KabarMakkah.Com – Suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang sebanding dalam rumah tangga. Namun tentu saja secara spesifik, ada perbedaan yang menjadi hak ataupun tanggung jawab tersebut. Bahkan dalam hal kebutuhan biologis sang suami, itu akan terkait dengan pemberian nafkah seorang suami pada istrinya. Namun apakah dibenarkan jika istri menolak ajakan suami karena tidak dinafkahi?
Dalam Al Quran tertulis secara jelas tentang hak istri yang sepadan dengan kewajibannya.
“Para istri memiliki hak yang sepadan dengan kewajibannya, sesuai ukuran yang wajar” (QS Al Baqarah 228)
Apa yang menjadi hak dari istri dan merupakan suatu kewajiban suami? Salah satunya adalah mendapatkan nafkah. Di dalam Al Quran Allah berfirman:
“ Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS An Nisa 34)
Tak hanya di dalam Al Quran saja pesan untuk kewajiban dari seorang suami, namun dalam Hadist pun Nabi berpesan:
“Bertakwalah kepada Allah dalam menghadapi istri. Kalian menjadikannya sebagai istri dengan amanah Allah, kalian dihalalkan hubungan dengan kalimat Allah. Hak mereka yang menjadi kewajiban kalian adalah memberi nafkah makanan dan pakaian sesuai ukuran yang sewajarnya” (HR Muslim)
Dengan keterangan tersebut, Nabi pun memberi ketegasan bagi seorang suami yang tidak memberi nafkah kepada istrinya
“Seseorang dikatakan berbuat dosa, ketika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi” (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Dalam Al Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan “Ulama sepakat suami wajib memberi nafkah istri, jika suami telah berusia baligh. Kecuali untuk istri yang nusyuz (membangkang). Demikian yang disebutkan Ibnul Mundzir dan yang lainnya”.
Lantas apa yang menjadi kewajiban dari seorang istri kepada suaminya?
Seorang istri memiliki tanggung jawab untuk mentaati kepada suaminya. Itupun selama sang suami tidak menyuruh pada sesuatu yang dilarang oleh Allah seperti berbuat maksiat ataupun melakukan dosa.
Mudahnya istri dalam memasuki surga telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadist:
“Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya, maka dia dipersilakan untuk masuk surga dari pintu mana saja yang dia kehendaki” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban)
Bahkan dalam satu hadist dijelaskan bahwa hak yang lebih wajib ditunaikan seorang wanita setelah Allah dan RasulNya adalah hak suaminya.
Namun apa yang terjadi jika kewajiban dari masing-masing pihak tidak ditunaikan?
Saat yang demikian maka merupakan saat dimana seorang suami telah mendzalimi istrinya dan juga sebaliknya. Namun dalam ajaran Islam tidak diajarkan yang namanya membalas kedzaliman dengan kedzaliman pula. Yang berhak membalasnya hanyalah Allah saat manusia telah berada di alam akhirat.
Islam tidak mengajarkan seorang istri untuk tidak menunaikan kewajibannya meski hak yang harusnya ia peroleh, tidak diberikan oleh suaminya. Ini tak lain karena akan menimbulkan permasalahan yang baru.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar Rifai
“Jika salah satu pasangan tidak menunaikan kewajiban kepada yang lain, bukan berarti dia harus membalasnya dengan tidak menunaikan kewajibannya kepada pasangannya karena masing-masing akan dimintai pertanggung jawaban disebabkan keteledorannya pada hari kiamat nanti”
Dengan demikian sangat salah jika suatu pelanggaran dibalas dengan pelanggaran yang lainnya. Solusinya adalah dengan cara yang baik apakah mau bersabar atau menghentikan pernikahan tersebut.
Jadi bagaimana wanita menyikapi akan masalah hak yang tidak diberikan oleh suaminya itu?
Melanjutkan perkataannya, Syaikh Ar Rifai menambahkan bahwa saat seorang suami tidak lagi menafkahi istrinya, maka seorang istri bisa memiliki dua pilihan apakah mau bersabar atau menggugat perceraian. Apabila ia memilih untuk bersabar, maka lakukanlah apa yang menjadi kewajiban dari seorang istri kepada suaminya, tak terkecuali melayani seorang suami di ranjang. Namun jika seorang istri memilih untuk berpisah atau cerai, maka tidak ada dosa bagi istri tersebut.
Al Qurthubi tentang memahami makna perkataan surat An Nisa diatas berkesimpulan bahwa jika seorang suami tidak lagi menafkahi istrinya maka ia tidak disebut sebagai seorang pemimpin dari istrinya. Jika sudah tidak lagi berstatus sebagai pemimpin bagi istrinya, seorang istri bisa mengajukan talak karena tujuan dari pernikahan telah hilang.
Begitu pun dalam kitab Subulus Salam yang menceritakan tentang keputusan Umar yang menulis surat kepada para panglimanya agar memberikan nafkah kepada istri-istri mereka atau mentalak istri mereka karena ketidakmampuan dalam menafkahi.
Dengan demikian bagi seorang istri yang memang benar-benar mencintai suaminya dan mau berjuang bersama, sudah selayaknya untuk bersabar dan jika mampu bisa membantunya dalam mencari penghidupan. Namun jika sudah tidak ada rasa kasih sayang lagi diantara keduanya dan suami tidak lagi memenuhi apa yang menjadi kewajibannya, seorang istri bisa meminta sebuah kata perceraian meski hal itu dibenci oleh Allah SWT.
Dalam Al Quran tertulis secara jelas tentang hak istri yang sepadan dengan kewajibannya.
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Para istri memiliki hak yang sepadan dengan kewajibannya, sesuai ukuran yang wajar” (QS Al Baqarah 228)
Apa yang menjadi hak dari istri dan merupakan suatu kewajiban suami? Salah satunya adalah mendapatkan nafkah. Di dalam Al Quran Allah berfirman:
“ Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS An Nisa 34)
Tak hanya di dalam Al Quran saja pesan untuk kewajiban dari seorang suami, namun dalam Hadist pun Nabi berpesan:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Bertakwalah kepada Allah dalam menghadapi istri. Kalian menjadikannya sebagai istri dengan amanah Allah, kalian dihalalkan hubungan dengan kalimat Allah. Hak mereka yang menjadi kewajiban kalian adalah memberi nafkah makanan dan pakaian sesuai ukuran yang sewajarnya” (HR Muslim)
Dengan keterangan tersebut, Nabi pun memberi ketegasan bagi seorang suami yang tidak memberi nafkah kepada istrinya
“Seseorang dikatakan berbuat dosa, ketika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi” (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Dalam Al Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan “Ulama sepakat suami wajib memberi nafkah istri, jika suami telah berusia baligh. Kecuali untuk istri yang nusyuz (membangkang). Demikian yang disebutkan Ibnul Mundzir dan yang lainnya”.
Lantas apa yang menjadi kewajiban dari seorang istri kepada suaminya?
Seorang istri memiliki tanggung jawab untuk mentaati kepada suaminya. Itupun selama sang suami tidak menyuruh pada sesuatu yang dilarang oleh Allah seperti berbuat maksiat ataupun melakukan dosa.
Mudahnya istri dalam memasuki surga telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadist:
“Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya, maka dia dipersilakan untuk masuk surga dari pintu mana saja yang dia kehendaki” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban)
Bahkan dalam satu hadist dijelaskan bahwa hak yang lebih wajib ditunaikan seorang wanita setelah Allah dan RasulNya adalah hak suaminya.
Namun apa yang terjadi jika kewajiban dari masing-masing pihak tidak ditunaikan?
Saat yang demikian maka merupakan saat dimana seorang suami telah mendzalimi istrinya dan juga sebaliknya. Namun dalam ajaran Islam tidak diajarkan yang namanya membalas kedzaliman dengan kedzaliman pula. Yang berhak membalasnya hanyalah Allah saat manusia telah berada di alam akhirat.
Islam tidak mengajarkan seorang istri untuk tidak menunaikan kewajibannya meski hak yang harusnya ia peroleh, tidak diberikan oleh suaminya. Ini tak lain karena akan menimbulkan permasalahan yang baru.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar Rifai
“Jika salah satu pasangan tidak menunaikan kewajiban kepada yang lain, bukan berarti dia harus membalasnya dengan tidak menunaikan kewajibannya kepada pasangannya karena masing-masing akan dimintai pertanggung jawaban disebabkan keteledorannya pada hari kiamat nanti”
Dengan demikian sangat salah jika suatu pelanggaran dibalas dengan pelanggaran yang lainnya. Solusinya adalah dengan cara yang baik apakah mau bersabar atau menghentikan pernikahan tersebut.
Jadi bagaimana wanita menyikapi akan masalah hak yang tidak diberikan oleh suaminya itu?
Melanjutkan perkataannya, Syaikh Ar Rifai menambahkan bahwa saat seorang suami tidak lagi menafkahi istrinya, maka seorang istri bisa memiliki dua pilihan apakah mau bersabar atau menggugat perceraian. Apabila ia memilih untuk bersabar, maka lakukanlah apa yang menjadi kewajiban dari seorang istri kepada suaminya, tak terkecuali melayani seorang suami di ranjang. Namun jika seorang istri memilih untuk berpisah atau cerai, maka tidak ada dosa bagi istri tersebut.
Al Qurthubi tentang memahami makna perkataan surat An Nisa diatas berkesimpulan bahwa jika seorang suami tidak lagi menafkahi istrinya maka ia tidak disebut sebagai seorang pemimpin dari istrinya. Jika sudah tidak lagi berstatus sebagai pemimpin bagi istrinya, seorang istri bisa mengajukan talak karena tujuan dari pernikahan telah hilang.
Begitu pun dalam kitab Subulus Salam yang menceritakan tentang keputusan Umar yang menulis surat kepada para panglimanya agar memberikan nafkah kepada istri-istri mereka atau mentalak istri mereka karena ketidakmampuan dalam menafkahi.
Dengan demikian bagi seorang istri yang memang benar-benar mencintai suaminya dan mau berjuang bersama, sudah selayaknya untuk bersabar dan jika mampu bisa membantunya dalam mencari penghidupan. Namun jika sudah tidak ada rasa kasih sayang lagi diantara keduanya dan suami tidak lagi memenuhi apa yang menjadi kewajibannya, seorang istri bisa meminta sebuah kata perceraian meski hal itu dibenci oleh Allah SWT.