Rumah dalam bahasa Arab disebut dengan "bayt", dari kata dasar "baata, yabiitu, bayaatan wa baytan", yang memiliki arti "bermalam", baik tidur atau berjaga. Kalimat "baata fi al-masjidi yaqra'u al-Qur'ana", ia bermalam di masjid membaca al-Quran, jelas bermakna berjaga, bukan tidur.
Kata dasar ini memberi pengertian bahwa lazimnya seseorang menghabiskan waktu malam di rumah bersama keluarga, persis dengan namanya, "bayt", tempat bermalam. Sesiang dia bisa menghabiskan waktunya di luar rumah untuk bekerja dan aktifitas lainnya, akan tetapi di malam hari habitatnya adalah rumah.
Nama lain untuk rumah adalah "maskan", dari kata dasar "sakana yaskunu sukuunan wamaskanan", yang memiliki arti damai, tenang, melabuh, dan tenteram. "Maskan" dengan demikian adalah tempat menenangkan diri, tempat melabuh, dan tempat jiwa dan raga berdamai.
Segala kepenatan, peluh yang mengalir, dan beban berat pekerjaan akan segera hilang begitu kaki menginjakkan rumah.
Di dalam Alquran, Allah SWT menyebutkan, “Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal.’’ (QS an-Nahl [16] : 80).
Ibnu Katsir menguraikan ayat tersebut dengan penjelasan bahwa Allah menyempurnakan nikmat-Nya atas hamba-hamba-Nya dengan menjadikan bagi mereka rumah-rumah yang merupakan tempat tinggal mereka.
Sehingga, mereka menjadikan rumah itu sebagai tempat kembali dan berlindung serta tempat mendapatkan berbagai manfaat. Oleh karena itu, rumah bagi seorang Muslim mungkin hanya sebuah gubuk bambu sederhana.
Namun, di dalam rumah itu penuh dengan rasa syukur kepada Allah, ridha dengan pemberian-Nya, serta penuh dengan nuansa ibadah. Para anggota keluarganya merasa bahagia bukan karena mereka memiliki furnitur yang serba lengkap dan mahal.
Bukan harta yang membuat kebahagiaan muncul dari hati para penghuninya, melainkan karena keyakinan penuh mereka kepada Rabbnya, menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan-Nya, serta menempatkan Rasulullah SAW sebagai contoh teladan mereka.
Keadaan semacam itu terungkap dari rumah Nabi Muhammad yang secara fisik sederhana, dengan tempat tidur beralaskan pelepah kurma, tidak ada persediaan harta dan makanan.
Meski demikian, beliau menyebut suasana dalam rumahnya dengan ungkapan luar biasa, “Rumahku adalah surgaku” (baitii jannatii).
Karena itu, memperbaiki rumah memang penting, seperti mengganti genting yang bocor, mengecat kembali warna yang pudar, memberi pagar pembatas, dan sebagainya. Namun, jauh lebih penting dari itu semua adalah memperbaiki suasana di dalam rumah.
Cara memperbaiki suasana tersebut, di antaranya dengan mengembuskan nuansa ibadah, merenovasi kebiasaan para penghuninya untuk saling jujur dan terbuka, serta menambal sifat-sifat buruk dengan berbagai kebaikan. Insya Allah.
Semoga rumah-rumah kita sepenuhnya adalah bayt dan maskan. Rumah yang bisa menjadi surga bagi penghuninya. Aamiin yaa Mujiiba as-saailiin.
Rumahku adalah Surgaku |
Kata dasar ini memberi pengertian bahwa lazimnya seseorang menghabiskan waktu malam di rumah bersama keluarga, persis dengan namanya, "bayt", tempat bermalam. Sesiang dia bisa menghabiskan waktunya di luar rumah untuk bekerja dan aktifitas lainnya, akan tetapi di malam hari habitatnya adalah rumah.
Nama lain untuk rumah adalah "maskan", dari kata dasar "sakana yaskunu sukuunan wamaskanan", yang memiliki arti damai, tenang, melabuh, dan tenteram. "Maskan" dengan demikian adalah tempat menenangkan diri, tempat melabuh, dan tempat jiwa dan raga berdamai.
Segala kepenatan, peluh yang mengalir, dan beban berat pekerjaan akan segera hilang begitu kaki menginjakkan rumah.
Di dalam Alquran, Allah SWT menyebutkan, “Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal.’’ (QS an-Nahl [16] : 80).
Ibnu Katsir menguraikan ayat tersebut dengan penjelasan bahwa Allah menyempurnakan nikmat-Nya atas hamba-hamba-Nya dengan menjadikan bagi mereka rumah-rumah yang merupakan tempat tinggal mereka.
Sehingga, mereka menjadikan rumah itu sebagai tempat kembali dan berlindung serta tempat mendapatkan berbagai manfaat. Oleh karena itu, rumah bagi seorang Muslim mungkin hanya sebuah gubuk bambu sederhana.
Namun, di dalam rumah itu penuh dengan rasa syukur kepada Allah, ridha dengan pemberian-Nya, serta penuh dengan nuansa ibadah. Para anggota keluarganya merasa bahagia bukan karena mereka memiliki furnitur yang serba lengkap dan mahal.
Bukan harta yang membuat kebahagiaan muncul dari hati para penghuninya, melainkan karena keyakinan penuh mereka kepada Rabbnya, menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan-Nya, serta menempatkan Rasulullah SAW sebagai contoh teladan mereka.
Keadaan semacam itu terungkap dari rumah Nabi Muhammad yang secara fisik sederhana, dengan tempat tidur beralaskan pelepah kurma, tidak ada persediaan harta dan makanan.
Meski demikian, beliau menyebut suasana dalam rumahnya dengan ungkapan luar biasa, “Rumahku adalah surgaku” (baitii jannatii).
Karena itu, memperbaiki rumah memang penting, seperti mengganti genting yang bocor, mengecat kembali warna yang pudar, memberi pagar pembatas, dan sebagainya. Namun, jauh lebih penting dari itu semua adalah memperbaiki suasana di dalam rumah.
Cara memperbaiki suasana tersebut, di antaranya dengan mengembuskan nuansa ibadah, merenovasi kebiasaan para penghuninya untuk saling jujur dan terbuka, serta menambal sifat-sifat buruk dengan berbagai kebaikan. Insya Allah.
Semoga rumah-rumah kita sepenuhnya adalah bayt dan maskan. Rumah yang bisa menjadi surga bagi penghuninya. Aamiin yaa Mujiiba as-saailiin.