KabarMakkah.Com - Tak selamanya seseorang yang mempunyai masa lalu kelam, berakhir dalam kekelaman pula. Berikut ini ada sebuah kisah seorang hamba yang dibukakan pintu taubat baginya dan diberikan kesempatan untuk meraih rahmat-Nya.
Hasna, begitulah ia diberi nama oleh kedua orang tuanya. Gadis arab itu berasal dari keluarga kaya raya yang selalu dimanja sehingga semua keinginannya selalu ia dapatkan. Baju, perhiasan, kendaraan mudah saja baginya untuk memperoleh hal-hal tersebut tanpa perlu keluar keringat. Namun berlimpahnya materi tidak membuatnya puas, ia haus akan kasih sayang kedua orang tuanya yang selalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Hasna pun tumbuh menjadi gadis yang tak mengenal agama sebab tak seorang pun yang mengajarinya. Ibunya seorang nasrani sedang ayahnya seorang muslim. Namun keduanya tidak mementingkan aktivitas ibadah. Ibunya jarang pergi ke gereja sedangkan ayahnya belum pernah dilihatnya mendirikan shalat.
Hal yang menjadi kegemaran Hasna tiada lain hanyalah hura-hura bersama teman-teman sekolah menengahnya. Jalan-jalan, mendengarkan musik, pergi berlibur sudah menjadi menu biasa dalam kesehariannya.
Seperti halnya ketika liburan sekolah, ia bersama teman-temannya biasa menyewa villa di salah satu tempat yang dekat dengan area rekreasi. Siang hari mereka habisnya untuk bersenang-senang yang tentu saja tidak ada batasan campur baur dengan laki-laki. Pada malam hari mereka beristirahat di villa dimana ia dan teman-teman perempuannya bertempat di satu kamar sedang teman-teman laki-lakinya bertempat di kamar yang lain.
Suatu ketika di musim liburan, Hasna dan teman-temannya sepakat untuk tidak berlibur kemana pun. Namun mereka akan mengadakan pesta menginap di salah satu rumah temannya yang sedang ditinggal pergi kedua orangtuanya. Alhasil rumah itu pun kosong dari pengawasan orang tua sehingga mereka merasa bebas berbuat sesuka hati.
Malam itu awalnya berlalu seperti biasa, dimana mereka duduk-duduk ngemil sambil berbincang, dilengkapi dengan menonton tayangan televisi. Namun ketika malam beranjak larut, salah satu teman wanitanya pamit masuk kamar bersama seorang teman laki-laki. Hasna yang masih polos hanya berpikir mungkin keduanya ada perlu bicara berdua.
Namun betapa terkejutnya Hasna ketika ia hendak pergi ke toilet dan melewati kamar tempat masuk kedua temannya tadi dimana pintunya sedikit terbuka, ia melihat kedua temannya itu sedang diatas ranjang dalam kondisi yang memalukan.
Ia pun membuka pintu kamar semakin lebar, sehingga dua insan yang sedang melakukan aktivitas terkutuk tersebut berpaling ke arahnya. Namun bukannya malu, teman wanitanya malah berkata: “Ooh, kau Hasna.. kirain siapa? Kalau kau mau, pakailah kamar kosong di sebelah bersama cowok yang kau suka,”
Tanpa sadar, refleks tangannya melayang ke pipi teman wanitanya itu. “Beraninya kamu!” Teriaknya.
Hasna menghambur keluar, ia pulang sambil menangis. Sejak kejadian itu, Hasna pun sering menyendiri dan merenung. Diam-diam ada perasaan aneh yang mengaliri hatinya. Ia tak lagi menyukai hang out bersama teman-temannya, ia pun tak lagi suka barang-barang mewah yang dimilikinya. Hidupnya terasa kosong, ia merasa sudah tersesat tanpa arah dengan kesesatan yang begitu jauh.
Di tengah-tengah renungannya, ia sering terusik dengan kumandang adzan yang kini terasa begitu sendu. Kumandang adzan itu seakan memangil-manggil jiwanya untuk menghadap pencipta-Nya. Akhirnya diambilnya air wudhu walau tak yakin apakah wudhu yang ia lakukan sudah benar atau tidak. Ia hanya meniru gerakan wudhu teman-teman muslimnya yang pernah ia lihat. Digelarnya sajadah dan dikenakannya mukena peninggalan neneknya. Ia pun shalat dengan bacaan seadanya, shalat pertama di sepanjang usia balighnya.
Tak kuasa ia menahan tangis di sela-sela sujudnya, begitu pun ketika ia berdo’a setelah salam. Ia merasa penuh noda dan dosa. Permohonan ampun pada Allah, tak henti mengalir dari lisannya. Ia ingin memperbaiki diri, ia ingin menebus semua kekhilafannya.
Tiba-tiba terlintas di pikirannya bahwa ia mempunyai seorang paman muslim yang cukup alim. Maka terbentuk tekad hatinya untuk belajar agama pada pamannya itu. Tak ingin membuang waktu, segera ia berangkat ke rumah sang paman. Walau malu, ia utarakan niatnya untuk menimba ilmu agama. Ternyata sang paman menerima ia di rumahnya dengan penuh kasih. Dengan sabar, beliau mengajarinya berbagai ilmu agama beserta pengamalannya.
Hasna pun begitu takjub dengan isi kitab suci umat muslim yang di dalamnya penuh dengan hikmah dan pengajaran. Hingga suatu hari ia bertanya: “Paman, kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menghafal Al Qur’an?”
“Insya Allah 5 tahun,” Jawab sang paman.
“5 tahun? Bisa-bisa saya sudah meninggal,” pikir Hasna. Ia sedih mendengar lamanya waktu yang diperlukan untuk menghafal seluruh Al Qur’an. Namun dalam hati ia bertekad dirinya akan berusaha mempersingkat waktu tersebut. Maka mulailah ia menghafal Qur’an sejak hari itu. Tak disangka kerja keras cerminan kesungguhan tekadnya membuahkan hasil luar biasa. Ia mampu menyelesaikan hafalan 30 juz Al Qur’annya hanya dalam waktu 3 bulan.
Subhanallah, Ternyata sekarang Hasna berhasil menjadi seorang hafidzah.
Ilustrasi |
Hasna, begitulah ia diberi nama oleh kedua orang tuanya. Gadis arab itu berasal dari keluarga kaya raya yang selalu dimanja sehingga semua keinginannya selalu ia dapatkan. Baju, perhiasan, kendaraan mudah saja baginya untuk memperoleh hal-hal tersebut tanpa perlu keluar keringat. Namun berlimpahnya materi tidak membuatnya puas, ia haus akan kasih sayang kedua orang tuanya yang selalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Hasna pun tumbuh menjadi gadis yang tak mengenal agama sebab tak seorang pun yang mengajarinya. Ibunya seorang nasrani sedang ayahnya seorang muslim. Namun keduanya tidak mementingkan aktivitas ibadah. Ibunya jarang pergi ke gereja sedangkan ayahnya belum pernah dilihatnya mendirikan shalat.
Hal yang menjadi kegemaran Hasna tiada lain hanyalah hura-hura bersama teman-teman sekolah menengahnya. Jalan-jalan, mendengarkan musik, pergi berlibur sudah menjadi menu biasa dalam kesehariannya.
Seperti halnya ketika liburan sekolah, ia bersama teman-temannya biasa menyewa villa di salah satu tempat yang dekat dengan area rekreasi. Siang hari mereka habisnya untuk bersenang-senang yang tentu saja tidak ada batasan campur baur dengan laki-laki. Pada malam hari mereka beristirahat di villa dimana ia dan teman-teman perempuannya bertempat di satu kamar sedang teman-teman laki-lakinya bertempat di kamar yang lain.
Suatu ketika di musim liburan, Hasna dan teman-temannya sepakat untuk tidak berlibur kemana pun. Namun mereka akan mengadakan pesta menginap di salah satu rumah temannya yang sedang ditinggal pergi kedua orangtuanya. Alhasil rumah itu pun kosong dari pengawasan orang tua sehingga mereka merasa bebas berbuat sesuka hati.
Malam itu awalnya berlalu seperti biasa, dimana mereka duduk-duduk ngemil sambil berbincang, dilengkapi dengan menonton tayangan televisi. Namun ketika malam beranjak larut, salah satu teman wanitanya pamit masuk kamar bersama seorang teman laki-laki. Hasna yang masih polos hanya berpikir mungkin keduanya ada perlu bicara berdua.
Namun betapa terkejutnya Hasna ketika ia hendak pergi ke toilet dan melewati kamar tempat masuk kedua temannya tadi dimana pintunya sedikit terbuka, ia melihat kedua temannya itu sedang diatas ranjang dalam kondisi yang memalukan.
Ia pun membuka pintu kamar semakin lebar, sehingga dua insan yang sedang melakukan aktivitas terkutuk tersebut berpaling ke arahnya. Namun bukannya malu, teman wanitanya malah berkata: “Ooh, kau Hasna.. kirain siapa? Kalau kau mau, pakailah kamar kosong di sebelah bersama cowok yang kau suka,”
Tanpa sadar, refleks tangannya melayang ke pipi teman wanitanya itu. “Beraninya kamu!” Teriaknya.
Hasna menghambur keluar, ia pulang sambil menangis. Sejak kejadian itu, Hasna pun sering menyendiri dan merenung. Diam-diam ada perasaan aneh yang mengaliri hatinya. Ia tak lagi menyukai hang out bersama teman-temannya, ia pun tak lagi suka barang-barang mewah yang dimilikinya. Hidupnya terasa kosong, ia merasa sudah tersesat tanpa arah dengan kesesatan yang begitu jauh.
Di tengah-tengah renungannya, ia sering terusik dengan kumandang adzan yang kini terasa begitu sendu. Kumandang adzan itu seakan memangil-manggil jiwanya untuk menghadap pencipta-Nya. Akhirnya diambilnya air wudhu walau tak yakin apakah wudhu yang ia lakukan sudah benar atau tidak. Ia hanya meniru gerakan wudhu teman-teman muslimnya yang pernah ia lihat. Digelarnya sajadah dan dikenakannya mukena peninggalan neneknya. Ia pun shalat dengan bacaan seadanya, shalat pertama di sepanjang usia balighnya.
Tak kuasa ia menahan tangis di sela-sela sujudnya, begitu pun ketika ia berdo’a setelah salam. Ia merasa penuh noda dan dosa. Permohonan ampun pada Allah, tak henti mengalir dari lisannya. Ia ingin memperbaiki diri, ia ingin menebus semua kekhilafannya.
Tiba-tiba terlintas di pikirannya bahwa ia mempunyai seorang paman muslim yang cukup alim. Maka terbentuk tekad hatinya untuk belajar agama pada pamannya itu. Tak ingin membuang waktu, segera ia berangkat ke rumah sang paman. Walau malu, ia utarakan niatnya untuk menimba ilmu agama. Ternyata sang paman menerima ia di rumahnya dengan penuh kasih. Dengan sabar, beliau mengajarinya berbagai ilmu agama beserta pengamalannya.
Hasna pun begitu takjub dengan isi kitab suci umat muslim yang di dalamnya penuh dengan hikmah dan pengajaran. Hingga suatu hari ia bertanya: “Paman, kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menghafal Al Qur’an?”
“Insya Allah 5 tahun,” Jawab sang paman.
“5 tahun? Bisa-bisa saya sudah meninggal,” pikir Hasna. Ia sedih mendengar lamanya waktu yang diperlukan untuk menghafal seluruh Al Qur’an. Namun dalam hati ia bertekad dirinya akan berusaha mempersingkat waktu tersebut. Maka mulailah ia menghafal Qur’an sejak hari itu. Tak disangka kerja keras cerminan kesungguhan tekadnya membuahkan hasil luar biasa. Ia mampu menyelesaikan hafalan 30 juz Al Qur’annya hanya dalam waktu 3 bulan.
Subhanallah, Ternyata sekarang Hasna berhasil menjadi seorang hafidzah.