Namanya Mbah Satinah. Usianya sudah terbilang senja, Sekitar 90 tahunan. Namun lihatlah semangat dan ketabahannya dalam menjalani kehidupan. Tak kalah dengan anak muda yang masih bertubuh kokoh. Nenek asal Kulonprogo hingga saat ini masih tekun bekerja untuk menyambung hidup.
Beliau tidak pernah mengeluh apalagi menengadahkan tangan untuk mengharap belas kasihan dari orang lain. Dan yang membuat saya takjub, Sekalipun kehidupannya tergolong keras, Mbah Satinah tak pernah melupakan sholat lima waktu tepat pada waktunya. Sekalipun harus dikerjakan di emperan pertokoan di Pasar Beringharjo, Yogyakarta.
Dalam kesehariannya, Mbah Satinah bekerja sebagai pemotong batang cabai. Dulu, ketika masih muda, dia bekerja sebagai kuli panggul di pasar ini. Namun, kini fisiknya tak mampu lagi untuk mengangkat barang berat. Jadi, “Aku milih yang ringan saja,” tutur dia.
Jarak antara Kulonprogo dan Beringharjo cukup jauh. Oleh karena itu, Mbah Satinah pulang hanya dua minggu sekali saja dalam seminggu.
Sehari-hari, dia menginap di emperan toko bersama beberapa orang yang senasib dengannya. Di sanalah mereka bercengkerama. Mbah Satinah juga menjalankan salat di emperan itu.
Soal penghasilan, tidak menentu. Tapi yang jelas, jauh di bawah upah minimum kota (UMK) Yogyakarta. Namun dia tetap semangat. Tak mau menyerah.
Di pasar inilah keringatnya selalu menetes, Dan dia akan terus bekerja. “Sampai saya nggak mampu kerja.” ucapnya dengan lirih.
Beliau tidak pernah mengeluh apalagi menengadahkan tangan untuk mengharap belas kasihan dari orang lain. Dan yang membuat saya takjub, Sekalipun kehidupannya tergolong keras, Mbah Satinah tak pernah melupakan sholat lima waktu tepat pada waktunya. Sekalipun harus dikerjakan di emperan pertokoan di Pasar Beringharjo, Yogyakarta.
Dalam kesehariannya, Mbah Satinah bekerja sebagai pemotong batang cabai. Dulu, ketika masih muda, dia bekerja sebagai kuli panggul di pasar ini. Namun, kini fisiknya tak mampu lagi untuk mengangkat barang berat. Jadi, “Aku milih yang ringan saja,” tutur dia.
Jarak antara Kulonprogo dan Beringharjo cukup jauh. Oleh karena itu, Mbah Satinah pulang hanya dua minggu sekali saja dalam seminggu.
Sehari-hari, dia menginap di emperan toko bersama beberapa orang yang senasib dengannya. Di sanalah mereka bercengkerama. Mbah Satinah juga menjalankan salat di emperan itu.
Soal penghasilan, tidak menentu. Tapi yang jelas, jauh di bawah upah minimum kota (UMK) Yogyakarta. Namun dia tetap semangat. Tak mau menyerah.
Di pasar inilah keringatnya selalu menetes, Dan dia akan terus bekerja. “Sampai saya nggak mampu kerja.” ucapnya dengan lirih.