Mau nikah kok malah dipersulit? Itulah fakta yang memang banyak terjadi di lingkungan kita saat ini. Pernikahan yang seharusnya mudah baik dari segi pasangan jodoh, jatuh hari pelaksanaan, besar dan jenis mahar yang diberikan serta keberlangsungan penyelenggaraan acara pernikahan itu sendiri, kini menjadi sesuatu yang ribet dengan segudang aturan dan syarat.
Sebut saja salah satu contohnya sistem hitung-hitungan jodoh berdasarkan weton (hari kelahiran) yang banyak dipakai –mohon maaf- masyarakat Jawa. Menurut mereka hari dan pasaran lahir seseorang ada neptu-nya (nilainya), yakni sebagai berikut:
Nama Hari = Neptu
Ahad = 5
Senen = 4
Selasa = 3
Rabu = 7
Kamis = 8
Jum’at = 6
Sabtu = 9
Nama Pasaran=Neptu
Legi = 5
Pahing = 9
Pon = 7
Wage = 4
Kliwon = 8
Hari dan pasaran kelahiran dari calon pengantin, masing-masing dijumlahkan dulu kemudian dikurangi sembilan. Misalnya: hari kelahiran pengantin perempuan adalah jum’at wage, maka neptunya = (6 + 4) – 9 = 1. Sedangkan hari kelahiran pengantin laki-laki adalah sabtu wage maka neptunya = (9 + 4) – 9 = 4.
Menurut sisa tersebut yakni 1 dan 4 maka pasangan calon pengantin tersebut jika jadi bersatu akan banyak celakanya. Jika sisanya 1 dan 6 akan jauh sandang pangannya. Jika sisanya 2 dan 3 maka salah seorang dari calon pengantin tersebut akan cepat wafat, dan seterusnya.
Padahal tidak ada musibah dan keberuntungan yang datang menimpa seseorang kecuali telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Apalagi perhitungan berdasarkan hari kelahiran tersebut berani memprediksi cepat lambatnya kematian seseorang. Sungguh pernyataan yang bertentangan dengan Kalamullah. Hidup dan mati seseorang telah ditentukan batas waktunya oleh Allah SWT dan tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan dirinya akan ditimpa kematian, apakah dalam waktu dekat ataukah dalam waktu yang relatif masih lama.
Banyak calon pasangan pengantin yang tidak jadi bersatu melangsungkan pernikahan karena weton mereka tidak cocok. Mereka mencari dan menunggu jodoh lain datang yang hitung-hitungan tanggal kelahirannya akan lebih mendatangkan keberuntungan. Terbayang jika jodoh lain ini tak kunjung datang, sedangkan usia terus merayap meninggalkan masa muda.
Islam tidak mengajarkan sedikit pun hitung-hitungan hari kelahiran untuk melihat cocok tidaknya jodoh seseorang. Malah contoh real di zaman Nabi justru menggambarkan bahwa pernikahan diberlangsungkan dengan segera dan dengan proses yang begitu mudah. Jika seseorang telah akil baligh, Nabi SAW menyarankannya untuk cepat-cepat menikah. Hal ini bisa menghindarkan diri seseorang dari terjerumus kedalam dosa perzinahan.
Masalah harta yang dimiliki atau mahar yang akan diberikan pun tidak sesulit sekarang. Pernah suatu ketika Nabi SAW bertanya pada para sahabatnya : ”Siapakah diantara kalian yang mau menikah dengan shahabiyah ini? Lalu ada salah seorang sahabat yang maju mengajukan diri. Nabi SAW bersabda: “Pulanglah ke rumahmu dan carilah barang yang bisa dijadikan mahar untuknya, walaupun itu hanya sebuah cincin besi”.
Sekembalinya sahabat tersebut dari rumahnya, ia datang dengan tangan kosong. Rupanya Ia tidak menemukan sesuatu apapun yang bisa dijadikan mahar. Sahabat tersebut berkata: “Sungguh aku tidak memiliki apa pun kecuali baju yang menempel di badanku ini”.
Nabi SAW pun bertanya: “Apakah engkau punya beberapa hafalan Al qur’an?”
“Aku memilikinya, ya Rasulullah”. Jawab sahabat tersebut.
Akhirnya Nabi SAW pun menikahkannya dengan shahabiyah tersebut dengan mahar hafalan Al Qur’an.
Bukan tidak boleh memberikan mahar yang besar. Malah hal itu dianjurkan dan dicontohkan pula oleh Nabi SAW. Namun jika kondisi ekonomi tidak mendukung, maka mahar hafalan Al Qur’an pun tidak menjadi soal. Malah jika dilihat dari segi pandang akhirat, pemberi mahar hafalan Al Qur’an lebih dapat diharapkan untuk menuntun jalan ke syurga bagi istri dan anaknya kelak. Dibandingkan dengan dia yang memberikan mahar berupa uang, emas, kendaraan mewah dan sebagainya, namun do’a sholat pun ia tidak bisa.
Jika Rasulullah SAW pun memudahkannya, lalu mengapa masyarakat kita mempersulitnya? Bukankah selama ini kita selalu mengaku bahwa junjungan dan suri teladan kita semua adalah Rasulullah SAW. Lalu mengapa pengakuan tersebut hanya ada di lisan tanpa dibuktikan dengan perbuatan? Siapa sejatinya yang kita ikuti dalam urusan ini? Rasulullah yang merupakan manusia pilihan Allah ataukah kebanyakan orang yang mengikuti sangkaan-sangkaan belaka?
Jadi mudahkanlah urusan pernikahan, walau bukan berarti menyepelekan. Segerakanlah dan jangan dipersulit. Wallahu A'lam.
Sebut saja salah satu contohnya sistem hitung-hitungan jodoh berdasarkan weton (hari kelahiran) yang banyak dipakai –mohon maaf- masyarakat Jawa. Menurut mereka hari dan pasaran lahir seseorang ada neptu-nya (nilainya), yakni sebagai berikut:
Nama Hari = Neptu
Ahad = 5
Senen = 4
Selasa = 3
Rabu = 7
Kamis = 8
Jum’at = 6
Sabtu = 9
Nama Pasaran=Neptu
Legi = 5
Pahing = 9
Pon = 7
Wage = 4
Kliwon = 8
Hari dan pasaran kelahiran dari calon pengantin, masing-masing dijumlahkan dulu kemudian dikurangi sembilan. Misalnya: hari kelahiran pengantin perempuan adalah jum’at wage, maka neptunya = (6 + 4) – 9 = 1. Sedangkan hari kelahiran pengantin laki-laki adalah sabtu wage maka neptunya = (9 + 4) – 9 = 4.
Menurut sisa tersebut yakni 1 dan 4 maka pasangan calon pengantin tersebut jika jadi bersatu akan banyak celakanya. Jika sisanya 1 dan 6 akan jauh sandang pangannya. Jika sisanya 2 dan 3 maka salah seorang dari calon pengantin tersebut akan cepat wafat, dan seterusnya.
Padahal tidak ada musibah dan keberuntungan yang datang menimpa seseorang kecuali telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Apalagi perhitungan berdasarkan hari kelahiran tersebut berani memprediksi cepat lambatnya kematian seseorang. Sungguh pernyataan yang bertentangan dengan Kalamullah. Hidup dan mati seseorang telah ditentukan batas waktunya oleh Allah SWT dan tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan dirinya akan ditimpa kematian, apakah dalam waktu dekat ataukah dalam waktu yang relatif masih lama.
Banyak calon pasangan pengantin yang tidak jadi bersatu melangsungkan pernikahan karena weton mereka tidak cocok. Mereka mencari dan menunggu jodoh lain datang yang hitung-hitungan tanggal kelahirannya akan lebih mendatangkan keberuntungan. Terbayang jika jodoh lain ini tak kunjung datang, sedangkan usia terus merayap meninggalkan masa muda.
Islam tidak mengajarkan sedikit pun hitung-hitungan hari kelahiran untuk melihat cocok tidaknya jodoh seseorang. Malah contoh real di zaman Nabi justru menggambarkan bahwa pernikahan diberlangsungkan dengan segera dan dengan proses yang begitu mudah. Jika seseorang telah akil baligh, Nabi SAW menyarankannya untuk cepat-cepat menikah. Hal ini bisa menghindarkan diri seseorang dari terjerumus kedalam dosa perzinahan.
Masalah harta yang dimiliki atau mahar yang akan diberikan pun tidak sesulit sekarang. Pernah suatu ketika Nabi SAW bertanya pada para sahabatnya : ”Siapakah diantara kalian yang mau menikah dengan shahabiyah ini? Lalu ada salah seorang sahabat yang maju mengajukan diri. Nabi SAW bersabda: “Pulanglah ke rumahmu dan carilah barang yang bisa dijadikan mahar untuknya, walaupun itu hanya sebuah cincin besi”.
Sekembalinya sahabat tersebut dari rumahnya, ia datang dengan tangan kosong. Rupanya Ia tidak menemukan sesuatu apapun yang bisa dijadikan mahar. Sahabat tersebut berkata: “Sungguh aku tidak memiliki apa pun kecuali baju yang menempel di badanku ini”.
Nabi SAW pun bertanya: “Apakah engkau punya beberapa hafalan Al qur’an?”
“Aku memilikinya, ya Rasulullah”. Jawab sahabat tersebut.
Akhirnya Nabi SAW pun menikahkannya dengan shahabiyah tersebut dengan mahar hafalan Al Qur’an.
Bukan tidak boleh memberikan mahar yang besar. Malah hal itu dianjurkan dan dicontohkan pula oleh Nabi SAW. Namun jika kondisi ekonomi tidak mendukung, maka mahar hafalan Al Qur’an pun tidak menjadi soal. Malah jika dilihat dari segi pandang akhirat, pemberi mahar hafalan Al Qur’an lebih dapat diharapkan untuk menuntun jalan ke syurga bagi istri dan anaknya kelak. Dibandingkan dengan dia yang memberikan mahar berupa uang, emas, kendaraan mewah dan sebagainya, namun do’a sholat pun ia tidak bisa.
Jika Rasulullah SAW pun memudahkannya, lalu mengapa masyarakat kita mempersulitnya? Bukankah selama ini kita selalu mengaku bahwa junjungan dan suri teladan kita semua adalah Rasulullah SAW. Lalu mengapa pengakuan tersebut hanya ada di lisan tanpa dibuktikan dengan perbuatan? Siapa sejatinya yang kita ikuti dalam urusan ini? Rasulullah yang merupakan manusia pilihan Allah ataukah kebanyakan orang yang mengikuti sangkaan-sangkaan belaka?
Jadi mudahkanlah urusan pernikahan, walau bukan berarti menyepelekan. Segerakanlah dan jangan dipersulit. Wallahu A'lam.