yang bisa diambil.
1. Semua benda yang dikategorikan sebagai najis haruslah berdasarkan dalil. Tanpa adanya dalil, maka pernyataan tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan hukum asal.
2. Jika memang dalam sebuah benda seperti kain terdapat najis, maka tidak bisa dihukumi najis sehingga jelas terbukti najis yang dimaksud. Jadilah bahwa setiap sesuatu harus kembali pada hukum asalnya yaitu suci.
Dengan melihat keterangan diatas, maka sudah sepantasnya jika barang yang dijadikan busana seperti jilbab maupun pakaian tidak perlu harus ada sertifikasi halal ataupun haram. Karena sesungguhnya untuk mengetahui kadar najis dalam pakaian sangatlah mudah dan tentu harus ada bukti yang nyata.
Pihak yang terkait menyatakan bahwa banyak produsen kain yang menggunakan gelatin babi. Bagaimana hukumnya? Pernyataan yang dilontarkan tersebut hanya berupa persangkaan dari keragu-raguan. Ini karena sesungguhnya kita tidak mendapatkan bukti otentik dari proses pembuatan kain tersebut.
Sejatinya ada berbagai macam najis yang terdapat di sekitar kita. Akan tetapi bukan berarti kita harus bersikap was-was. Contohnya adalah ketika sedang berjalan di pinggir jalan, lalu tiba-tiba ada motor yang menyerempet genangan air dan lalu membasahi celana kita, maka sebuah keraguan-raguan akan muncul apakah celana yang kita gunakan terkena najis ataukah tidak. Padahal belum terlihat bukti dari najis yang kita khawatirkan.
Jika keraguan ini terus ada, lama-kelamaan akan berubah menjadi was-was. Masyarakat akan dihantui dengan berbagai peralatan atau keadaan di sekitarnya karena takut terkena najis. Bahkan bisa jadi hanya karena secuil najis, kita akan membersihkannya dengan berember-ember air. Jadilah sebuah budaya kecemasan yang membuat masyarakat menjadi kurang nyaman dan dilanda keresahan.
Padahal dari kisah Rasulullah sendiri menyatakan bahwa beliau memakai kain yang berasal dari negeri Syam dan Yaman. Rasulullah dan para sahabatnya memang sengaja membeli kain ke daerah tersebut karena Madinah bukanlah penghasil kapas.
Asal tahu saja bahwa negeri-negeri tersebut berada dalam kekuasaan kaum Nasrani yang menghalalkan babi dan khamr. Namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Rasulullah mengecek tentang keabsahan suatu pakaian impor yang dibelinya apakah halal atau haram. Bahkan tanpa adanya kecemasan, Rasulullah dan para sahabat langsung menggunakannya.
Seharusnya Model Pakaian Yang Jadi Perhatian
Dalam berpakaian, modellah harusnya menjadi topik yang mesti diperhatikan apakah telah syar’i ataukah tidak. Sementara dari segi bahan, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara kain untuk muslim ataupun untuk non muslim. Yang berbeda dari keduanya adalah dari segi model berpakaiannya saja.
Seharusnya MUI memberikan sertifikasi kepada model hijab yang benar-benar syar’i . Bahkan bercadar pun menjadi wajib jika berdasarkan madzab syafiiyah.
Tak ada gunanya jika kainnya memiliki sertifikat halal namun modelnya justru menampakkan aurat. Mungkin bagi masyarakat awam akan tenang menggunakan jilbab bersertifikasi tersebut, padahal sejatinya tidak ada kata syar’i atas model hijab tersebut, bahkan terkesan sebagai hijab modis yang tak syar'i sedikit pun.