Dulu, ketika kita mendengar ada badai hebat di Amerika, Bangladesh, hingga Filipina; banjir meluap di Tiongkok, Brazil, hingga Korea; gempa dahsyat di Rumania, Meksiko, hingga Jepang; kapal tenggelam di Inggris, Italia, hingga Rusia; kecelakaan kereta api di Argentina, Skotlandia, hingga Jerman; kecelakaan pesawat di Turki, Prancis, hingga Sri Lanka; kebakaran hutan di Amerika, Tiongkok, hingga Australia; ledakan di Irlandia, Iraq, hingga Pakistan; pertumpahan darah di Timur Tengah, India, hingga Afghanistan; dan musibah-musibah lain yang terjadi di berbagai belahan dunia, setiap kali kita hanya sebentar ikut prihatin, lalu diam-diam atau terang-terangan merasa lega dan bersyukur bahwa tempat-tempat musibah tersebut jauh dari kita.
Sekarang, ketika musibah-musibah itu, plus musibah lumpur panas, secara beruntun terjadi di tanah air, masih juga banyak orang yang jauh dari tempat musibah bereaksi sama. Ikut prihatin sebentar, lalu diam-diam atau terang-terangan bersyukur bahwa bukan mereka yang terkena.
Karena beruntun, setidaknya dalam dua tahun belakangan, banyak pula yang terusik dan bertanya-tanya: Ini ada apa? Ini cobaan kah, peringatan, atau azab?
Memang, ada beberapa ayat suci yang jelas-jelas menyatakan bahwa musibah dan kerusakan adalah akibat ulah manusia (misalnya, Q.4: 62; 28: 47; 30: 36, 41; 42: 48). Namun, dalam menjabarkan ayat-ayat itu, berbeda-beda hujjah orang. Ada yang dengan nada keminter menyalahkan pihak-pihak selain dirinya. "Alam itu memiliki karakter yang tetap," katanya; "Gunung, laut, angin, dsb sama saja tidak pernah berubah. Jadi, bisa dipelajari. Seharusnya para ilmuwan dapat memberikan masukan informasi kepada pemerintah dan masyarakat. Semestinya pemerintah sudah mengantisipasi gejala-gejala alam itu. Apa kerja Badan Meteorologi dan Geofisika itu?"
Dari mereka yang suka menyalahkan itu, ada yang lucu: menyalahkan presiden yang dianggap membawa sial dan seharusnya diruwat.
Ada pula yang agak memper, menyalahkan orang-orang yang suka merusak alam. Menurut mereka, alam marah kepada manusia yang terus-menerus melukainya. Bukan hanya manusia yang bisa kecewa, marah, demo, dan ngamuk. Alam pun bisa.
Ada yang lebih kehambaan dengan mengakui bahwa semua ini akibat dosa massal terhadap Tuhan pencipta manusia dan alam. Dosa kita semua. Jadi, tidak relevan dan sia-sia apabila hanya saling tunjuk, menganggap pihak lain saja yang berdosa, seolah-olah masing-masing merupakan wakil Tuhan.
Semua aturan Allah dilanggar beramai-ramai. Diangkat menjadi khalifah di kehidupan di dunia, tidak merawat dan mengelolanya secara baik, malah merusaknya. Mereka yang merasa benar tidak mau membenarkan, malah hanya menyalah-nyalahkan. Mereka yang berkesempatan berkorupsi tidak ditutup kesempatannya berkorupsi, malah dipupuk dan diberi peluang.
Pemimpin yang seharusnya memimpin, malah terus minta dipimpin. Hukum yang seharusnya menata malah ditata. Penegak hukum yang melencengkan hukum, tidak dibantu menegakkan, malah didorong untuk terus melencengkannya. Orang bodoh merasa pintar dan membodoh-bodohkan orang lain. Orang sesat menyesat-sesatkan pihak lain. Simbol dipuja bagai berhala dengan terus mengabaikan makna. Kenakalan remaja dan kenakalan orang tua merajalela. Amuk di mana-mana. Nayala kebencian dibiarkan berkobar dimana-mana.
"Karena dosa massal, untuk menghentikan hajaran Tuhan ini, tiada lain kita semua mesti melakukan tobat masal," kata sohibul pendapat itu.
Saya sependapat dengan pikiran tersebut karena saya sendiri juga melihat kenyataan perikehidupan kita yang seperti itu. Saya setuju dan mendukung anjuran tobat masal, tapi tidak dengan pengertian yang sederhana. "Hanya" ramai-ramai istighotsah secara seremonial, nangis-nangis minta ampun kepada Allah, lalu sudah.
Taubat yang saya dukung adalah taubat yang sesungguhnya. Masing-masing mengidentifikasi kesalahan sendiri dan menyesalinya, lalu bertekad tidak mengulangi. Mereka yang merasa pernah merampas hak orang lain –berupa apa saja-- segera mengembalikan atau meminta ikhlas dari pihak yang terampas. Misalnya, pejabat yang pernah mengorupsi harta rakyat, segeralah mengembalikan. Atau, jika telanjur habis termakan, mengadakan konferensi pers untuk memohon keikhlasan dari rakyat.
Mereka yang pernah atau sering nyogok atau menerima sogok, segera berhenti dan berjanji tidak akan mengulangi. Mereka yang karena memiliki kelebihan, baik berupa kekayaan, kepintaran, maupun kekuasaan, hendaklah segera menyadari bahwa itu semua adalah anugerah Allah yang seharusnya disyukuri, bukannya dijadikan alasan untuk angkuh serta merendahkan orang lain. Demikian seterusnya. Kemudian, baru dengan tulus dan khusyuk memohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun.
Kesalahan-kesalahan yang terlanjur dilakukan karena kebodohan serta kecerobohan harus diakui dan diusahakan memperbaiki dengan belajar atau menghindarinya sama sekali. Misalnya, karena pengetahuan kita mengenai bencana alam dan penanganannya masih minim, kita harus mengakui dan belajar.
Misalnya, karena nasib baik atau KKN, seseorang diangkat dan diserahi tugas yang tidak begitu dikuasainya, lalu timbul kesalahan, dia bisa memperbaiki dengan belajar. Tapi, bila tugas tersebut sama sekali di luar kemampuannya, segera saja mundur. Sebab, kesalahannya akan beranak-pinak.
Karena itu semua adalah pendekatan kehambaan, kuncinya adalah kerendah hatian. Tanpa sikap rendah hati, taubat akan sia-sia belaka.
Waba'du, meskipun wadah kita dari lumpur, tidak seharusnya kita bersikap seperti lumpur Porong yang seenaknya sendiri, merusak ke sana kemari, susah diatur, tidak jelas maunya. Sebab, dalam wadah kita, Allah meletakkan cahaya penerang: akal dan hati nurani.
Semoga Allah mengampuni kita dan segera mengembalikan rahmatNya kepada kita. Amin.
Antara Musibah dan Taubat |
Sekarang, ketika musibah-musibah itu, plus musibah lumpur panas, secara beruntun terjadi di tanah air, masih juga banyak orang yang jauh dari tempat musibah bereaksi sama. Ikut prihatin sebentar, lalu diam-diam atau terang-terangan bersyukur bahwa bukan mereka yang terkena.
Karena beruntun, setidaknya dalam dua tahun belakangan, banyak pula yang terusik dan bertanya-tanya: Ini ada apa? Ini cobaan kah, peringatan, atau azab?
Memang, ada beberapa ayat suci yang jelas-jelas menyatakan bahwa musibah dan kerusakan adalah akibat ulah manusia (misalnya, Q.4: 62; 28: 47; 30: 36, 41; 42: 48). Namun, dalam menjabarkan ayat-ayat itu, berbeda-beda hujjah orang. Ada yang dengan nada keminter menyalahkan pihak-pihak selain dirinya. "Alam itu memiliki karakter yang tetap," katanya; "Gunung, laut, angin, dsb sama saja tidak pernah berubah. Jadi, bisa dipelajari. Seharusnya para ilmuwan dapat memberikan masukan informasi kepada pemerintah dan masyarakat. Semestinya pemerintah sudah mengantisipasi gejala-gejala alam itu. Apa kerja Badan Meteorologi dan Geofisika itu?"
Dari mereka yang suka menyalahkan itu, ada yang lucu: menyalahkan presiden yang dianggap membawa sial dan seharusnya diruwat.
Ada pula yang agak memper, menyalahkan orang-orang yang suka merusak alam. Menurut mereka, alam marah kepada manusia yang terus-menerus melukainya. Bukan hanya manusia yang bisa kecewa, marah, demo, dan ngamuk. Alam pun bisa.
Ada yang lebih kehambaan dengan mengakui bahwa semua ini akibat dosa massal terhadap Tuhan pencipta manusia dan alam. Dosa kita semua. Jadi, tidak relevan dan sia-sia apabila hanya saling tunjuk, menganggap pihak lain saja yang berdosa, seolah-olah masing-masing merupakan wakil Tuhan.
Semua aturan Allah dilanggar beramai-ramai. Diangkat menjadi khalifah di kehidupan di dunia, tidak merawat dan mengelolanya secara baik, malah merusaknya. Mereka yang merasa benar tidak mau membenarkan, malah hanya menyalah-nyalahkan. Mereka yang berkesempatan berkorupsi tidak ditutup kesempatannya berkorupsi, malah dipupuk dan diberi peluang.
Pemimpin yang seharusnya memimpin, malah terus minta dipimpin. Hukum yang seharusnya menata malah ditata. Penegak hukum yang melencengkan hukum, tidak dibantu menegakkan, malah didorong untuk terus melencengkannya. Orang bodoh merasa pintar dan membodoh-bodohkan orang lain. Orang sesat menyesat-sesatkan pihak lain. Simbol dipuja bagai berhala dengan terus mengabaikan makna. Kenakalan remaja dan kenakalan orang tua merajalela. Amuk di mana-mana. Nayala kebencian dibiarkan berkobar dimana-mana.
"Karena dosa massal, untuk menghentikan hajaran Tuhan ini, tiada lain kita semua mesti melakukan tobat masal," kata sohibul pendapat itu.
Saya sependapat dengan pikiran tersebut karena saya sendiri juga melihat kenyataan perikehidupan kita yang seperti itu. Saya setuju dan mendukung anjuran tobat masal, tapi tidak dengan pengertian yang sederhana. "Hanya" ramai-ramai istighotsah secara seremonial, nangis-nangis minta ampun kepada Allah, lalu sudah.
Taubat yang saya dukung adalah taubat yang sesungguhnya. Masing-masing mengidentifikasi kesalahan sendiri dan menyesalinya, lalu bertekad tidak mengulangi. Mereka yang merasa pernah merampas hak orang lain –berupa apa saja-- segera mengembalikan atau meminta ikhlas dari pihak yang terampas. Misalnya, pejabat yang pernah mengorupsi harta rakyat, segeralah mengembalikan. Atau, jika telanjur habis termakan, mengadakan konferensi pers untuk memohon keikhlasan dari rakyat.
Mereka yang pernah atau sering nyogok atau menerima sogok, segera berhenti dan berjanji tidak akan mengulangi. Mereka yang karena memiliki kelebihan, baik berupa kekayaan, kepintaran, maupun kekuasaan, hendaklah segera menyadari bahwa itu semua adalah anugerah Allah yang seharusnya disyukuri, bukannya dijadikan alasan untuk angkuh serta merendahkan orang lain. Demikian seterusnya. Kemudian, baru dengan tulus dan khusyuk memohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun.
Kesalahan-kesalahan yang terlanjur dilakukan karena kebodohan serta kecerobohan harus diakui dan diusahakan memperbaiki dengan belajar atau menghindarinya sama sekali. Misalnya, karena pengetahuan kita mengenai bencana alam dan penanganannya masih minim, kita harus mengakui dan belajar.
Misalnya, karena nasib baik atau KKN, seseorang diangkat dan diserahi tugas yang tidak begitu dikuasainya, lalu timbul kesalahan, dia bisa memperbaiki dengan belajar. Tapi, bila tugas tersebut sama sekali di luar kemampuannya, segera saja mundur. Sebab, kesalahannya akan beranak-pinak.
Karena itu semua adalah pendekatan kehambaan, kuncinya adalah kerendah hatian. Tanpa sikap rendah hati, taubat akan sia-sia belaka.
Waba'du, meskipun wadah kita dari lumpur, tidak seharusnya kita bersikap seperti lumpur Porong yang seenaknya sendiri, merusak ke sana kemari, susah diatur, tidak jelas maunya. Sebab, dalam wadah kita, Allah meletakkan cahaya penerang: akal dan hati nurani.
Semoga Allah mengampuni kita dan segera mengembalikan rahmatNya kepada kita. Amin.