Perjalanan hidup seorang anak manusia dalam mencari kebenaran seringkali beragam dan unik jalannya, Seperti yang dialami oleh Bule asal belanda ini, setelah karirnya sukses sebagai seorang technopreneur ternyata hal itu sama sekali tidak membuat hatinya tenang, dan hal itulah yang membuat dia sering keliling dunia.
Di usianya yang masih muda, segala materi bisa dibilang sudah didapatkan olehnya. Namun ternyata, kemapanan bukanlah segalanya, ada hal lain yang masih kurang dari hidup teknopreneur asal Belanda ini.
Sampai akhirnya sebuah perjalanan spiritual ke Lombok, Indonesia, sekitar 10 tahun lalu membuat hidup Chaim berubah drastis dan jadi lebih berarti.
Lelaki yang akrab dipanggil Petter ini merupakan salah satu pionir internet di Belanda. Ketika berumur 13 tahun -- sekitar 20 tahun lalu -- ia sudah jadi seorang programming dengan modal otodidak.
Di usia 16 tahun, Petter muda sudah mampu membuat situs e-commerce sendiri. Tak ayal, dengan merintis karir sebagai teknoprenuer lebih awal, pada usia 23 tahun sudah semua materi dimilikinya.
"Apartemen, mobil saya sudah punya semuanya. Hanya saja ada sesuatu yang kurang dalam hidup saya, merasa kurang berarti banyak. Dan saya ingin melakukan hal lain untuk banyak orang," tuturnya.
Beberapa waktu lalu, Fetter memang sempat ramai diperbincangkan karena dirinya dianggap melakukan upaya Pemurtadan (kristenisasi) saat hendak mendirikan Yayasan Peduli Anak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Selama berada di sana, Fetter harus rela merasakan getirnya hidup berjuang sendirian demi menunjukkan tekadnya yang sekeras baja.
Kamu pasti akan merasa sangat sulit dan putus asa ketika harus menuju wilayah terpencil dan menjadi orang yang sangat asing bagi penduduknya. Bisa saja niat baik tersebut ditanggapi berbeda oleh mereka, hal inilah yang dialami oleh Fetter. Ia sampai menjelaskan pada penduduk lokal di Lombok bahwa dirinya bukanlah Atheis atau Kristen. Dimana dirinya adalah seorang Believers (orang yang tak beragama namun percaya dengan adanya Tuhan).
Sontak saja apa yang dikatakan oleh Fetter itu membuat para penduduk yang mayoritas Muslim sangat khawatir sehingga mereka menuding Fetter melakukan aksi permurtadan dengan kedok mendirikan yayasan. Sekalipun begitu, niat dan tekad Fetter untuk membantu anak-anak kurang mampu di Lombok agar bisa mengenyam pendidikan seperti anak sebayanya sangat begitu kuat.
Agar suasana kondusif, Fetter kemudian membuka dialog dengan penduduk dan tokoh masyarakat setempat. Dari seringnya berkomunikasi dengan penduduk lokal dan beberapa tokoh masyarakat, Akhirnya membuat Fetter jatuh cinta dengan Islam. Tiap hari ia mendengar adzan dan melihat warga sholat berjamaah, Fetter merasakan bahwa Islam juga memanggil dirinya ketika adzan dilantunkan, Hingga akhirnya lelaki berusia 33 tahun ini memilih untuk menjadi mualaf.
Fetter mengungkapkan niat baiknya tersebut untuk menjadi Muslim pada ulama setempat. Proses pengucapan sayahadat Fetter itu disaksikan oleh ribuan orang dan membuatnya gugup luar biasa saat harus membaca dua kalimat syahadat. Walaupun dalam keadaan gemetar penuh keringat dingin, tekad Fetter pun tak goyah untuk menjadi seorang muslim.
"Saya banyak ikut acara di masjid, solat Jumat, puasa, lebaran. Masih belajar tapi coba mengikuti ajaran islam," tuturnya dengan bahasa Indonesia yang sudah fasih.
Kini, sembari membesarkan Yayasan Peduli Anak di Lombok, Fetter belajar agama pada ulama disana, sedikit demi sedikit hingga menjadi Muslim yang taat seperti belajar shalat dan membaca Al Qur'an.
Jalan kehidupan Fetter untuk menemukan kebenaran sejati penuh liku liku. Namun Fetter membuktikan bahwa cintanya pada Islam memberikannya keberanian dan kekuatan untuk selalu membantu dan mengasihi pada sesama.
Di usianya yang masih muda, segala materi bisa dibilang sudah didapatkan olehnya. Namun ternyata, kemapanan bukanlah segalanya, ada hal lain yang masih kurang dari hidup teknopreneur asal Belanda ini.
Sampai akhirnya sebuah perjalanan spiritual ke Lombok, Indonesia, sekitar 10 tahun lalu membuat hidup Chaim berubah drastis dan jadi lebih berarti.
Lelaki yang akrab dipanggil Petter ini merupakan salah satu pionir internet di Belanda. Ketika berumur 13 tahun -- sekitar 20 tahun lalu -- ia sudah jadi seorang programming dengan modal otodidak.
Di usia 16 tahun, Petter muda sudah mampu membuat situs e-commerce sendiri. Tak ayal, dengan merintis karir sebagai teknoprenuer lebih awal, pada usia 23 tahun sudah semua materi dimilikinya.
"Apartemen, mobil saya sudah punya semuanya. Hanya saja ada sesuatu yang kurang dalam hidup saya, merasa kurang berarti banyak. Dan saya ingin melakukan hal lain untuk banyak orang," tuturnya.
Beberapa waktu lalu, Fetter memang sempat ramai diperbincangkan karena dirinya dianggap melakukan upaya Pemurtadan (kristenisasi) saat hendak mendirikan Yayasan Peduli Anak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Selama berada di sana, Fetter harus rela merasakan getirnya hidup berjuang sendirian demi menunjukkan tekadnya yang sekeras baja.
Kamu pasti akan merasa sangat sulit dan putus asa ketika harus menuju wilayah terpencil dan menjadi orang yang sangat asing bagi penduduknya. Bisa saja niat baik tersebut ditanggapi berbeda oleh mereka, hal inilah yang dialami oleh Fetter. Ia sampai menjelaskan pada penduduk lokal di Lombok bahwa dirinya bukanlah Atheis atau Kristen. Dimana dirinya adalah seorang Believers (orang yang tak beragama namun percaya dengan adanya Tuhan).
Sontak saja apa yang dikatakan oleh Fetter itu membuat para penduduk yang mayoritas Muslim sangat khawatir sehingga mereka menuding Fetter melakukan aksi permurtadan dengan kedok mendirikan yayasan. Sekalipun begitu, niat dan tekad Fetter untuk membantu anak-anak kurang mampu di Lombok agar bisa mengenyam pendidikan seperti anak sebayanya sangat begitu kuat.
Agar suasana kondusif, Fetter kemudian membuka dialog dengan penduduk dan tokoh masyarakat setempat. Dari seringnya berkomunikasi dengan penduduk lokal dan beberapa tokoh masyarakat, Akhirnya membuat Fetter jatuh cinta dengan Islam. Tiap hari ia mendengar adzan dan melihat warga sholat berjamaah, Fetter merasakan bahwa Islam juga memanggil dirinya ketika adzan dilantunkan, Hingga akhirnya lelaki berusia 33 tahun ini memilih untuk menjadi mualaf.
Fetter mengungkapkan niat baiknya tersebut untuk menjadi Muslim pada ulama setempat. Proses pengucapan sayahadat Fetter itu disaksikan oleh ribuan orang dan membuatnya gugup luar biasa saat harus membaca dua kalimat syahadat. Walaupun dalam keadaan gemetar penuh keringat dingin, tekad Fetter pun tak goyah untuk menjadi seorang muslim.
"Saya banyak ikut acara di masjid, solat Jumat, puasa, lebaran. Masih belajar tapi coba mengikuti ajaran islam," tuturnya dengan bahasa Indonesia yang sudah fasih.
Kini, sembari membesarkan Yayasan Peduli Anak di Lombok, Fetter belajar agama pada ulama disana, sedikit demi sedikit hingga menjadi Muslim yang taat seperti belajar shalat dan membaca Al Qur'an.
Jalan kehidupan Fetter untuk menemukan kebenaran sejati penuh liku liku. Namun Fetter membuktikan bahwa cintanya pada Islam memberikannya keberanian dan kekuatan untuk selalu membantu dan mengasihi pada sesama.